Opini

Pancasila Penyelamat Indonesia

Sekjen DPP FBN RI, M.D. La Ode (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)
M.D. La Ode, Penulis adalah Ahli Politik Etnisitas Alumnus FISIP UI. Pancasila Penyelamat Indonesia. (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

Oleh: M.D. La Ode, Penulis adalah Ahli Politik Etnisitas Alumnus FISIP UI

Tepat pukul 10.00 WIB bangsa Indonesia (Pribumi, tidak termasuk etnis Cina Indonesia: ECI), memperingati HUT  Kemerdekaannya ke-74 tahun, setelah diproklamasikan Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945.  Tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila disahkan menjadi ideologi negara bersamaan dengan UUD 1945.

Karena itu Dr. K.H. As’ad Said Ali menyebut Indonesia sebagai Negara Pancasila. Prof. Dr. Salim Said dalam wawancaranya dengan TV swasta menyatakan bahwa “…penyelamat negara ini dari perpecahan adalah Pancasila”. Tema peringatan HUT Indonesia kali ini: “SDM Unggul Indonesia Maju”. Substansi ini disampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melalui pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 di gedung MPR RI.

Dari aspek politik etnisitas di Indonesia, peringatan HUT kemerdekaan Indonesia ke-74 memberikan inspirasi sebagai berikut ini.

Perkokoh Pancasila Sakti

Pribumi harus perkokoh Negara pancasila. Mengapa? AS juga pluralis yang melebihi Indonesia yakni kelompok etnis, budaya, ras di Bumi, dan agama. Realitas sosial politik etnistas ini tertera pada lambang Negara AS dengan motto: E pluribus unum (“dari banyak, Satu”). Indonesia memiliki motto tertera di lambang negara Garuda Pancasila Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda beda, satu kesatuan”). Di AS bila terkait dengan kepentingan bangsanya, semuanya dinomor satukan. Kasusnya John F. Kennedy Presiden AS ke-35  Non WASP sepenuhnya. Ia kulit putih warga kelompok etnis Irlandia beragama Katolik. Karena satu dan lain hal, tahun 1963 Kennedy ditembak mati di Dallas, Texas, AS. Belakangan ini Presiden AS ke-45 Donald J. Trump biasa menyuarakannya dengan slogan heroik “US First”.

Untuk menentukan penguasa nomor satu di AS berlaku “ketentuan tak tertulis wajib dari generasi White, Anglosaxon, and Protestant (WASP). Jadi inti kekuatan politik etnisitas di AS adalah kelompok etnis Anglosaxon dan beragama Protestan. Di Indonesia juga begitu, pucuk pimpinan nasional wajib dari warga kelompok etnis Jawa. Kasusnya Prof. Dr. B.J. Habibie dari warga kelompok etnis Bugis-Makassar, laporan pertanggung jawabannya sengaja ditolak oleh Golkar pada tahun 1999 dengan berbagai alasan. Namun sesungguhnya menurut ketentuan tak tertulis itu, karena Habibie bukan warga kelompok etnis Jawa.

Baik politik etnisitas di AS maupun di Indonesia, jika terjadi konflik politik internal pada tingkat elite nasional senantiasa merujuk pada motto E Pluribus Umum (AS) dan Bhinneka Tunggal Ika (Indonesia). Sedangkan pada tingkat yang lebih khusus di AS menggunakan WASP maka semua pihak di AS harus mau menerima dengan segala dimensi perasaan politik sekalipun. Beda dengan Indonesia, yang  menggunakan kata, “ini Negara Pancasila”,  maka semua pihak kepentingan politik diam seribu bahasa,  walau dengan segala dimensi perasaan juga. Suka dan tidak suka AS mencapai predikat Negara Super Power di Dunia karena prinsip tak tertulis WASP itu. Begitu pula dengan Indonesia selalu diselamatkan oleh Pancasila dengan titik berat kelompok etnis Jawa. Kasus terbaru adalah Jokowi menang Pilpres dengan cara curang, suka dan tidak suka harus diterima! Jokowi warga kelompok etnis Jawa dan beragama Islam, semuanya diam demi Negara Pancasila.

