Hukum

Ombudsman : Pelayanan Publik Terhadap Kaum Minoritas Masih Diskriminatif

NUSANTARANEWS.CO – Pelayanan publik terhadap kelompok minoritas di Indonesia dinilai masih diskriminatif. Hal itu diutarakan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (RI) Ahmad Suaedy, di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa, (6/12/2016).

Kata Suady hal tersebut didasari oleh temuan-temuan di lapangan. Misalnya seperti yang terjadi pada salah satu siswi SMK Negeri 7 Semarang bernama Zulfa. Dimana Zulfa tidak naik kelas lantaran mendapatkan nilai 0 (nol) dalam mata pelajaran Agamanya, hanya lantaran yang bersangkutan pemeluk Penghayat Kepercayaan.

“Pada kasus lain, kesulitan mendapatkan e-KTP menimpa sebagian besar warga Ahmadiyah di Manis Lor dan warga pemeluk Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,” bebernya.

Dalam kasus Ahmadiyah di Manis Lor ini, pemerintah daerah dan pejabat pelayanan publik Kabupaten Kuningan menolak memberikan e-KTP kepada mereka dengan alasan ada tekanan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan gerakan intoleran tertentu setempat.

Lebih lanjut dia mengatakan, ketiadaan penyebutan penghayat kepercayaan dalam UU sisdiknas tersebut diartikan sebagai ketidakharusan negara dan pemerintah melayani warga negara pemeluk Penghayat Kepercayaan.

Baca Juga:  Korban Soegiharto Sebut Terdakwa Rudy D. Muliadi Bohongi Majelis Hakim dan JPU

Sementara itu, terkait persoalan lain, yakni terkait pengingkaran pelayanan e-KTP kepada Penghayat Kepercayaan di banyak daerah yang didasarkan pada anggapan bahwa Penghayat bukan termasuk ke dalam enam kategori “enam agama yang diakui”.

Anggapan itu berakar pada UU yang lahir sebelum amandemen,  yaitu Pasal 1 UU No 1 PNPS 1965 berisi tentang deskripsi eksistensi enam agama besar: islam,  Katolik,  Protestan,  Hindu,  Buddha,  Khonghucu.

“Namun,  jika kita cermati penjelasan Pasal 1 UU tersebut,  tidak satu pun ada kata yang menyebut enam agama sebagai agama resmi dan lainnya tidak resmi atau diakui dan tidak diakui,” katanya.

Kata dia diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan agama dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang masih berlangsung hingga saat ini berpotensi menimbulkan maladministrasi terhadap prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana terdapat dalam UU No 25 Tahun 2009 tentang publik.

Atas dasar itu,  Ombudsman RI selaku lembaga pengawas pelayanan publik mengundang berbagai pihak untuk menyuarakan persoalan kelompok minoritas atas kepercayaan demi penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dan berkeadilan. (Restu)

Related Posts

1 of 23