ArtikelKolom

NTB Tanah Lobster

Oleh: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

NUSANTARANEWS.CO – Pada awal mulanya lobster ditemukan diperairan laut Amerika, Meksiko dan California. Udang yang berukuran besar ini diternak pada dua habitat yakni air tawar dan laut. Kalau air tawar dikenal komoditas ikan hias.

Lobster kebanyakan datang dari pesisir timur laut Amerika Utara melaluu Canadian Maritimes dan negara bagian Amerika Serikat Maine sebagai produsen terbesar. Mereka ditangkap dengan menggunakan jebakan lobster. Alat tersebut diberi umpan dan diturunkan ke dasar laut. Alat ini membiarkan lobster masuk, namun tidak mungkin bagi lobster besar untuk keluar. Alat ini membuat lobster kecil dapat keluar sehingga bisa mencegah penangkapan lobster yang berlebihan.

Lobster baru populer di pertengahan abad ke 19, diperkenalkan oleh penduduk New York dan Boston. Ketika itu, kapal khusus juga dibangun untuk menjaga agar lobster yang ditangkap tetap hidup selama transportasi.

Lobster merupakan makanan orang miskin di Maine, Massachusetts, dan penduduk pinggir pantai Kanada. Lobster disajikan kepada narapidana untuk mengganggu selera makan mereka. Pemanfaatan lainnya dari lobster adalah sebagai bahan pupuk dan umpan ikan, dan dikalengkan masuk industri pengolahan bahan baku laut pada awal abad ke 20.

Warna dan bentuk tubuhnya menjadi daya tarik tersendiri untuk dijadikan sebagai pajangan di aquarium. Berbagai jenis lobster telah banyak di import untuk memenuhi pasar ikan hias di Indonesia. Selain itu, para nelayan lobster hias juga berburu jenis-jenis lokal species asli Indonesia.

Di Indonesia komoditas sendiri bahwa lobster air tawar sebagai hiasan mulai dikenal sejak tahun 1991. Keberhasilan teknik budidaya lobster air tawar membuat pertumbuhannya cepat dan dapat mencapai ukuran yang besar, sehingga sejak tahun 2003 para pembudidaya mengembangkan jenis udang tawar ini tidak hanya sebagai komoditas hias, tapi juga untuk komoditas konsumsi. Kebutuhan lobster air tawar konsumsi semakin meningkat, namun produksinya masih sangat rendah sehingga harganya sangat tingi.

Begitu juga, Lobster yang berasal dari laut sendiri, nelayan menangkapnya dan kini menjadi sala satu komoditas ekspor yang sangat tinggi. Lobster menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi masyarakat, terutama di nelayan Lombok yang berada di Awang, Ekas, Gerufuk, Buwun Mas dan Batu Nampar. Mereka sangat meningkat perekonomiannya. Namun, ironisnya Susi Pudjiastuti mengeluarkan peraturan menteri yang melarang penangkapan Lobster. Kini Lobster mirip narkoba, seolah Lobster merusak lingkungan dan menjadi racun akan terumbu karang.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Tidak sampai disitu saja, Susi Pudjiastuti bekerjasama dengan kepolisian memburu siapapun nelayan yang sedang menangkap Lobster. Artinya, negara, menteri, polisi dan TNI sedang menjadi tumbal bisnis kartel yang dipelihara oleh menteri Susi Pudjiastuti sendiri.

Pemeliharan lobster air tawar relatif tidak sulit. Untuk kolam tanah, makanannya tersedia secara alami berupa plankton. Sebagai makanan tambahan diberikan campuran parutan singkong, buah pepaya dan pelet. Pakan tambahan ini ditebarkan ke kolam sekali sehari. Lobster dipanen setelah dipelihara selama enam bulan. Pada usia tiga bulan seperti ini, lobster sudah dapat dikonsumsi, namun dari sisi ukuran belum layak, karena belum memenuhi kriteria permintaan pasar.

Kebutuhan lokal Lobster sesuai dengan jenis, seperti Lobster penjapit merah yang dipasarkan di kota-kota di Pulau Jawa. Harganya sekitar 100 ribu rupiah per kilogram. Harga jual lobster di pasaran yang cukup menggiurkan, membuat usaha nelayan dan budidaya sangat layak untuk ditekuni karena menjanjikan keuntungan. Permintaan lobster cukup tinggi dan belum seluruhnya dapat dipenuhi.

Sementara Lobster di wilayah Amerika, Meksiko, Vietnam, hanya untuk konsumsi dengan model kukus secara utuh dengan Nilai nutrisi per 100 gram (3,5 oz) Energi 372 kJ (89 kcal), Tiamina (Vit. B1) 0.023 mg (2%), Riboflavin (Vit. B2) 0.017 mg (1%), Niasin (Vit. B3) 1.830 mg (12%), Asam Pantotenat (B5) 1.667 mg (33%), Vitamin B 60.119 mg (9%), Folat (Vit. B9) 11 μg (3%), Vitamin C0 mg (0%), Kalsium 96 mg (10%), Besi 0.29 mg (2%), Magnesium 43 mg (12%), Fosfor 185 mg (26%) Kalium 230 mg (5%) dan Zink 4.05 mg (41%).

