Mancanegara

Nigeria Semakin Terjerumus Menuju Negara Gagal

Theresa May dan Presiden Nigeria Muhammadu Buhari
Theresa May dan Presiden Nigeria Muhammadu Buhari

NUSANTARANEWS.CO – Nigeria semakin terjerumus menuju negara gagal. Pada mulanya, “Raksasa Afrika” ini adalah wilayah kolonisasi Inggris yang berlangsung sejak tahun 1900 hingga 1960. Setelah merdeka, negeri kaya sumber daya alam ini kemudian menjadi negara boneka Amerika Serikat (AS) yang diperintah dengan kediktatoran hingga tahun 1999 – saat demokrasi formal dijalankan. Selama berada di bawah pemerintahan diktator – para pejabat korup telah menjarah besar-besaran kekayaan negeri yang kaya minyak ini. Dalam lima dekade di bawah pemerintahan kolonial Inggris dan diktator rezim AS – diperkirakan US$ 20 trilyun kekayaan negara telah di curi oleh para koruptor.

Ketika terjadi krisis ekonomi, dan jatuhnya harga minyak dunia, telah memukul ekonominya hingga jatuh ke dalam resesi yang berkepanjangan. Masuknya IMF dan Bank Dunia ke Nigeria, dengan jurus andalanya: regulasi, privatisasi dan liberalisasi – telah semakin menjerumuskan Nigeria ke dalam jurang kemiskinan kronis.

Di tambah lagi dengan merajalelanya praktek korupsi yang difasilitasi oleh neo-kolonialisme Inggris dan Barat – di mana mereka dengan elegan menyediakan tempat yang aman untuk mencuci aset hasil korupsi. Tidak mengherankan bila koalisi masyarakat sipil negara Afrika itu kemudian menulis surat langsung kepada Perdana Menteri Inggris David Cameron (waktu itu) agar “mencegah pejabat korup melakukan pencucian uang curian di pasar properti Inggris. Hasilnya, pengganti Cameron, Theresa May tidak melakukan apa pun.

Baca Juga:  Rusia Menyambut Kesuksesan Luar Angkasa India yang Luar Biasa

Mengapa May diam? Bayangkan bila trilyunan dolar uang hasil korupsi dicuci di London yang melibatkan tentara, pejabat negara, perusahaan swasta, pengacara, bankir, dan akuntan – membuat skema rumit yang memfasilitasi aliran uang kotor – dengan melobi politisi dan pejabat negara terkait.

Dengan kata lain, model korupsi ini sudah terlembagakan dengan baik dan memiliki jaringan yang luas di seluruh dunia. Praktek pencucian uang ini berjalan dalam jaringan tingkat tinggi pemerintahan yang tidak tersentuh oleh kekuatan hukum.

Faktanya, pemerintah Inggris sampai hari ini tidak mau membuka kerahasiaan pajak luar negerinya. Hal ini menjelaskan satu hal – bahwa mentalitas kolonial masih mendarah daging di kalangan elit Inggris selama berabad-abad dan tidak pernah hilang.

Sementara pemerintahan Presiden Buhari yang berhasil memenangkan pemilu periode keduanya yang kontroversial – telah mendapatkan perlawanan dari kelompok oposisi pimpinan Abubakr. Terkait dengan proses pemilu yang penuh kontroversi tersebut, Abubakr mengklaim bahwa dia memenangkan sengketa pemilu dan meminta pengadilan pemilu Nigeria untuk segera mengumumkannya. Di tengah sengeketa itu, Presiden Buhari sendiri, untuk periode keduanya, baru saja mengusulkan anggaran terbesar dalam sejarah Nigeria untuk pembangunan infrastruktur.

Baca Juga:  Militer Israel Kawal Aksi Pemukim Zionis Bakar Pemukiman Paletina di Tepi Barat

Situasi Nigeria hari ini, tampaknya jauh berbeda dengan periode pertama pemerintahan Presiden Buhari. Perkembangan teknologi komunikasi dan kesadaran masyarakat sipil telah mendorong bangkitnya sikap krritis masyarakat terhadap pemerintah, khususnya terkait praktek korupsi pejabat yang semakin merajalela.

Di luar itu, akibat krisis ekonomi berkepanjangan dan sikap diskriminasi oleh pemerintah telah menimbulkan pemberontakan dan gerakan separatisme di Nigeria.

Pemberontakan Boko Haram di wilayah timur laut Nigeria berhasil merebut pangkalan militer dan mengusir militer Nigeria ke luar kota. Lagi-lagi korupsi telah melemahkan militer Nigeria – di mana jutaan dolar anggaran alutsista telah dicuri oleh para pejabat korup. Sehingga pemberontakan semakin meluas menyebar ke perbatasan negara-negara tetangga seperti: Chad (ke timur), Kamerun dan Niger (ke utara) – akibatnya telah menimbulkan krisis kemanusiaan internasional.

Pemberontak lain adalah Niger Delta Avengers (NDA), kelompok militan yang aktif di wilayah selatan Nigeria yang kaya minyak. Sejak 2016, serangan-serangan sporadisnya terhadap instalasi Shell, Exxon, dan Chevron telah menurunkan produksi minyak hingga ke level 1,1 juta barel per hari – yang secara signifikan memicu krisis ekonomi dan resesi di Nigeria. Tentara Nigeria tidak mampu mengusir NDA.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Dalam pemilu presiden, NDA yang mendukung calon presiden Abubakr, mengancam akan menyerang fasilitas minyak jika Buhari terpilih kembali. Jika ancaman ini terbukti, maka akan semakin memperpanjang resesi ekonomi Nigeria. Bukan itu saja, suplai minyak global pun akan berkurang signifikan – apalgi setelah berlakunya sanksi minyak AS terrhadap Venezuela dan Iran efektif. Lalu siapa yang diuntungkan dengan berkurangnya suplai minyak dunia? Tentu saja Uncle Sam yang sekarang telah menjadi produsen minyak terbesar di dunia.

Lebih jauh ke timur, ada gerakan separatis di wilayah Biafra yang dipimpin oleh Masyarakat Adat Biafra (Ipob). Menurut laporan BBC, gerakan separatis Biafra telah “melumpuhkan kota-kota di tenggara Nigeria” terutama dengan gerakan “pembangkangan sipil” – berupa aksi protes tinggal di rumah pada tahun 2018. Gerakan protes itu dilakukan untuk menuntut “kesetaraan” sebagai populasi terbesar di wilayah tenggara Nigeria. Kaum Igbo merasa dipinggirkan oleh penguasa Nigeria yang disinyalir hanya melayani kepentingan kelompok etnis Hausa dan Yoruba di negara itu.

Nnamdi Kanu, pemimpin Ipob, melarikan diri dari Biafra pada 2017 karena di buru oleh tentara Nigeria yang menyerbu rumahnya. Kanu kemudian memberikan pernyataan dari pengasingan untuk melakukan referendum guna memisahkan diri dari Nigeria. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,051