Baca Juga:  Gelar Deklarasi, Pemuda Pancasila Sumut Dukung Pemilu Damai 2024

Seperti WASP di AS dan Pancasila di Indonesia, tidak dimiliki oleh Uni Soviet! Vladimir Ilyich Ulyanov biasa dipanggil Vladimir Lenin adalah pendiri Uni Soviet. Ia dikenal dunia setelah mendirikan Partai Komunis Russia. Ia menjadi arsitek juga pergerakan Revolusi Bolshevik tahun 1917. Josef Stalin penerus Lenin berkuasa di Uni Soviet 1924-1953. Uni Soviet didirikan dengan “tangan besi” dan diperintah dengan ideologi Komunisme. Uni Soviet runtuh bersama Komunisme Internasionalnya pada tahun 1991 juga sebagai akhir the cold war yang dimenangi AS dan sekutunya. Faktor keruntuhan Uni Soviet karena tak memiliki kekuatan dasar seperti AS dan Indonesia. Kini bekas Uni Soviet menjadi Negara Federasi Russia, di bawah pimpinan Presiden Vladimir Putin. Dalam sejarah perjuangan politik bangsa Indonesia terutama di dalam negeri, AS dan Uni Soviet sangat berjasa. Ini yang membedakan kebijakan politik luar negeri antara AS dan Uni Soviet yang menguntungkan Indonesia dengan kebijakan politik luar negeri Cina Komunis yang selalu mengkhianati politik, ideologi, dan ekonomi Indonesia.

Tumpas ECI dan Cina Komunis

Dalam rangka mengenang dan menghargai sifat heroik nenek moyang bangsa Indonesia ke-74 tahun, tanggal 17 Agustus 2019 mestinya dimulai dengan membangun niat mulia untuk menumpas etnis Cina Indonesia (ECI) dan Cina Komunis pengkhianat bangsa Indonesia yang dimulai oleh nenek moyangnya sejak Abad XIII-XXI saat ini. Sekarang kita sebagai generasi penerus kekuatan politik heroik nenek moyang kita itu, apakah dengan rasa demam Dolar melalui bahasa halus investasi dari Cina Komunis rela menerima aneksasi ECI dan Cina Komunis atas NKRI dari kuasa Pribumi?

Tidak! ECI dan Cina Komunis harus ditumpas habis dari niat aneksasi itu. Tanpa kompromi politik etnisitas lagi seperti yang dilakukan oleh hampir semua Presiden RI di Era Reformasi. Era ini menurut politik etnisitas bisa disebut Era Abai Pribumi. Kasus abai satu persatu. Pertama, era Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri melalui Amandemen UUD 1945 kata ASLI dihapus demi ECI. Kedua, era Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid mengakui Agama Kong Hu Cu, memberlakukan Barongsai ditampilkan di publik, dan memberikan hari libur untuk hari Raya Imlek. Ketiga, di era Presiden RI ke-3 Prof. Dr. B.J. Habibie melalui Inpres Nomor 26 tahun 1998 tentang “larangan penggunaan istilah Pribumi dengan Non Pribumi”. Identitas nasional dihapus. Keempat, era Presiden RI ke-6 Jenderal TNI (Purn) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Kepres Nomor 12 tahun 2014 tentang “penggunaan istilah Tjina/China/Cina diubah menjadi Tionghoa” dan Republik Rakyat Cina (RRC) diganti menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Cina Komunis saja tidak pernah mengeluarkan Kepres bahwa sejak hari ini Cina dirubah menjadi Tiongkok. Kelima, era Presiden RI ke-7 Jokowi “memuliakan ECI dan Cina Komunis dan menghinakan Pribumi, melalui regulasi “ujaran kebencian”. Implikasinya, seseorang hanya menyebut  Cina ditangkap poliisi dengan tuduhan ujaran kebencian. Kasusnya Asma Dewi Ali Hasjim langsung ditangkap polisi kemudian dijebloskan ke sel selama berbulan bulan dan berakhir di PN Jakarta Selatan karena menyebut Cina.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Menelaah kasus kasus politik etnisitas di atas, sangat menggelikan, menjijikkan, dan memuakkan sebab semua tindakan ABAI Pemimpin nasional di atas, kontradiktif dengan slogan NKRI Harga Mati bahwa titik beratnya ada pada Pribumi Indonesia. Saat Pribumi mau menikmati rasa kemerdekaannya dan pada saat bersamaan hak hak kemerdekaannya dicabut oleh penguasanya sendiri. Akibatnya berbalik, semula NKRI negara merdeka kini menjadi negara koloni bangsa bangsa di Dunia. Silahkan periksa implikasi politik konstitusi NKRI pasca amandemen 1-4. Masih adakah NKRI sebagai negara merdeka paripurna di situ? Sama sekali tidak ada!

