Pangudi Luhur Tidak Larut dan Terbawa Arus Politik

pangudi luhur, sma pengudi luhur, pengudi luhur jakarta, sma, sekolah menengah atas, nusantaranews
Sandiaga Salahuddin Uno bermain basket di SMA Pangudi Luhur Jakarta, Sabtu (27/1/2018). (Foto: Yendhi/Via Poskotanews)

Hari ini nama Sekolah Menengah Atas (SMA) Pangudi Luhur Jakarta begitu membahana seantero negeri. Bukan saja disebabkan karena sebagian kecil alumni menyatakan dukungan kepada calon presiden Joko Widodo tetapi justru jauh lebih hebat Karena sekolah ini melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas di negeri ini. Calon wakil presiden RI, Sandiaga Uno, Agus Martowardoyo (Gubernur Bank Indonesia), Sumantri Brojonegoro (Menteri Bappenas) dan lainnya adalah sederet alumni dari sekolah khusus pria yang berlokasi di Darmawangsa, kawasan elit Jakarta Selatan ini.

Sekolah Pangudi Luhur berorientasi pada visi dan cita-cita melahirkan siswa yang berkepribadian dan berkarakter dengan 3 cita yaitu intelektualitas (akal), fraternitas (persaudaraan) dan solidaritas. Alumni yang juga memilki kompetensi berpengetahuan mumpuni (knowledge), ketrampilan memadai (skills), dan mental dan moral (attitude) yang baik. Maka tidak mengherankan jika sifat-sifat tersebut tercandra pada salah satu alumni terbaik saat ini yaitu Sandiaga Solahudin Uno.

Alumni tentu cermat melihat miliu dunia akademia yang beda dengan sekolah menengah yang jauh dari hiruk pikuk politik. Sekolah menengah harus terlindung agar tidak tergiring ke arus politik yang membahayakan eksistensi siswa dan pendidikan. Bisa dipahami jika bangsa Indonesia dapat mengecam tindakan sebagian alumni ini.

Alumni Pangudi Luhur memiliki hak dan boleh saja terbawa arus politik dan kepentingan sebagaimana yang ditunjukkan beberapa orang yang menyatakan pilihan terhadap Pak Joko Widodo, tetapi tentu tidak mewakili semua alumni dan apalagi atas nama sekolah Pangudi Luhur. Secara etika juga tidak boleh terbawa dalam arus sektarian yang berorientasi mainstream politik umat Nasrani (Katolik) yang sangat eksklusif sebagaimana yang ditunjukkan politik Katolik saat ini. Kenapa eksklusif? Karena baru minggu lalu saya ikut acara 100 tahun politik Katolik Indonesia (I.J. Kasimo) di Aula Gereja Katedral Jakarta, undangan yang datang dari luar Katolik cuma 1 orang yaitu Marwan Jafar (PKB), miris dan sedih, padahal dihadiri Ketua KWI.

Sedangkan saya yang Katolik sendiri (Alumni PMKRI, Pemuda Katolik dan lain-lain) yang berbeda padangan politik dengan mayoritas umat Katolik bisa menjadi Ketua Tim Pembela Habib Rizieq, Ulama, Umat Islam bahwa bisa berdiri di podium di tengah 13 juta Umat Islam Indonesia di Monas. Artinya, kita eksklusif di tengah mayoritas masyarakat yang moderat dan inklusif.

Semoga alumni Pangudi Luhur tidak berpikir eksklusif seperti di atas karena jika sangat eksklusif sama saja dengan mematikan animo masyarakat umum untuk daftar di sekolah Katolik ini. Kenyataan menunjukkan bahwa sekolah elit dan Katolik masih saja mengalami kesulitan untuk mendapatkan siswa dalam jumlah yang besar. Ada kecenderungan mengalami penyusutan siswa dari semula 10 kelas menjadi 8 atau 7 kelas bahkan berkurang. Pilihan sebagian kecil alumni terhadap Jokowi tentu sangat tidak elok dan tidak menguntungkan karena Pak Jokowi tidak mungkin punya kemampuan untuk mempertahankan kuantitas siswa, apalagi Joko Widodo bukan siapa-siapa dalam hubungan secara emosional dengan Pengudi Luhur Jakarta yang terkenal dengan kekuatan alumni yang hebat.

Sekadar mengingatkan saja bahwa berbagai hasil survei telah menunjukkan bahwa Prabowo unggul di kalangan kaum terdidik dan kelas menengah yang rasional. Pangudi Luhur diisi oleh rata-rata siswa yang berasal dari kalangan kaum berada dan elit dan terpelajar karena siswa yang berasal dari orang tua sederhana dan rakyat biasa lebih memilih sekolah negeri yang gratis. Apalagi sekolah negeri dan swasta lain juga mulai berkualitas. Karena itu tindakan alumni untuk ukuran sekolah menengah tidak menguntungkan bagi eksistensi sekokah di masa yang akan datang.

Apapun ceritanya, dari 4 pasangan calon presiden dan wakil presiden tentu saja harus jujur mengakui bahwa Sandiaga adalah role model dan figur terbaik. Seorang intelektual alumni Amerika Serikat dan lulus dengan Cum Laude, pengusaha sukses, berpenampilan menarik dan sehat, bugar dan yang lebih penting adalah seorang yang beretika. Bahkan anak kami menilai tulus dan apa adanya dengan menyebut senior terkeren tanpa embel-embel atau bermaksud politik!

Sandiaga Uno seperti alumni yang lain, dia mencintai sekolahnya yaitu Sekolah Pangudi Luhur, bukan hanya baru kali ini bertepatan dengan momentum pemilu, sejak jaman dahulu tiap hari Sabtu, Pak Sandi selalu bermain Bola Basket di Lantai 3 Sekolah Pangudi Luhur. Mungkin kita bisa bertanya mengapa Pak Sandiaga Uno memilih Pangudi Luhur, sedangkan di Jakarta ratusan bahkan bisa ribuan Lapangan Basket? Orang-orang yang baik dan jujur akan menyatakan, karena Sandi mencintai sekolah ini!

Semua aliran dukungan yang diberikan baik kepada Joko Widodo maupun Prabowo tidak bisa dilihat dari hanya semata-mata karena idealisme tetapi keberpihakan dalam politik adalah keberpihakan atas dasar kepentingan pragmatisme. Namun janganlah pragmatisme semata mengorbankan iman (fidelis), harapan (expectatio), dan kasih antar sesama (caritate).

Oleh: Natalius Pigai, Aktivis Katolik, Orang Tua Siswa Pangudi Luhur

Exit mobile version