NUSANTARANEWS.CO – Menurut laporan terbaru Foreign Policy Advisory Group, kecenderungan global pada tahun 2017 masih berkutat pada perkembangan hubungan Rusia-AS, apalagi AS kini di bawah pimpinan Donald Trump. Sehingga, perkembangan hubungan kedua negara adidaya itu dinilai akan memberikan dampak secara luas ke berbagai negara-negara lainnya di dunia.
Menurut para ahli, kesiapan Washington dan Moskow dalam mencapai kompromi akan menentukan arah kebijakan internasonal, terutama isu-isu yang berkenaan dengan kerjasama melawan toririsme internasional di Suria dan Irak, serta beragam personala regional Rusia sendiri pasca pecahnya Uni Soviet.
Pada tahun 2017, ancaman global lainnya mungkin berasal dari negara-negara seperti Arab Saudi. Dan Indonesia, kata para ahli tengah manghadapi risiko keruntuhan akibat instabilitas nasional dan pemerintahan. Namun, menurut para ahli, perlu untuk menyebarkan kesadaran untuk melakukan diskusi di antara pengamat dan mereka yang tertarik dengan kondisi perpolitikan global.
“Saat ini dunia seperti sedang berhenti berkembang secara linear, dan ini bukan efek dari masa lalu. Trend yang saat ini tengah terjadi dalam hubungan internasional masih dibayangi ketidakpastian,” kata salah satu penulis laporan, Andrei Sushentsov, Direktur Kebijakan Luar Negeri Advisory Group, seperti dilansir Russia Direct.
Selanjutnya, para penulis laporan itu juga menuliskan tentang tren kunci dalam agenda internasional, terutama masa depan hubungan AS-Rusia di mana hubungan ini akan membentuk kembali lanskap global. Menurut seorang profesor di Moscow State Institute of Internasional Relations (MGIMO University), Tatiana Shakleina, kebijakan Washington terutama di bawah kepemimpinan Trump terhadap Moskow akan sangat penting pada tahun 2017.
“Pertanyaan-pertanyaan kunci adalah apakah AS akan mengubah paradigma kebijakan luar negerinya? Meskipun elit politik Amerika yang baru punya kecenderungan akan dapat mengubah dasar kebijakan luar negerinya. Sejauh ini, situasi ambigu seperti tak ada alasan untuk mengubah arah politik,” ujar Titiana.
Titiana menjelaskan, Moskow memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan guna meningkatkan hubungan dengan Washington dan mengurai skenario kemungkinan kerjasama yang akan membentuk seluruh agenda global.
Lebih lanjut, laporan Foreign Policy Advisory Group juga membahas kondisi Timur Tengah. Menurut para ahli Rusia, salah satu tantangan adalah menghentikan proxy war antara pemangku kepentingan regional dan global, termasuk Turki, Rusia, Arab Saudi dan AS menyangkut konflik horisontal yang tengah melanda Suriah, Irak dan Timur Tengah secara umum.
Para ahli menuturkan bahwa skenario yang paling mungkin dilakukan di 2017 kemauan Turki menyudahi agenda politiknya yang ingin menggulingkan Presiden Suria, Bashar Assad. Kemudian, Amerika Serikat menarik dukungannya terhadap oposisi moderat Suriah. Namun, para ahli, sekali lagi, pesimis upaya ini akan berlaku dan sangat kecil kemungkinan aliansi anti terorisme Moskow dan Was hington untuk melakukan kerjasama memerangi ISIS.
Lebih jauh, para ahli menggantungkan harapan adanya negosiasi antara Rusia, Turki dan Iran untuk membangun hubungan diplomatik guna menyelesaikan konflik di Suriah. Dengan begitu, para penulis laporan percaya bahwa ISIS akan hancur, selambat-lambatnya tahun depan.
Hanya saja, para penulis mulai khawatir dengan sumber-sumber baru ketidakstabilan. Pasalnya, sumber baru ketidakstabila dan konflik bisa saja timbul dari tempat lain yang juga akan membebani dan menarik perhatian global. Para penulis bahkan dengan jelas menyebut bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mungkin dapat memicu konflik global akibat semakin meningkatnya ketegangan agama dan etnis di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Menurut penulis laporan, ini bisa menyebabkan Indonesia menjadi negara gagal. (Sego/ER)