Warga kelompok ECI sebagai eksponen dari pengkhianat bangsa Indonesia, di era Reformasi aktif di bidang politik sebagai pengurus parpol, anggota legislatif, dan sebagai kepala daerah. Semuanya tetap saja berkhianat. Lihat kasus kasusnya antara lain Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Setya Novanto, Christiandy Sanjaya, Hartono Ajas, Thjai Chui Mie, Hasan Karman, Benny Laos, Robert Tantular, James Ryadi, Anthony Nursalim, Budiono Tan, Tian Hartono, dan seterusnya. Semua warga kelompok ECI itu telah diberlakukan sebaik baiknya kebaikan oleh Pribumi, namun terus saja berkhianat seperti tabiat nenek moyang mereka di Abad XIII hingga saat ini. Oleh karena itu maka jalan paling baik menurut politik etnisitas ECI dan Cina Komunis harus ditumpas. Jika tidak maka Pribumilah yang akan ditumpas ECI dan Cina Komunis dalam tempo 2×5 tahun (2019-2029) melalui saluran demokrasi. Saat ini yang sangat kuat mengakomodir ECI dan Cina Komunis di Indonesia adalah Presiden RI Jokowi, PDIP, Nasdem, Hanura, dan Golkar. Politik akomodatif itu bermula pada Pilkada DKI tahun 2012 melalui pasangan Jokowi-Ahok. Saat itu dua orang putera Batak Nasution dan Simbolon ditangkap polisi hanya karena menyebut Cina.  Diduga keras bahwa politik akomodatif itu dilakukan oleh Jokowi, PDIP, Nasdem, dan Hanura karena kepentingan keuangan saja. Jika bukan faktor ini, diduga keras Jokowi, PDIP, Nasdem, dan Hanura, semuanya tidak mau mengakomodir ECI untuk menjadi pemimpin politik mereka.  Dugaan itu mengacu pada hasil penelitian politik etnisitas bahwa “tidak satu urusan birokrasipun yang ditempuh ECI tanpa mengeluarkan biaya lebih kepada aparatus negara di semua struktur negara hingga RT.

