Budaya / SeniKhazanahKreativitas

Pameran Némor (Southeast Monsoon) Sebuah Upaya Menjadi Madura

Némor (Southeast Monsoon). (Ilustrasi/Cemeti)
Némor (Southeast Monsoon). (Ilustrasi/Cemeti)

NUSANTARANEWS.CO, Kota Yogyakarta – Masyarakat Madura menyebut musim kemarau sebagai némor. Secara harafiah kata tersebut sebetulnya merujuk pada keberadaan angin muson timur (southeast monsoon) yang bergerak lamban sambil meniupkan suasana kering dan panas dari seberang lautan. Pada bulan-bulan ketika némor tiba, matahari bersinar begitu terik, tanah merengkah kering, dan lanskap bersalin warna menjadi cokelat. Némor, bagi penduduk Madura, bisa menjadi semacam pertanda baik bagi peladang untuk mulai menanam tembakau, bagi petani untuk memanen garam sebanyak-banyaknya, dan bagi para pelaut untuk mengarahkan kapal bergerak menyusuri arah barat.

Demikian pembuka ‘Teks Pengantar Pemarean Némor (Southeast Monsoon): Menjadi Madura’ yang disajikan oleh kedua Kurator pagelaran Pemeran Kelompok (Group Exhibition) bertajuk “Némor (Southeast Monsoon)” Ayos Purwoaji dan Shohifur Ridho’i yang diterima redaksi nusantaranews.co, Kamis, 15 Agustus 2019.

Ridho, sapaan akrab Shohifur Ridho’I, memaparkan, bagi sejarawan Kuntowijoyo, karakteristik budaya Madura dipengaruhi oleh ekotipe tegalan. Di mana sistem perladangan kering membentuk pola pikir, orientasi permukiman, hingga pilihan-pilihan orang Madura untuk menyelesaikan masalah.

“Tetapi bagaimana hal tersebut dapat menjelaskan kekayaan spektrum (ke)Madura(an) yang membentang dari wilayah perbukitan hingga pesisir? Atau dari desa-desa di pelosok Pulau Sapudi hingga pemukiman liar yang tumbuh di sela-sela pancakar langit di Kuala Lumpur?,” kata Ridho.

Maka, jelanya, untuk memahami entitas (ke)Madura(an) barangkali hal tersebut perlu diletakkan dalam kerangka yang fragmentatif dan imajinatif. Di mana kadar (ke)Madura(an) bisa memiliki arti yang berbeda-beda bagi seorang nelayan di Pasongsongan; atau pengurus vihara di Pamekasan; atau masyarakat Pandalungan di wilayah Tapal Kuda; atau pengasong cinderamata di Sanur; atau mahasiswa indekos di Yogya; atau juragan besi bekas di Tanjung Priok; atau korban kerusuhan rasial di Sampit; atau bahkan penganut syiah di Sampang.

“Sangat mungkin kebudayaan Madura yang kita kenal secara parsial mendapatkan pengaruh yang jauh lebih kompleks daripada itu. Selain tanah tegalan, boleh jadi kebudayaan Madura juga dibentuk oleh angin, gugusan kepulauan, tanah perantauan, mitos, involusi dan modernisasi yang terus menerus terjadi. Berbagai silang pengaruh itulah yang kemudian membentuk citra dan personalitas Madura yang distingtif. Berbeda dari Jawa,” hemat Ridho.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Bagi dia, memperbandingkan Madura dengan Jawa dalam sebuah tatapan diametral mungkin sudah lama terjadi. Jika merujuk pada catatan antropolog Huub de Jonge, setidaknya hal tersebut jamak dilakukan pada masa kolonial.

“Pada masa tersebut, banyak pegawai pemerintah atau pelancong yang menulis dan memperbandingkan keduanya. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa manusia Madura bersifat “lebih kasar”, “keras”, atau “bebal” bila dibandingkan dengan penduduk Jawa,” katanya.

“Pandangan yang diwarisi sejak masa kolonial tersebut kemudian saat ini menjadi gestur yang umum, yaitu melihat Madura dari kacamata Jawa. Stereotip tersebut terus menerus dibuat dan dikonsumsi. Ironisnya, tak sedikit pula reproduksi citra yang pincang ini juga dilakukan oleh anak-anak muda Madura sendiri. Mereka membaca diri sendiri sebagai bagian dari artefak tua yang disimpan dalam lemari kaca. Mengekalkan diri. Seolah-olah Madura tidak mengalami perubahan dalam sendi-sendi kebudayaannya sendiri,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Ridho menjelaskan, pameran ini berusaha membongkar dan menelaah kembali Madura sebagai sebuah wilayah psiko-geografis dan kultural dalam spektrum yang lebih luas.

“Seniman yang diundang setidaknya mewakili keragaman tersebut: sebagian penduduk Madura, sebagian Madura diaspora, sebagian mewakili Pandalungan, sebagian lainnya adalah perupa non-Madura yang dapat memberikan pandangan yang lebih berjarak. Karya-karya yang dipamerkan mewakili empat kelompok narasi yaitu sejarah, pesisir, tanah dan gender,” tutur penyair yang juga pekerja teater itu.

Sementera itu, Ayos Purwoaji menerangkan, hubungan antara Jawa dan Madura secara geneanalogis barangkali dapat dirunut pada tragedi pemberontakan Trunajaya di tengah abad ke-17. Pada saat itu, Trunajaya, sebagai penguasa Madura Barat menggalang kekuatan untuk menggerogoti, dan pada akhirnya mencabik, pusat kekuasaan Mataram.

