Artikel

Ngaji Diri, Ngaji Bangsa pada Sunan Kalijaga

NUSANTARANEWS.CO – Ngaji Diri, Ngaji Bangsa pada Sunan Kalijaga. Bulan Mei dibuka dengan peringatan Hari Buruh Sedunia. Segenap pekerja di berbagai kota di Indonesia memperingati Hari Buruh (May Day). Peringatan digelar setiap tahun dengan beragam bentuk aksi, salah satunya turun jalan di berbagai titik pusat kota. Dalam aksi tahunannya, tahun ini, massa aksi menyuarakan tuntutannya pada pemerintah, antara lain menolak upah murah; terapkan standarisasi HAM bagi buruh perempuan; hapus sistem kerja kontrak dan outsourching; stop kriminalisasi buruh, tolak reklamasi di beberapa daerah.

Buruh Indonesia berjuang untuk kesejahteraan hidup mereka. Di GBK, awal Mei lalu kaum buruh Indonesia bercita-cita mencetak sejarah baru bagi Indonesia. Mereka mempersiapkan deklarasi Rumah Rakyat Indonesia dan Rakyat Indonesia sebagai bagian dari kekuatan politik untuk buruh Indonesia. Deklarasi tersebut dimaksudkan demi terwujudnya Indonesia Baru.

Buruh barsatu. Bagaimana dengan petani dan nelayan di daerah? Bagaimana dengan kita yang seolah-olah berada di luar kehidupan mereka? Kita mesti belajar pada peristiwa kebangsaan secara lebih arif dan bijaksana. Kita juga mesti lebih cerdas membaca dan memhami sekian gejala ini, missal gerakan kaum buruh 1 Mei lalu.

Ngaji Diri-Ngaji Bangsa

Gerakan buruh terencana, terstruktur, dan massif. Sebagian kalangan memandang buruh merupakan kekuatan baru kaum komunis Indonesia. Jika menoleh ke belakang, jelas cikal bakal lahirnya PKI adalah terbentuknya Serikat Buruh Kereta-api yang diberi nama SS-Bond tahun 1905. Kedua, PKI merupakan lahir atas inisiatif Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda, membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914. Sumber kedua lebih mendekati kebenaran, mengingat PKI berwajah baru abad ini akan merayakan hari lahir PKI ke-102 pada Senin, 9 Mei 2016.

Indonesia Baru adalah cita-cita baru yang diperjuangkan kaum buruh sekarang di tanah air. Sudah tidak relevankah semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan dasar negara Pancasila bagi para buruh Indonesia? Fakta menunjukkan gerakan buruh berarti gerakan komunis baru di Indonesia sehingga kita patut waspada dengan mengaca pada sejarah masa silam Indonesia.

Tepat sehari pasca peringatan May Day, bangsa Indonesia menggelar peringatan Pendidikan Nasional. Refleksi nasional atas peringatan tersebut melahirkan tesis bahwa wajah pendidikan di negeri ini masih belum menemukan arah yang jelas. Pasalnya, pendidikan sudah kehilangan nilai-nilai budi pekerti yang sejatinya modal dasar untuk membangun sebuah peradaban. Parahnya lagi, kaum pendidik dan terdidik buntu dalam menterjemahkan situasi dan kondisi kebangsaan. Barangkali, cukup bijak dan tepat kalau belajar kembali pada Kanjeng Sunan Kalijaga.

Mengapa mesti belajar pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Tidakkah buku-buku sejarah telah banyak yang di-upgrade, disesuaikan dengan fakta-fakta dan temuan-temuan baru? Belum pasti itu kebenaran. Belum tentu buku sejarah yang dianggap lebih otentik dari buku-buku produk Orde Baru adalah buku bacaan yang mendewasakan diri dan menjadikan kita lebih bijak – alih-alih kita bicara dan memperjuangkan nasionalisme demi keutuhan NKRI.