Sebetulnya, Lobster memiliki cirihas sebagai hewan laut untuk hiasan dan memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan melarang nelayan Lobster NTB untuk menangkap. Akibat larangan itu nelayan lobster di wilayah Nusa Tenggara Barat mengalami kerugian akibat pelarangan tangkap dan ekspor bibit lobster.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti hanya berjanji dan berbohong akan membeli bibit lobster yang sudah terlanjur dipanen untuk kemudian dilepas kembali di lautan. Logika darimana mau membeli? sementara bibit Lobster dibongkar terlebih dahulu untuk diperiksa apabila ditangkap. Sehingga membuat bibit Lobster mati dan tak berguna lagi. Jadi kalau Susi Pudjiastuti mau membeli bibit Lobster mati ya silahkan. Ini adalah bentuk arogansi dan kebohongan serta pencitraan Susi Pudjiastuti. Tidak mutu jadi menteri, monoton, dan monolog komunikasinya.

Sampai sekarang ini rencana pembelian bibit lobster itu masih dalam pengkajian, baik jumlah, harga, dan ukuran pembelian bibit. Hingga sekarang, masih mengkaji, lucu. Sementara nelayan ditangkap terus.

Apabila lobster tidak dilarang dan di jadikan destinasi pariwisata, maka ekonomi nelayan dan masyarakat akan meningkat. Kalau dihitung, lobster bisa ekspor 5 juta 7,5 juta ekor bibit lobster dalam setahun ke Vietnam. Harga yang ditawarkan ke negara tersebut pun mencapai US$4 per ekornya untuk ukuran bibit 2 cm 5 cm.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/2015 Tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, penangkapan lobster hanya boleh dilakukan pada ukuran panjang karapas di atas 8 cm atau setara dengan 300 gram 400 gram. Penangkapan lobster di bawah ukuran tersebut, termasuk bibit, dilarang ditangkap dan diperjualbelikan. Peraturan ini dikeluarkan mengingat populasi lobster, kepiting, dan rajungan sudah mengalami penurunan.

Larangan ekspor bibit lobster mengganggu pendapatan para nelayan termasuk pembudidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Nelayan sudah sejahtera dengan memasok/mengekspor bibit lobster dengan rata-rata pendapatan Rp 8 juta/bulan. Produksi bibit lobster di sana sangat besar. NTB pemasok terbesar bibit lobster di dunia.

Paling kecil jumlah pengiriman bibit lobster dari Lombok sebanyak 10 boks per hari. Setiap 1 boks ada 12 kantong plastik, di dalam 1 kantong plastik terdapat 60 ekor bibit lobster. Namun pada saat panen biasanya jumlah pengiriman boks per hari mencapai 40 boks dengan jumlah ekor bibit lobster sebanyak 28.800 per hari atau senilai Rp 1,4 miliar (US$4/bibit lobster). Kisaran harga di Vietnam US$ 4/ekor dengan ukuran 2-5 cm sesuai harga ekspor kalau harga di tingkat petani Rp 20.000/ekor sampai size 5 cm. Vietnam hanya minta 2-5 cm. Penghasilan nelayan di pesisir NTB Rp 8.640.000 / bulan / keluarga.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Karena di larang oleh Susi Pudjiastuti, maka kondisi saat ini, bahwa nelayan Lobster yang sudah berkembang di Lombok sebelumnya mengalami nasib tragis karena tidak bisa menangkap, jatuh pendapatannya hingga ke 2000 rupiah. Ini merupakan bentuk kezaliman Susi Pudjiastuti yang tidak becus tangani nelayan.

Lobster sangat menjanjikan, karena ada gap bisnis antara sesama pengusaha dengan Susi Pudjiastuti sehingga dengan seenaknya menerbitkan peraturan menteri. Sementara bisnis lobster Susi Pudjiastuti sendiri tetap berjalan dengan baik. Menyiksa nelayan, harusnya kalau jadi menteri bisa berkesempatan sejahterakan nelayan.

Berdasarkan hal itu, sebenarnya NTB merupakan pemasok, eksportir, destinasi dan pembangunan ekonomi Lobster yang sangat di nantikan, akan mampu memberikan keuntungan dan devisa bagi negara. Sehingga bisa menjadi dasar pertimbangan yang kuat bahwa NTB memang layak disebut  “NTB Tanah Lobster”.[]

Baca Artikel dan berita menarik lainnya seputar Nelayan dan Lobster.

DAFTAR PUSTAKA:

  1. Nutrient data for 15148, Crustaceans, lobster, northern, cooked, moist heat”. National Nutrient Database for Standard Reference, Release 24. USDA Agricultural Research Service. March 30, 2012. Diakses tanggal July 17, 2012.
  2. Colin Woodard (2004). The Lobster Coast. New York: Viking/Penguin. pp. 170–180. ISBN 0-670-03324-3.
  3. The Lobster Institute: History”. The Lobster Institute at the University of Maine. Diakses tanggal 2012-06-11.
  4. Mark Henderson (October 24, 2005). “How lobster went up in the world”. London: The Times. Diakses tanggal May 11, 2010.
  5. “Lobster”. All About Maine. Secretary of State of Maine. Diakses tanggal July 29, 2013.
  6. Johnson, Paul (2007). “Lobster”. Fish Forever: The Definitive Guide to Understanding, Selecting, and Preparing Healthy, Delicious, and Environmentally Sustainable Seafood.
  7. John Wiley & Sons. pp. 163–175. ISBN 978-0-7645-8779-5. Cooking lobsters”. Atwood Lobster Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 7, 2007. Diakses tanggal June 30, 2007.
  8. Mercury Levels in Commercial Fish and Shellfish”. Food and Drug Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 6, 2013. Diakses tanggal December 25, 2009.

Related Posts

1 of 3