Politik

Otsus Papua Milik Siapa?

paniai, natalius pigai, pedalaman papua, revolusi nguntal, kemiskinan, kepemimpinan jokowi, pengangguran, revolusi mental, nusantaranews
Otsus Papua Milik Siapa? Kabupaten Paniai, Papua, Indonesia. (Foto: YouTube)

NUSANTARANEWS.COOtsus Papua milik siapa? Pertanyaan ini muncul usai isu pembebasan tujuh tapol Papua dari Balikpapan mulai bergeser ke perdebatan Otsus Papua. Benarkah Otsus gagal?

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Jakarta, Adriana Elisabeth mengungkapkan selama kurun waktu lima tahun terakhir anggaran negara untuk Papua terus meningkat. Secara rata-rata, misalnya, daerah Papua mendapat kucuran dana empat kali lipat lebih banyak dari Jawa Timur.

“Di masa pandemi Covid-19, Pemerintah Pusat memberikan perhatian pada kasus-kasus yang terjadi di Tanah Papua. Para petugas menyalurkan bantuan sosial (program beras sejahtera) dan bantuan alat kesehatan untuk penduduk yang tinggal di pedalaman Papua, baik melalui jalur darat maupun udara dengan biaya angkut yang sangat mahal,” katanya dalam sebuah pernyataan tertulis, Minggu (5/7).

Sekilas mengenai Otsus Papua

Menurut Adriana, gambaran singkat kondisi Papua itu dapat menjadi catatan kekurangan atau kelemahan Otsus Papua, meskipun predikat sebagai daerah otonomi khusus, baik provinsi Papua maupun Papua Barat masih memiliki hak-hak politik yang berlaku bagi posisi kepala daerah di seluruh Papua, di mana bupati, wali kota dan gubernur harus putra asli Papua.

“Sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang diperbarui dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 (bersama dengan Nangroe Aceh), dua provinsi di Tanah Papua juga memiliki hak-hak ekonomi dan sosial dan budaya,” jelasnya.

Baca Juga:  Pemdes Pragaan Daya Membuat Terobosan Baru: Pengurusan KTP dan KK Kini Bisa Dilakukan di Balai Desa

BACA JUGA: Tokoh Muda Papua Ajak Publik Lihat Secara Utuh Kasus Rasisme di Amerika Serikat

Dia menuturkan, dana Otsus sebesarnya 2 persen dari seluruh Dana Alokasi Umum (DAU) di luar Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) yang berlaku 25 tahun untuk dua provinsi di Papua. Dana Otsus sejak 2002 dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan OAP, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Sedangkan DIT untuk mendukung pengembangan infrastruktur daerah. Selain, program khusus dari satuan kerja kementerian dan lembaga (K/L) yang diberikan ke Papua secara langsung dan vertika.

“Berdasarkan ketentuan desentralisasi fiskal, anggaran untuk program khusus dikelola oleh daerah masing-masing,” tuturnya.

Pada 2019, kata Adriana, dana Otsus Papua dan Papua Barat mencapai Rp 63,1 triliun. Sebanyak Rp 46,8 triliun ditransfer dari pusat ke daerah untuk didistribusikan kepada pemerintah provinsi, pemkot dan pemkab.

“Dana itu terdiri dari Rp 8,36 triliun dana Otsus dan Rp 4,3 triliun DTI. Sebanyak Rp 15,1 triliun bersumber dari APBN berupa program dari satuan kerja K/L, belum termasuk dana kampung. Dalam kalkulasi sederhana, dengan jumlah penduduk sekitar 4.3 juta jiwa (3,3 juta orang di provinsi Papua dan 1 juta orang di provinsi Papua Barat), maka alokasi dana APBN yang bisa dinikmati warga Papua mencapai Rp 14,7 juta per kapita. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional yang hanya berkisar Rp 3 juta sampai Rp 3,5 juta,” urainya.

Baca Juga:  Punya Stok Cawagub, PDI Perjuangan Berpeluang Usung Khofifah di Pilgub Jawa Timur

Narasi positif berbasis fakta

Meskipun ada Otsus dengan dana yang terus meningkat setiap tahun, Adriana mengatakan, ketidakpuasan masih melanda sebagian warga Papua. Akumulasi persoalan ketidakadilan sosial ekonomi, masalah keamanan dan pelanggaran HAM mudah meletup menjadi aksi-aksi massa seperti tahun lalu yang sebagian berlangsung anarkis.

“Lepas dari adanya kelompok politik yang sengaja meniupkan isu diskriminasi rasial, masih terdapat banyak persoalan di Tanah Papua (sejak pemberlakuan Otsus Papua 2001). Semua seakan menjadi bom waktu belum lagi ditambah prasangka buruk dan simpang siur informasi yang mudah memantik kemarahan masyarakat,” terang Adriana.

Selanjutnya, kata dia, Otsus Papua tidak terbukti menjadi jalan tengah. Masih ada disharmonisasi relasi dan perbedaan perspektif tentang keberhasilan atau kegagalan Otsus. “Namun memang, model pembangunan Papua perlu diubah bukan lagi membangun di Papua melainkan Papua membangun,” katanya.

“Dalam konteks Otsus Papua, perlu diingat kembali bahwa pada awal Otsus Papua ditetapkan. Tidak proses transisi administrasi dan politik, dan tidak ada pendampingan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi Papua untuk mengemban kewenangan otonom dalam kerangka Otsus. Bagaimana mengelola Otsus dan anggarannya secara transparan dan akuntabel? Proses transisi yang tidak mulus berakibat pada pemahaman yang tidak sama mengenai Otsus Papua,” terang dia.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

Sebagian orang hanya paham substansi Otsus secara parsial, kata Adriana. Namun yang lain hanya tahu mengenai dana Otsus. “Otsus adalah uang,” cetusnya.

Kemudian, tambahnya, esensi Undang-Undang Otsus Papua adalah pada pemihakan, perlindungan dan pendampingan bagi OAP agar dapat mencapai kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) di berbagai bidang. Namun Otsus Papua kerap menjadi perdebatan. Apakah Otsus hanya milik orang Papua? Bagaimana dengan warga Papua yang lain? Apakah mereka tidak bertanggungjawab atas proses pembangunan di Tanah Papua?

“Otsus Papua harus direvisi, namun prosesnya tidak bisa ditentukan oleh Pemerintah Pusat saja, melainkan perlu melibatkan elemen-elemen di tujuh wilayah adat di seluruh Papua dan juga warga lain yang selama ini berkontribusi positif bagi Papua,” tegas Adriana.

Membuka ruang konsultasi publik dalam konteks revisi Otsus Papua akan membangun kesadaran bersama bahwa setiap proses memerlukan legitimasi dan ownership, sehingga setiap keberhasilan ataupun kegagalan akan menjadi tanggung jawab bersama. Ruang publik, lanjut dia, harus dibuka dengan bahasa dan komunikasi tanpa kekerasan (non-violent communication), tanpa stigma dan diskriminasi. (bro/yk/ed)

Related Posts

1 of 3,056