Teknik penumpasan ECI dan Cina Komunis harus melalui saluran kebijakan dan birokrasi publik. Di antaranya a) ECI dilarang memiliki hak atas tanah walau sejengkalpun di seluruh wilayah yurisdiksi NKRI karena menjual tanah kepada asing berarti menjual negara; b) semua status tanah yang sudah diterbitkan oleh BPN di seluruh Indonesia agar diubah statusnya menjadi HGB, HGU, HPL dan seterusnya; c) pada saat transaksi tanah hak milik Pribumi kepada ECI, pada saat itu juga harus berubah satatus menjadi HGU, HGB, HPL atau lainnya; d) sebagian besar Proyek ABPN harus dikerjakan oleh pengusaha Pribumi; e) semua bank bank pemerintah dan swasta harus meningkatkan aliran kreditnya kepada pengusaha UMKM yang semula 0,3% -2% atau 3% pertahun menjadi 30%-60% pertahun; f) semua lahan perkebunan dan pertanian yang sekarang diberikan kepada pengusaha ECI 79%  (PT. Sinar Mas sendirian menguasai 5,2 juta hektar) dengan cara tipu daya, “perampasan” tanah hak ulayat dan tanah adat dengan menggunakan aparatus negara, agar dialihkan  semuanya kepada pengusaha Pribumi dan masyarakat Adat di Kalimantan, Papua, Sulawesi, Kalimantan, NTB, dan Sumatera,  Jawa dan Banten;  g) semua investasi Cina Komunis dan asing lainnya pada sektor SDA di seluruh Indonesia sebesar 80% lebih, harus menyertakan modal masyarakat sesuai dengan harga tanah menurut hak ulayat dan hak adat; h) semua ECI dilarang menempati posisi strategis dalam struktur pemerintahan di Indonesia termasuk semua anggota Kabinet harus Pribumi; i) turunkan semua kepala daerah dari ECI di seluruh wilayah Indonesia karena ini adalah indikator penjajahan ECI dan Cina Komunis terhadap Pribumi melalui saluran demokrasi; j) jika ECI keberatan dengan semuanya itu, padahal Pribumi mau mempertahankan hak hak politiknya dalam Asta gatra Nasional di NKRI, maka ECI dipersilahkan mencari destinasi negara lainnya yang mau menerima niat aneksasinya itu. Untuk memudahkan dimulainya tuntutan di atas, maka PP Nomor 10 tahun 1959 “tentang pembatasan ruang gerak ECI di seluruh Indonesia, patut diterapkan kembali yang dimulai oleh Pribumi sendiri, karena Pemerintah Pusat tampaknya sangat sukar karena sudah dikontrol ECI dan Cina Komunis.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Tema HUT RI ke-74 tahun “SDM Unggul Indonesia Maju”. Ini tepat, karena bermakna investasi SDM. Dengan begitu maka untuk melaksanakan pembangunan nasional menjadi relatif mudah. Contohnya Jepang, Korsel, AS, Russia, Inggris, Jerman, Perancis, Singapura, Brunei Darussalam, Israel, Iran, Turki, dan Cina Komunis. Tema itu akan sangat tepat jika titik berat pembangunan SDM adalah kaum Pribumi. Bukan WNI asal bangsa linnya seperti dewasa ini. Kuatnya niat separatis di Papua, Aceh, RMS, dan selentingan serupa dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera adalah dampak rasa ketidak adilan pemerintah RI kepada Pribumi Indonesia yang berpihak kepada ECI dan Cina Komunis. Karena dalam pidato kenegaraan Jokowi tanggal 16 Agustus 2019 di MPR RI menyebutkan  pembangunan 5 tahun kedepan, akan fokus pada pembangunan SDM. Ini tepat namun harus dititik beratkan kepada Pribumi guna menutupi kesenjangan antara Pribumi dengan Non Pribumi ECI dalam pengelolaan Asta gatra Nasional.

Upaya pengukuhan  Pancasila Sakti, penumpasan ECI dan Cina Komunis, membangun Pribumi Indonesia sebagai indikator kemajuan Indonesia, adalah bentuk eksistensi Negara Pancasila dalam perspektif Dr. K.H. As’ad Said Alie. Demikian pula  dengan Pancasila sebagai ideologi penyelamat Indonesia dalam perspektif Prof. Dr. Salim Said, dapat kembali terbukti yang ditandai kembali ke UUD 1945 asli diikuti addendum guna menghapus koloni bangsa bangsa dan kembali kepada eksistensi Pribumi sebagai penguasa NKRI. (*)

Related Posts

1 of 3,087