Orde Pancasila, Jaminan Kebahagiaan Anak Semua Bangsa

Lukisan "Melahirkan Pancasila" (2011) karya V.A. Sudiro/Foto: Dok. Majalah Griya Asri

Lukisan "Melahirkan Pancasila" (2011) karya V.A. Sudiro/Foto: Dok. Majalah Griya Asri

NUSANTARANEWS.CO – “Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa,” demikian kata penyair semua zaman yang dimiliki Indonesia, W.S Rendra dalam sajaknya, “Hai Ma”.

Satu bait penutup sajak panjang si burung merek di atas mengingatkan kita bahwa, hidup hanyalah soal ruang dan waktu di dunia. Selebihnya adalah mengoptimalkan daya hidup sebagai fitrah murni yang manusia miliki. Kemudian menerima segala yang ada dalam diri dan di luar diri (alam dan masyarakat) sebagai kenyataan dari tugas dan kewajiban di dalam kehidupan. Akhirnya, diri akan peka terhadap setiap gejala yang ada tanpa merasa kaku mendapati dan menyikapi perbedaan.

Perbedaan adalah keniscayaan bagi orang Indonesia, bahkan sejak zaman raja-raja. Perbedaan itu pulalah yang melahirkan “Tanah air”, “Bangsa”, dan “Bahasa” yang diberi nama “Indonesia” di dalam “Sumpah Pemuda”. Selanjutnya, atas nama perbedaan tetapi satu tujuan, dibentuklah negara bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Sekali lagi, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dicetuskan pula sebuah semboyan perekat kebangsaan yakni “Bhineka Tunggal Ika”. Bersama Pancasli, UUD’45, lengkap dengan Bhineka Tunggal Ika, senyatanya jika dapat dijalankan, NKRI akan menjadi negara bangsa terdamai dan termakmur di seluruh dunia.

Adapun faktanya, Indonesia kini menunjukkan kerapuhannya. Dengan jelas mata dunia memandang, betapa keroposnya bangunan politik, hukum, dan ekonomi di Indonesia. Bahkan, kerapuhan pun mulai menjamah ranah agama dan budaya. Kenapa hal itu bisa terjadi? Sebab Pancasila belum sepenuhnya diamalkan. Padahal amana pembukaan UUD 1945 menjelaskan bahwa Pancasila wajib dijalankan oleh penyelenggara negara.

Berdasarkan perintah konstitusi tersebut, jangan lalu rakyat yang dituntut untuk menjalankan Pancasila. Rakyat tidak mungkin menjalankan Pancasila sesuai dengan konstitusi – karena rakyat bukan penyelenggara negara. Bila Pancasila menjadi sistem pemerintahan maka rakyat dapat mengontrol pelaksana negara apakah perilakunya sudah sesuai dengan nilai-nilai dan moral Pancasila.

Sebagai penegas, Pancasila adalah harga mati sebagai dasar negara Republik Indonesia. Siapa menentang Pancasila adalah pengkhianat bangsa. Selain itu, menentang Pancasila juga sikap pengingkaran terhadap keber-Ada-an Tuhan yang Maha Esa, menentang keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, seterusnya dan setersnya.

Oleh karena itu, kini sudah tiba waktunya bagi bangsa Indonesia (khususnya Pemerintah) untuk memantapkan diri dalam mengamalkan nilai-nilai dan moral Pancasila. Sungguh, tidak jalan ideologi berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari pancasila bila setiap butirnya diamalkan.

Mengamalkan Pancasila hari ini sama saja dengan bangkit dari keterpurukan masa lalu dan membuat jaminan kebahagiaan (kemaslahatan) bagi anak-anak Indonesia di masa depan. Dan tidak menutup kemungkinan, jika Indonesia sanggup menjalankan Pancasila dengan total, kelak, Pancasila akan menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara di negara-negara dunia.

Namun yang paling utama, dengan mengamalkan pancasila, berarti ia mengamini dan menghargai fitrahnya sebagai mausia Indonesia. Ketika hal itu dilakukan, jika negara dalam keadaan darurat dan pertiwi memanggil, atas nama bangsa Indonesia, ia akan memenuhi panggilan ibu pertiwi.

Akhirnya, ia akan berkata: “Bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup, karena kehilangan daya dan fitrahnya”. Persis seperti bait pembuka sajak “Hai Ma” W.S Rendra. (Sulaiman)

Exit mobile version