NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pancasila sebagai filosofi bangsa dan dasar negara Indonesia yang telah dengan susah payah, segala pengorbanan dan hati yang bersih dirumuskan dan diperjuangkan oleh pendiri bangsa dewasa ini justru ditenggelamkan, dimarjinalkan dan dalam realisasi kenegaraan hanya sebatas rumusan verbal dalam pembukaan UUD 1945.
Sedangkan realisasi normatif dan prakstis justru mengangungkan dan mendasarkan pada filsafat liberal.
“Nama resmi UUD hasil amandemen yaitu UUD NRKI Tahun 1945, sangatlah janggal dan penipuan intelektuan karena rohnya tidak selaras dengan pemikiran para pendiri bangsa. Seharusnya, apabila mereka benar-benar merasa bahwa UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945 lebih baik, mereka harus berani mengatakan bahwa UUD 1945 hasil amandemen adalah UUD 2002,” ujar Wapres RI ke-6 Try Sutrisno dalam makalah berjudul ‘Pemantapan Nilai-nilai Pancasila dan Spirit Kebangsaan dalam Pengembangan SDM dan Kepemimpinan Nasional,’ seperti dikutip redaksi, Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Baca: Era Reformasi Berhasil Tanggalkan Jati Diri Bangsa Indonesia
Jika flashback pada pemerintahan Orde Baru, Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu. Namun hal itu telah dihapuskan dengan alasan terlalu dogmatis.
“Bahkan Pancasila sebagai falsafah, sumber hukum, tata nilai dan pedoman hidup serta jati diri bangsa Indonesia telah sengaja diabaikan dengan mengeluarkannya dari sistem pendidikan nasional,” tulisnya lagi.
Program-program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan kurikulum Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dianggap telah using dan tidak berkembang. Kalau demikian, ciptakanlah cara-cara untuk membentuk nilai-nilai Pancasila di segenap sendi kehidupan bangsa. Jangan hanya dibuang dan memasukkan unsur-unsur liberal kapitalis.
Baca juga: Bicara Pancasila, Lupa UUD 1945
“Untuk mampu menjawab topik tentang Pemantapan Nilai-nilai Pancasila dan Spirit Kebangsaan dalam Pengembangan SDM dan Kepemimpinan Nasional, pertama-tama mutal diyakini bahwa bagi bangsa yang tidak kuat nkarakter bangsanya, tidak teguh jati dirinya akan terombang-ambing oleh arus globalisasi; karena telah melepaskan akal, budi, budaya dan tata nilai kebangsaannya, sehingga menjadi orang asing di negaranya sendiri,” lanjutnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda