Opini

Odalan dan Pluralitas Kita

Tradisi Odalan
Tradisi Odalan. (Foto: Wikipedia)

Odalan dan Pluralitas Kita. Peristiwa penghentian kegiatan Odalan di Kabupaten Bantul mengusik kenyamanan kehidupan bersama. Kejadian ini mengajak kita berpikir kembali soal kebebasan beragama dan berkayakinan di ruang publik sebagai hak-hak dasar warga negara. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Tidak ada alasan bagi sesama warga negara untuk membubarkan atau melarang proses beribadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Penghentian kegiatan Odalan oleh sejumlah warga di Kabupaten Bantul membuktikan bahwa kebebasan beragama dan menjalankan ibadah di ruang publik belum sepenuhnya disadari oleh semua warga negara.

Belum genap setahun lalu, peristiwa pemotongan nisan salib di Kabupaten Bantul masih membekas pada ingatan publik. Bagaimana jaminan negara terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negaranya di ruang publik?

Indonesia merupakan negara yang terbangun karena perbedaan identitas serta kelas. Ironisnya, hal itu terjadi di DIY, yang notabennya sebagai barometer dearah plural serta istimewa di Indonesia.

Keadaban Ruang Publik

Memang saat ini tidak ada pengertian tunggal soal ruang publik atau perbedaan antara ruang publik dan privat. Kontroversi sering terjadi, namun bukankah ini yang dikehendaki oleh kepentingan global untuk menggunakan kembali taktik politik peca belah untuk memecah dan menguasai?

Kasus penghentian peringatan Odalan menjadi momentum refleksi bersama untuk memahami kemabli apa yang disebut ruang publik atau ruang privat. Mengenai kasus tersebut, terdapat banyak perbedaan tafsir, apakah kegiatan tersebut dilaksanakan di ruang publik atau privat?

Ruang publik adalah realitas kehidupan sosial, dimana terdapat proses pertukaran informasi mengenai berbagai pandangan. Keberadaan ruang publik merupakan bagian penting bagi titik pertemuan antar masyarakat. Sedangkan, ruang privat merupakan tempat individu bebas melakukan apa pun terlepas dari intervensi pihak-pihak lain yang berada di luar individu tersebut.

Dalam perkembangan dunia saat ini, antara ruang publik dan privat sudah tidak terdapat batas, telebih kehadiran media sosial, dimana orang dapat menceritakan urusan prinadinya pada publik,begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya ketimbang berdebat mana yang menjadi urusan publik atau privat, kita dapat melakukan upaya-upaya pendewasaan dengan memberikan duduk permasalahan secara menyeluruh dan membangun komunikasi bersama sebagai proses pertukaran informasi, bukan sebatas pertamuan atau kontak sosial.

Terkait dengan penghentian Odalan, sejumlah warga berdalih bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan di ruang privat dan belum mendapatkan ijin. Hal itu berkebalikan dengan ungkapan Utiek bahwa kegiatan tersebut adalah acara tahunan dan ijin telah mereka dapatkan di tingkat RT serta tetangga kanan-kiri. Terlepas perdebatan Odalan dilakukan di ruang privat atau publik. Terdapat hal substantif yang dapat kita jadikan refleksi bersama bahwa terjadinya kontak dan komunikasi warga sebagai bentuk interaksi sosial.

Berpikir ulang tentang perbedaan tafsir di atas, memberikan kita kesadaran bersama bahwa satu persoalan yang menjadi tantangan negara plural adalah komunikasi. Negara sebagai penjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan rumah bersama, bukan rumah Islam-Indonesia, Katholik-Indonesia, Kristen-Indonesia, Budha-Indonesia, Hindu-Indonesia. Oleh karenanya, perlu sikap untuk mengayomi dan menjadikan titik perjumpangan menyepakati titik perjumpaan bersama atas identitas-identitas partikular.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Terkait ijin adalah persoalan legal-formal, tetapi paradigma dasar yang dapat dijadikan titik urgen adalah upaya dialog bersama antar warga yang difasilitasi oleh pemerintah desa sebagai representasi negara. Sehingga, tercipta kesepaham nilai yang menjadi pondasi menjadikan ruang publik sebagai ruang artikulasi dialog serta pertemuan dari beragam identitas dan kelas dalam negara plural, bukan ruang eksistensi dan eksklusi.

Persolan ini bukan sebatas lingkup antar agama di Kabupaten Bantul. Namun, permasalahan yang kita hadapi bersama dalam kehidupan keseharian dimana pun, sebagai bangsa plural. Perlu adanya kesepakatan nilai bersama, hal ini akan memberikan kesepahaman di awal dan saling mengetahui satu sama lain.

Pemerintah Desa seharusnya dapat memfasiltasi pertemuan awal dan rembug bersama semua warga. Begitu pun, semua warga harus menyadari bahwa bangsa kita adalah negara plural, yang terdiri dari perbedaan kelas serta identitas. Ini adalah titik abu-abu, pemahaman keberagaman masyarakat juga berbeda-beda. Oleh karenya, perlu adanya penguatan nilai hidup bersama dengan mengembalikan nilai kemanusiaan sebagai pijakan dasarnya.

Berbagai persolaan konflik identitas di Indonesia, terjadi karena absenya negara sebagai penjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta upaya dominanasi nilai identitas dan kelas tertentu menjadikan ruang publik bias kepentingan dominan. Hal ini berakibat terciptanya komunikasi dan relasi tidak seimbang serta konflik sosial menjadi rutinitas kehidupan.

Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Melihat peristiwa Odalan, masyarakat sebagai warga negara sama-sama telah memiliki akses untuk mengusung opini publik, baik warga yang menghentikan maupun melaksanakan. Hal yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah diperlukan pemerintahan yang memiliki kepekaan untuk mengola hal tersebut. Ini merupakan meomen awal untuk menuju keadaban ruang publik, dimana keadaban ruang publik tercipta saat semua warga negara memiliki rasa saling membutuhkan satu sama lain dan terjadi hubungan dinamis-setara tanpa mengeklusi peran kelompok lain. Melihat peristiwa pembubaran kegiatan odalan, masih jauh rasanya untuk menggapai keadaban publik.

Praktik Demokrasi Agonistik

Demokrasi merupakan sebuah proses politik, di mana terdapat berbagai macam bentuk paradoks yang terus berlangsung tanpa dapat dihindari di dalamnya. Inilah salah satu karakter demokrasi radikal, yang sering kali juga dikenal dengan istilah agonisme politik atau demokrasi agonistik
Agonisme berasal dari kosakata Yunani Kuno agon. Dalam Bahasa Inggris, sinonimnya adalah struggle yang bermakna berjuang. Agonisme jangan disamakan dengan ”antagonisme”.

Antagonisme memiliki arti sikap kontra atau perlawanan yang cenderung berkonotasi negatif. Sebaliknya, agonisme mempunyai makna positif yang mencakup kompetisi atau kontestasi (Salim GP, 2016). Agonisme dengan demikian adalah praktik aristokratis yang berkesesuaian dengan salah satu prinsip penting demokrasi, yaitu persamaan (Kalyvas 2009).

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Dalam demokrasi agonistik, konflik politik merupakan hal yang tak terhindarkan. Konflik dalam tradisi politik agonistik berperan untuk: (1) memelihara pluralitas demi menghindari terjadinya polarisasi dan (2) menumbuhkan rasa segan terhadap kelompok yang berlainan identitas (Schaap 2009). Dengan kata lain, demokrasi agonistik bertujuan untuk mencapai atau melakukan transformasi dari satu relasi yang antagonistik menjadi agonistik. Dalam ungkapan Mouffe (2000), keberhasilan demokrasi ditentukan oleh sejauh mana kemampuannya mengubah konfrontasi yang antagonistik menjadi relasi sosial yang agonistik.

Menengok terjadinya penghentian ibadah odalan, terdapat pesan penting demokrasi agonistik, dimana ada nilai perjuangan untuk perubahan dari sebuah konflik. Saat ini bukan saatnya kita menilai bahwa kejadian konflik identitas di masyarakat merupakan tindakan baik atau buruk, tetapi bagaimana kita dapat duduk bersama untuk mengolah koflik tersebut. Dengan catatan, setiap warga negara adalah setara dimata hukum dan memiliki kesadaran untuk melampaui identitas partikularnya.

Kesadaran tersebut dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, bahwa pendidikan adalah arena untuk belajar bersama dan trasfer pengetahuan serta nilai. Namun, tugas tersebut bukan hanya peran dari institusi pendidikan satu-satunya melainkan sinergi antara keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat. Arus utama nilai nasionalis, religius, dan humanis perlu menjadi landasan pengembangannya, sebagaimana telah dicerminkan oleh dua begawan pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dan Driyarkara.

Niscaya dalam masyarakat plural jika tidak terdapat konflik. Namun, bagaimana memaknai konflik sebagai upaya memelihara keberagaman dan momen perubahan bersama.

Selama ini terdapat kesalapahaman mengartikan demokrasi, dimana memaknainya sebagai kebebasan. Padahal, kebebasan itu harus menyatu dengan nilai lain yang tidak dapat ditinggalkan yaitu tanggung jawab. Kita boleh bebas menyampiakan pendapat atau menilai sesutau tapi harus didasari adanya nilai tanggung jawab.
Hal ini relevan dengan konsep politik agonistik untuk mengganti penggunaan kata dari musuh menjadi lawan. Bahwa saat kita menggunakan kata musuh secara langsung kita akan mengangapnya berbeda dengan kita serta menjadi kompetitor, tetapi saat menggunakan lawan, yang kita perdebatkan adalah argumen/pendaptanya dengan tetap memposisikannya setara dengan kita.