Buku-buku sejarah, mungkin juga sastra yang mengungkap perjalanan bangsa pasca kemerdekaan, sebut sajak sejak peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 sampai tragedi G30S/PKI 1965 dan sesudahnya, masih menimbulkan kontroversi akut. Jurang kegelapan semakin lebar bersama lebarnya kemungkinan menguak kebenaran.

Disadari atau tidak, bangsa rentan galau menerima kenyataan hari ini. Gejala-gejala sosial yang identik dengan ciri dan prilaku ke-kiri-kirian dianggap komunis. Seketika muncul kolompok-kolompok radikal anti-komunis yang mengatas-namakan agama dan nasionalisme. Kegalauan ini menghinggapi kalangan intelektual, para pendidik, kaum terdidik, dan apalagi orang awam. Sebab media informasi secara bebas mengumbar berita-berita yang provokatif namun dangkal.

Sedikit mengenai pers dan media informasi, tidak bisa sebebas-bebasnya media menyebarkan berita yang berbau propaganda dan melahirkan kebencian. Sehari setelah melakukan refleksi pendidikan adalah hari yang tepat untuk membaca diri bagi kaum jurnalis.

Benar, 3 Mei adalah hari kebebasan pers sedunia. Namun, tidakkah semua paham hakikat kebebasan yang dimaksud! Lantas bagaimana bisa pers menjadi alat agitasi dan propaganda suatu golongan? Kiranya, tidak cukup hanya dengan melakukan ritual-ritual tahunan dengan aksi turun jalan, seminar, simposium, pemutaran film, bedah buku, dan/atau acara-acara seremonial tak bemakna. Mari kita diam sejenak agar lebih khidmad mengaji lagi ajaran-ajaran dari Kanjeng Sunan Kalijaga.

Ngaji Batin Pada Kanjeng Sunan

May Day, Hari Pendidikan, Hari Kebebasan Pers sudah berlalu. Senin, 9 Mei bangsa Indonesai disinyalir akan geger dan gerah dengan peringatan 102 kalahiran PKI. Geger sebab bangsa Indonesia (mungkin juga kita) menganggap peringatan tersebut sebagai ancaman. Gerah lantaran kita, bangsa kita kian galau oleh situasi nasional. Supaya geger dan gerah kita sirna, mari mengaji pada ajaran sang Sunan. Setidaknya kita sadar, jika kita lalai dan bahkan bangga hidup dalam kedangkalan peradaban bangsa kita hari ini.

Dulu, 505 tahun lampau, Sunan Kalijaga sebagai pribadi cerdik cendikian dengan ilmu keagamannya (Islam) menyebarkan Islam di Jawa dengan lembut dan santun. Masyarakat setempat yang Bergama (Hindu-Budha) dan yang belum mengenal agama, dengan mudah menerima ajaran sang Sunan. Penyebaran agama tanpa paksaan dan kekerasan.

Ilham Khoiri menulis dalam artikelnya bertajuk, Belajar dari Sunan Kalijaga, Kompas, 19 Agustus 2011 bahwa Sang Sunan adalah salah satu penyebar Islam di Jawa bahkan Nusantara. Perannya yang paling penting adalah terbentuknya karakter Islam Jawa-Nusantara yang lentur, toleran, dan syarat dengan kearifan. Sang Sunan sebagai arsitek budaya Islam Jawa telah menanam pondasi kehidupan masyarakat dengan perbedaan suku, Bahasa, dan keyakinan menjadi harmonis, kreatif, dan produktif. Sehingga terbentuklah Islam kultural yang moderat melalui proses akulturasi yang lentur.

Pendapat ini diurakan oleh budaywan M Jadul Maula selaku penggas acara 11 malam 11 wayang dalam rangkar memperingati ”500 Tahun Sunan Kalijaga” di Alun-alun Utara Yogyakarta, 18-31 Juli 2011 lalu. Argumentasi ini terbukti dengan salah satu kisah dalam lakon Pandhawa Muksa sebagai pamungkas dari seluruh lakon dalam pergelaran 11 wayang 11 malam itu. Alkisah, Puntadewa, tokoh Pandhawa dalam epik Mahabharata seorang raja dari Astina cukup menderita sebab begitu lama hidup sendiri dan sulit meninggal.