“Kemenangan itu tidak bertahan lama. Amangkurat II yang lari dan meminta bantuan VOC, akhirnya berhasil memukul balik pasukan Trunajaya dan mengeksekusinya di hadapan para bupati dan priyayi Jawa. Meneguhkan kekuasaan ala Mataram yang utuh dan tak terbagi,” katanya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Kepala Trunajaya, papar Ayos Purwoaji, konon dinistakan dengan cara dikubur di salah satu anak tangga menuju puncak pamakaman Imogiri, di mana raja-raja Mataram dikuburkan. Di bawah umpak batu kali, yang permukaannya memiuh membentuk tapak kaki, sisa terakhir tubuh Trunajaya bersemayam. Kematian yang tragis tersebut kemudian menjadi tanda kuasa Jawa atas Madura.

“Tafsir atas epos perjuangan (atau pemberontakan) Trunajaya tersebut tampil pada karya yang dihadirkan oleh Suvi Wahyudianto, Ika Arista dan repertoar bebunyian yang disusun oleh Rifal Taufani,” terangnya.

Tohjaya Tono dan Hidayat Raharja, lanjutnya, berusaha membaca Madura dari perimeter terluar yaitu wilayah pesisir. Dari sini muncul bayangan mengenai mobilitas, arus migrasi, bentuk-bentuk pembauran, dan berbagai singgungan atau tegangan antara manusia Madura dengan wilayah kebudayaan lain.

“Tono meramu serpihan ingatan masa kecil mengenai wilayah pesisir bagian barat seperti Sepolo, Tanjungbumi, atau Arosbaya dalam sebuah video animasi. Sedangkan Hidayat Raharja menghadirkan serial dokumentasi pesisir bagian timur, seperti wilayah Tanjung, Kalianget, atau Dungkek dalam sketsa-sketsa yang dibuat antara tahun 1992-2019,” ulas Ayos Purwoaji.

Sedangkan Anwari dan FX Harsono, sambung Ayos Purwoaji, mencoba mengangkat soal tanah di Madura yang dihidupi dan ditinggalkan. Formasi pegunungan kapur dengan hamparan tanah tegalan yang gersang menjadi tumpuan harkat sebagian masyarakat Pulau Madura. Di sisi lain, akibat adanya pembangunan sebagian penduduk terusir dari tanahnya. Sebagaimana ingatan atas peristiwa Waduk Nipah pada tahun 1993 yang ditampilkan dalam instalasi yang pernah dibuat oleh FX Harsono. Memperbincangkan tanah masih terasa relevan hingga hari ini. Karena sejak Jembatan Suramadu berdiri, alih fungsi dan alih kepemilikan lahan di Madura terjadi semakin cepat. Usaha perebutan tanah, di tengah harapan atas kemajuan dan kewajiban untuk menjaga warisan, tampil dalam lakon yang disajikan oleh sutradara Syamsul Arifin.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ayos Purwoaji menambahkan, sudut pandang mengenai gender hadir pada karya Nindityo Adipurnomo yang melibatkan simbolisasi femininitas dan maskulinitas masyarakat Madura dengan tarikan garis demarkasi yang tegas. Sementara fotografer Rémi Decoster menyajikan rangkaian kisah foto mengenai keberadaan gender nonbiner yang terdapat di Bangkalan.

“Fenomena tersebut sebetulnya memiliki akar dalam beberapa bentuk kesenian di Madura, di mana salah satunya adalah pertunjukan sandur atau salabadhan yang kerap ditampilkan dalam tradisi arisan (rémo) para blatér,” ujarnya.

Di sisi lain, lanjutnya, perupa muda Fakhita Madhury melukiskan konstruksi identitas perempuan Madura yang tumbuh dalam koridor kuasa patriarkal. Sebagaimana juga tampil dalam lakon yang disutradarai oleh Fikril Akbar mengenai fenomena pernikahan bawah umur yang masih kerap terjadi di beberapa daerah di Madura. Mencoba membingkai (ke)Madura(an) dalam sebuah narasi tunggal, sambung Ayos Purwoaji, tentu adalah sebuah usaha yang sia-sia. Justru kekayaan perspektif dan “pengalaman di antara” tersebut dirangkai oleh Lutvan Hawari dalam sebuah komposisi spekulatif yang berusaha menjahit bebunyian dari saronén Madura, gending Jawa, dan berbagai sampling soundscape yang familiar.

“Komposisi yang terdiri atas berbagai bunyi tersebut terdengar berjalan berdampingan (coexist) dan bukannya saling melebur (assimilate). Mewakili kompleksitas (ke)Madura(an) itu sendiri yang luwes menyerap berbagai pengaruh kebudayaan tanpa pernah bisa benar-benar ditundukkan,” tandas Ayos Purwoaji.

Pameran Némor (Southeast Monsoon) akan digelar mulai 17 Agustus 2019 hingga 14 September 2019 di di Cemeti-Institute for Art and Society, Jl. DI Panjaitan No.41, Mantrijeron, Kec. Mantrijeron, Kota Yogyakarta, DIY.  Pada acara pembukaan, Sabtu (17/7/2019) malam akan ditampilkan sebuah Pertunjukan oleh Anwari dan Pagelaran Musik oleh Lutvan Hawari.

Pada acara ini juga menghadirkan sejumlah seniman antara lain Anwari, Fakhita Madury, Erwin Oktaviyan, Fikril Akbar, FX Harsono, Hidayat Raharja, Ika Arista, Lutvan Hawari, Nindityo Adipurnomo, Rémi Decoster, Rifal Taufani, Syamsul Arifin, Suvi Wahyudianto, dan Tohjaya Tono. (red/nn)

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,153