Budaya / SeniEsaiOpiniRubrika

Nilai Inklusif di Dalam Puisi

NUSANTARANEWS.CO – Bahasa adalah perwujudan dari pikiran manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa disebut sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Sedang bahasa bermajas diitentifikasikan sebagai bahasa yang menggunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dengan maksud mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Bahasa seperti inilah yang digunakan dalam perpuisian. Puisi sendiri merupakan gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi irama dan makna khusus.

Dalam berpuisi seseorang bisa menuliskan apa pun, entah itu ajakan yang membawa pada kebaikan, provokasi yang menimbulkan perpecahan atau hanya sekadar menyampaikan isi hati. Karena itu, Boy Candra, novelis, pernah mengatakan dalam sebuah seminar launching buku antologi sajak penyair ASEAN di IAIN Purwokerto, “Puisi bisa dijadikan alat untuk menebar hal baik.”

Dalam sebuah antologi puisi, Madah Merdu Kamadhatu, seorang penyair asal Mojokerto, Agus Pramono, berkontribusi dengan menulis sebuah syair kebangsaan berjudul “Satu Dalam Keberagaman” yang isinya mengandung sindiran sekaligus ajakan sikap inklusif kepada masyarakat milenial yang plural di era sekarang ini.

Satu Dalam Keberagaman

 Wejang leluhur

Selalu ada hikmah dalam setiap petaka, bahkan

Dalam keruwetan dan kesemrawutan pun ada manfaatnya.

Bagi yang jernih pikirannya

 

Pernahkah kau bayangkan bahwa bapakmu adalah

Salah satu pendiri negeri ini

Apakah lantas kau anggap

Dirimu adalah pewaris tunggal?

 

Era digital kadang bikin miris, nyaris saja melukai

Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Yang susah payah dibangun dan didirikan

Para founding father dengan pertaruhan jiwa raga

 

Karena negeri ini bukan dibangun hanya oleh dan untuk satu kaum.

Tak ada yang salah dengan suku, agama, ras apa pun

Maka tetaplah memainkan tradisi wayang, dan lainnya

Karena itu kebanggaan yang harus dilestarikan

 

Baca Juga:  AHY Dapat Batik Tulis Burung Hong, Inilah Artinya

Semoga ontran-ontran yang kemarin

Hanya khilaf semata

 

Mojokerto, awal April 2017

 

Dalam puisi ini, tampak jelas bahwa penulis sedang memperlihatkan keprihatinan yang mendalam bahwa persatuan yang sudah susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa, semakin terkikis oleh generasi muda yang tidak berpikir panjang dalam mempergunakan media sosial.

Wejang leluhur

Selalu ada hikmah dalam setiap petaka, bahkan

Dalam keruwetan dan kesemrawutan pun ada manfaatnya.

Bagi yang jernih pikirannya

Dalam bait ini, pesan leluhur mengajarkan untuk selalu mengambil hikmah pada setiap perkara yang terjadi. Penjelasan ini tertuang dalam QS. Al-Insyirah:5, bahwa di setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Pesan ini banyak sekali terabaikan oleh generasi muda saat ini, sehingga banyak di antara mereka yang mudah putus asa sehingga seringkali saling menghardik satu sama lain. Inilah bibit-bibit dari sikap dengki sehingga memancing permusuhan.

Pernahkah kau bayangkan bahwa bapakmu adalah

Salah satu pendiri negeri ini

Apakah lantas kau anggap

Dirimu adalah pewaris tunggal?

Di bait kedua ini, penulis mencoba memberikan penggambaran kepada pembaca bahwa sikap eksklusif telah membuat orang lupa diri sehingga ia cenderung memandang bahwa dirinyalah yang paling benar.

Baca Juga:  13 Personel Polres Pamekasan Diberi Penghargaan atas Pengungkapan Kasus Narkoba Seberat 498,88 Gram

Era digital kadang bikin miris, nyaris saja melukai

Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Yang susah payah dibangun dan didirikan

Para founding father dengan pertaruhan jiwa raga

Bait ketiga ini menjelaskan dengan gamblang tentang banyaknya penyalahgunaan teknologi digital. Pengumbaran keburukan dan umpatan-umpatan kebencian telah merebak di akun-akun media sosial. Sehingga media sosial yang semula ditujukan untuk sarana berinteraksi dengan masyarakat luas kini telah menjelma menjadi media provokasi dan ajang propaganda dan sayangnya, kurang banyak yang peduli akan hal ini. Padahal, berdasarkan data Okezonetechno, pada tahun 2018 pengguna media sosial di Indonesia mulai dari pengguna facebook, instagram, twitter dan sebagainya mencapai 130 juta jiwa dengan penetrasi penggunaan internet mencapai 132,7 juta pengguna.

Karena negeri ini bukan dibangun hanya oleh dan untuk satu kaum.

Tak ada yang salah dengan suku, agama, ras apa pun

Maka tetaplah memainkan tradisi wayang, dan lainnya

Karena itu kebanggaan yang harus dilestarikan

Pada bait ke-empat ini, penulis meyakinkan tentang harus adanya sikap inklusif dalam hidup berbangsa dan bernegara di negeri yang masyarakatnya multikultural ini. Toleransi memang diperlukan, hanya tidak semua orang sadar bahwa itu perlu. Tentu menjadi kewajiban kita sebagai generasi era milenial ini untuk menumbuh kembangkan jiwa toleransi.

Baca Juga:  Perdana Menteri Thailand Kagumi Manuskrip Al Quran Tertua Asal Aceh

Semoga ontran-ontran yang kemarin

Hanya khilaf semata

Terakhir, penulis menyampaikan harapan bahwa apa yang sudah terjadi, berupa kericuhan-kericuhan yang semrawut hanya sekadar kekhilafan. Ini penggambaran masih adanya harapan untuk sebuah kedamaian.

Penulis: Aisyah Khoirunnisa, Lahir tahun 1998. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di IAIN Purwokerto dan belajar di Pesantren Mahasiswa An Najah, Jalan Moh. Besar, Kutasari, Purwokerto. Aktif di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), Komunitas Sastra Santri Pondok Pena dan LPM Obsesi IAIN Purwokerto. Penulis bisa dihubungi di email: [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,143