Berita UtamaKolom

Operasional Serangan Moneter di Indonesia – Opini Letnan Jenderal Tni (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin

NUSANTARANEWS.CO – Melalui pemanfaatan sentimen pasar, maka proses pembentukan opini pelaku pasar dilakukan. Eskalasi proses yang didukung oleh pemberitaan media secara meluas menjadikan tingkah laku pelaku pasar diadopsi oleh tingkah laku publik. Rangkaian pembentukan sentimen ketidakpercayaan dilakukan antara lain:

  1. Melakukan “dumping” (banting harga) atas surat hutang bank-bank pemerintah.
  2. Beredarnya isu bond di lokasi sentral keuangan Jakarta justru pada setiap puncak aktivitas harian transaksi keuangan dengan pasar uang dunia. Putusnya transaksi karena para “dealer’ (pelaku transaksi pasar uang) meninggalkan gedung dengan alasan keamanan, justru menimbulkan dampak psikologis hebat bagi “counter part” dealer di pusat keuangan dunia, yang dalam banyak hal menjadi sumber informasi bagi pemilik dana (fund manager/investor) di luar negeri.
  3. Memperdagangkan mata uang Asia Tenggara pada Juli 1997 di New York Cotton Exchange dan pasar uang Dublin (lrlandia) untuk transaksi ‘’future” (masa depan) atas mata uang Rupiah, Ringgit dan Baht yang memberi keleluasaan untuk dimanfaatkan oleh spekulan merekayasa suatu transaksi nilai tukar.
  4. Pengumuman Indonesia sebagai negara peringkat ke 46 dari 52 negara yang paling korup berdasarkan perhitungan Coruption Perception Index (CPI), yang dilakukan oleh Transparancy International.

Dikombinasi oleh pemberitaan skala luas oleh media yang mengutip komentar pakar yang lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, terbentuk krisis kepercayaan atas nilai Rupiah. Situasi ini diperparah oleh tindakan penutupan 16 bank di Indonesia atas permintaan IMF November 1997, serta pernyataan spekulan raksasa dunia, George Soros pada bulan September 1997 di Hongkong, bahwa Rupiah berada di tangannya, artinya spekulan berada pada posisi memborong US Dollar.

Baca Juga:  Bencana Hidrometeorologi Incar Jawa Timur, Heri Romadhon: Masyarakat Waspadalah

Ketika opini pasar yang diikuti oleh tingkah laku publik sudah satu arah maka terbentuk rasa tidak percaya akibat ketidakpastian harga mata uang pada transaksi “future”. Dimana nilai Rupiah tidak dapat diprediksi dan cenderung terus melemah.

Dalam situasi tersebut, maka isu yang berkembang dengan mudah digunakan untuk memanipulasi permintaan dan penawaran Rupiah terhadap US Dollar di pasar uang. Bank Sentral selaku otoritas moneter, di samping menutup 16 bank justru melakukan pelepasan kendali atas penentuan nilai tukar.

Akibatnya dapat diduga, nilai tukar yang menjadi dasar transaksi ekonomi berbasis valuta asing ditentukan oleh ulah pelaku pasar yang umumnya para spekulan mata uang. Korelasi krisis moneter pada tatanan politik ekonomi Indonesia telah membuka suatu persepsi bahwa krisis ini pada awalnya berbentuk suatu serangan moneter yang mempunyai target berkelanjutan.

Pada dasarnya setiap investor adalah pengusaha, yang artinya tujuan dari transaksinya adalah memperoleh keuntungan. Sifat menarik keuntungan yang sebesar-besarnya pada prinsipnya selalu dilakukan sampai batas yang memungkinkan “counter part” bisnis yang merugi dapat memperkuat diri untuk kemudian bertransaksi lagi.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

Krisis Poundsterling yang merugikan pemerintah lnggris akibat jatuhnya nilai Pound pada tahun 1992 yang dilakukan oleh spekulan, nyata tidak menghancurkan perekonomian lnggris. []

Related Posts

1 of 10