Akhirnya, ditemuilah Sunan Kalijaga demi mendapat jalan terbaik menuju kematian. Sang Sunan pun menunjukkan dan membacakan Jamus Kalimasada: Jamus meniko seratan suci wonten agama kulo, enggih meniko kalimat syahadat. Artinya, Jamus ini adalah catatan suci dalam agama (Islam) saya, yaitu kalimat syahadat. Usai mendengar kalimat syahadat, Puntadewa pun meninggal dengan damai.

Kisah Puntadewa, yang jelas-jelas beda keyakinan dengan sang Sunan, mestinya menjadi inspirasi bagi bangsa kita untuk menjadi pribadi bangsa yang lentur, toleran, dan arif. Satu contoh kisah saja dari prilaku sang Sunan, kita bisa menerapkan dalam berbagai lini kehidupan yang penuh soal tak tajawabkan sampai hari ini. Jika kita belajar dari sang Sunan, kita akan paham bahwa tidak sedikit dari tradisi dalam masyarakat kita merupakan warisan daripadanya.

Kini, bangsa Indonesia menghadapi kemunculan wajah baru paham komunis. Ketakutan dan kecemasan akan terulangnya sejarah kelam 1965 begitu besar dan akut. Sehingga muncul banyak kelompak-kelompok anti-komunis. Sang Sunan tidak pernah takut dengan beragam kegiatan masyarakat lokal – yang mengakar pada masanya sebagai budaya Hindu-Budha – malahan dikembangkan (akulturasi) oleh sang Sunan dengan menyisipkan nilai-nilai Islam.

Masyarakat yang benar-benar ngaji ajaran-ajaran sang Sunan dan menerapkannya, niscara kerukunan dan kedamaian tercipta dalam kehidupan. Tidakkah dengan hidup rukun berdampingan, akan menciptakan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik. Tapi jika konteksnya dibatasi pada agama, bisa jadi kaum komunis belum termasuk di dalam kerukunan tersebut. Pertanyaannya apakah semua kaum komunis tidak memiliki agama? Jika benar, pantaskah kita (yang beragama) mengusirnya dari tanah air – dari tanah lahir mereka?

Ajaran sang Sunan tidak serta-serta mengusir, membubarkan, melarang, membungkam, membredel, dan apalagi membunuh-membantai. Kita sudah waktunya sembuh dari penyakit ketakutan dan trauma terhadap masa lalu, khususnya sejarah merah G30S/PKI 1965 dan sekitarnya. Sebab ajaran sang Sunan masih relevan diaplikasikan hari ini, untuk mengimbangi gerakan-gerakan radikal anti-komunisme di Indonesia.

Epilog

Kita mesti sembuh dari luka lama – setidaknya berusaha sembuh – supaya kita memiliki rasa empati terhadap sesama, menghargai perbedaan, dan tidak reaktif terhadap issu yang digiring oleh media. Ingat, masih harapan buat kita (bangsa yang besar dan majemuk) untuk benar-benar hidup damai dalam keberagaman.

Mengaji dan menghayati ajaran sang Sunan dalam syair abadi gubahannya, “Ilir-ilir” (dengar dan/atau baca “Renungan Ilir-ilr” karya Cak Nun), barangkali kita bisa lebih percaya diri menggapai harapan itu. Daripada kita terus takut dan cemas terhadap issue kebangkitan PKI yang akan dimulai tanggal 9 Mei 2016 ini. Waspada boleh, asal dengan tujuan mempartahankan diri. Sebentar lagi bangsa kita ini akan memasuki hari kebangkitan Nasional dan akan menggelar refleksi hari peringatan reformasi.

Ajaran sang Sunan merupakan satu jalan untuk berdamai dengan keadaan. Kekuatan suatu kelompok akan rapuh jika kehilangan rasa damai dalam diri. Ketakutan pun hanya akan mengkeroposkan jati diri dan melapukkan keyakinan-keimanan. (Sel)

Related Posts

1 of 8