Kelompok atau individu yang berbeda bukanlah musuh melainkan adalah kolega untuk berdialog dan membangun komunikasi dinamis-setara sebagai upaya mengisi ruang publik. Selain itu, selama ini kita juga menyadari bahwa keberagaman sebatas pada perbedaan identitas.

Pernahkah kita menyadari bahwa terdapat perbedaan juga mengenai kelas sosial, sehingga mengartikan keberagaman harus menyangkut dua hal itu secara bersamaan.

Ini menjadi poin pemahaman penting kita bersama. Selama ini kita juga dididik dengan kesadaran bangsa yang multikultur serta menjujung toleransi. Kata tolerasni sendiri memiliki arti untuk menghargai kelompok lain, tapi pernakah kita sadar saat menggunakan kata tolerasni maka terdapat hubungan komunikasi yang tidak setara, bahwa orang yang mentoleransi memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang orang yang ditolerir. Oleh karenanya sudah saatnya kita mengganti kata tersebut dengan padanan lain untuk menciptakaan kesetaraan sejak dalam kata.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Poin ini juga memberikan kesadaran bagi kita,bahwa bahasa mengandung kuasa, oleh karenanya bagimana sejak dalam penggunaan bahasa kita dapat mengafirmasi kelompok lain, itu menjadi pekerjaan rumah bersama kita. Untuk membangun Indonesia dengan dasar keberagaman serta hubungan yang setara, sudah tidak mungkin lagi menggunakan toleransi. Namun, mengembalikannya sebagai upaya perjuangan bersama.

Permasalahan lain hadir pada penyamaan arti antara multikultural dan pluralisme, dimana satu menekankan mengolah perbedaan budaya, satu lagi upaya untuk mengakomodasi perbedaan budaya dan kelas sosial. Persolan Odalan memberikan arti penting bagaimana kesadaran sejak dari penggunaan kata dalam berkomunikasi memiliki implikasi besar. Tidak perlu menangisi peristiwa ini dengan memberikan label siapa menang atau kalah?. Tetapi permasalahan ini kita menyadarkan kita bersama serta menjadi titik baru untuk mengolah konflik pada masyarakat majemuk.

Menuju Peradaban Agung

Negeri kita terletak di dalam persilangan budaya dan dunia yang beragam. Denys Lombart (2008) mengatakan bahwa ini adalah peluang untuk menuju peradaban agung. Untuk menggapai peradaban agung tersebut kita telah mempunyai berbagai prestasi. Salah satunya adalah pancasila, dimana merupakan kesepakatan dasar yang mampu menjadi rumah bagi kita bersama.

Sejarah perumusan pancasila menujukkan bagaimana identitas partikular dapat dilampuai demi menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama. Perlu ditekankan bahwa kita tidak sedang menjadikan pancasila sebagai acuan tunggal melainkan mengambil nilai dari setiap sila untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegera.

Publik selama ini menilai bahwa DIY adalah daerah plural, tempat pertemuan berbagai identitas serta kelas dari seluruh Indonesia. Terlebih, Indonesia menjadikannya sebagai barometer pluralisme. Di samping itu, pondasi keiistimewaan dapat menjadi rujukan bagi upaya merajut ke-Indonesia-an dan menenun kebangsaan. Hal itu relevan dengan pondasi ciat-cita keiistimewaan untuk mewujdukan kemuliaan martabat manusia Yogyakarta.

Dengan berpijak pada landasan nilai-nilai tersebut merupakan langkah awal kita untuk menuju peradaban agung. Sudah saatnya berpikir besar tanpat terjebak identitas-identitas partikular yang justru membuat kita lupa akan adanya hal lain yang daoat kita perjuangkan bersama. Untuk menuju titik itu memang tidak mudah, tetapi saat terdapat pondasi bersama serta saling bergandengan bukan tidak mungkin kita dapat menggapinya sebelum bangsa ini 100 tahun merdeka.

Apabila kita bisa mempraktikkan demokrasi agonistik, maka kita bisa berharap keindonesian dalam kebinekaan itu akan tetap terpelihara dan terus bisa diwujudkan, meski kita dihadapkan pada tantangan pluralitas yang semakin mengemuka di masyarakat plural.

Penulis: Agung Kresna Bayu, Alumnus Sosiologi UGM dan Pegiat CPI (Critical Pedagogy Indonesia)

Related Posts

1 of 3,050