NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Profesor Noam Chomsky dan sekelompok akademisi internasional termasuk juga Human Rights Watch, Amnesty International dan Tapol tengah berupaya menghimpun kekuatan, termasuk kekuatan opini untuk mengacaukan salah satu kawasan strategis NKRI, Papua, terutama Papua Barat. Chomsky dkk kemudian membentuk sebuah kelompok yang dinamai International Academics for West Papua (IWAP).
Mereka secara licik tengah membentuk opini bahwa aparat keamanan Indonesia, terutama TNI yang disebut mereka melakukan sejumlah tindakan pelanggaran HAM di Papua Barat. Isu pelanggaran HAM ini sebetulnya telah menjadi alat dan proxy war (perang asimetris) kelompok asing untuk mengacaukan situasi keamanan Indonesia. Sehingga pada gilirannya, ketika opini publik telah terbentuk, pihak asing segera masuk melakukan operasi di Indonesia dengan tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI yang sudah final.
Retorika demokrasi dan HAM ini familiar digunakan Amerika Serikat sebelum memulai sebuah operasi militer di suatu negara. Retorika demokrasi dan kemanusiaan merupakan kata kunci guna menutupi motif sesungguhnya dari agenda tersembunyinya. Dan seperti diketahui, AS kerap kali sukses menggunakan operasi intelijen dengan menggunakan isu demokrasi dan HAM. Ambil contoh misalnya di sejumlah negara di Timur Tengah yang ditandai dengan kampanye Arab Spring pada 2010 silam. Alhasil, Timur Tengah luluh lantak dan telah menjadi kawasan tak bertuan. Celakanya, tragedi kemanusiaan di Timur Tengah tak pernah dipandang sebagai sebuah kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.
Operasi serupa tampaknya sedang ingin digelar di Papua Barat melalui tangan Chomsky dkk yang dibantu pihak-pihak lain, mungkin juga media. Dan celakanya, retorika Chomsky dkk tampaknya mendapat dukungan luas dari sejumlah media nasional.
Tuntutan Chomsky dkk sama persis dengan tuntutan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah kelompok yang belakangan disebut separatis. Chomsky dkk sebetulnya tak perlu banyak omong, cukup mereka memegang senjata kalau memang mau mengacaukan Indonesia. “Berani perang tidak? Itu subtansi! Kalau tak berani, nyerah saja, atau jadi KKB yang pekan lalu terbunuh ketika TNI dan Polri membebaskan 1.300 orang yang disandera OPM,” ujar mantan anggota komisi hukum DPR Djoko Edhi Abdurrahman, Jakarta, Rabu (22/11).
Menurut Chomsky dkk keberadaan militer di Papua Barat dikombinasikan dengan rasisme dan diskriminasi ekonomi struktural terhadap populasi lokal Papua, hanya akan berakibat pada konflik dan pelecehan. International Academics for West Papua pun menuntut pelatihan militer dan polisi serta ekspor persenjataan untuk Indonesia dihentikan hingga pelanggaran HAM di Papua Barat dihentikan.
“Kalau semua tuntutan Comsky CS dari IWAP itu dipenuhi, sama persis dengan tuntutan merdeka Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa tidak minta memisahkan diri saja dari NKRI? Minta merdeka, tapi gratisan. Itu yang tak ada jalannya. Indonesia tak punya UU Referendum. Jadi kalau mau merdeka, memberontak saja! Maka, para profesor yang bikin surat terbuka itu lebih efektif, membelikan senjata canggih yang cukup untuk OPM agar menang melawan Republik Indonesia. Ajaklah negara-negara penyokongnya untuk mem-backup atau jadi bagian langsung pemberontakan. Militer kami juga perlu latihan perang sungguhan,” papar Djoko Edhi. (red)
Editor: Eriec Dieda