OpiniRubrika

Negarawan, Politisi dan Anomali Demorkasi

Bersatu membela rakyat dan menjaga NKRI. (Foto: IST)
Bersatu membela rakyat dan menjaga NKRI. (Foto: IST)

APA itu negarawan dan politisi? Menurut Yudi Latief, pengamat politik dan Reform Institue, memberikan pemahaman tentang perbedaan antara politikus dan negarawan yang menarik dan menggambarkan kondisi eksisting republik ini.

Menurutnya, negarawan memberikan jiwa raganya untuk negara. Sedangkan politikus mencari sesuatu untuk jiwa raganya dari negara. Menurut Yudi, negarawan memberikan jiwa raganya untuk negara sehingga dapat menjadi pahlawan.

Selain itu, negarawan memberikan apa yang dapat diberikan kepada negara. Sedangkan politikus mencari apa yang bisa diperoleh dari negara. Karena itu, banyak politikus yang terjebak pada kasus hukum dan praktik korupsi.

Para negarawan pendiri bangsa berdebat habis-habisan dalam forum-forum diskusi untuk menegakkan ideologi, tapi berteman akrab dalam kehidupan sehari-hari. Terkoyaknya persatuan Indonesia saat ini, karena terkoyaknya mental dan jiwa negarawan di tengah bangsa Indonesia.

Itu menurut Yudi Latief setelah mengamati perilaku dan kelakuan para mereka yang menyatakan dirinya atau menempatkan dirinya sebagai negarawan dan politisi dalam penyelenggaraan tata kelola kenegaraan dan pemerintahan.

Jika kita mengacu pada pendapat Wikipedia, negarawan adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.

Sedangkan politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan.

Negarawan itu merupakan maqam tertinggi dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam dunia sufi, istilah maqam itu dikenal sebagai tingkatan martabat seseorang hamba terhadap kahlikNya, yang juga merupakan sesuatu keadaan tingkatannya seseorang sufi di hadapan Tuhannya pada saat dalam perjalanan spiritual dalam beribadah kepada Allah SWT.

Untuk menjadi seorang negarawan, dapat melalui berbagai jalur. Salah satu jalur yang banyak ditempuh adalah dimulai menjadi politisi. Kalau memakai istilah Yudi, bahwa politikus itu mencari sesuatu untuk jiwa raganya dari negara. Setelah terpenuhi jiwa raganya dari negara, baru dia berusaha melompat menjadi negarawan. Agar posisi negarawan tetap bisa langgeng dan diakui rakyatnya, maka disamping sebagai negarawan dia juga tetap mempertahankan posisinya sebagai politisi. Jadi sebenarnya politisi yang berjubah negarawan.

Jalur lain, adalah mereka yang merupakan tokoh masyarakat, pimpinan ormas, ulama, yang dengan penguasaannya terhadap sebagaian kelompok masyarakat (sebagai jamaah, follower, simpatisan), masuk ke wilayah politik dan kemudian melompat atau diusung oleh partai politik menjadi negarawan.

Ada paham yang tidak utuh, bahwa negarawan itu adalah mereka yang berada pada jabatan formal tinggi negara. Seperti Hakim Agung, Ketua DPR/MPR/DPD, Presiden, Ketua MK, dengan seluruh jajarannya. Tidak melihat wawasan pemikiran para pemangku kekuasaan itu, yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Kebijakan negara dan masa depan negara itu sudah ada referensinya Konstitusi Indonesia, UU Dasar 1945.

Baca Juga:  Momentum Perkuat Silaturahmi Idul Fitri, PT PWU Jatim Gelar Halal Bihalal

Posisi kenegaraan Calon Presiden

Jika kita perhatikan posisi kedua calon presiden yaitu Jokowi dan Prabowo Subianto, dalam ketatanegaraan kita memang berbeda. Capres nomor 1 adalah seorang yang menjabat sebagai presiden yang karena jabatan dan kebijakan yang diambilnya mengharuskannya ‘menjadi’ negarawan. Posisi kenegarawan Jokowi menjadi melenah dan mengalami degradasi setelah Megawati, Ketua Umum PDIP menyebut Jokowi adalah pekerja partai. Ditambah lagi dengan berbagai langkah dan kebijakan Jokowi secara langsung menggalang, membina dan menfasilitasi para pendukung beliau secara terus menerus 4 tahun belakangan ini.

Posisi Jokowi sebagai presiden yang amanat konstitusi mengharuskannya menjadi negarawan dispute dengan posisinya sebagai petahana (baca: mencalonkan kembali sebagai presiden), yang harus berpikir, bekerja, bertindak sebagai politisi dengan menggalang dukungan politik dari partai-partai politik. Situasi ini tidak mudah bagi Jokowi. Jika tidak arif dan bijaksana, maka keutuhan, kasatuan dan persatuan bangsa dalam NKRI akan mengalami turbulensi.

Bagaimana dengan capres Prabowo?

Prabowo adalah ketua partai politik. Ketua Umum Gerinda. Jelas PS adalah politisi dan ingin mengukir kariernya sebagai negarawan dengan mencalonkan diri sebagai presiden dengan didukung PKS, PAN, Partai Demokrat dan Partai Bekarya. PS tidak ada menjabat pada jabatan publik atau pemerintahan. Jadi, bukan negarawan tetapi mencoba mencapai maqam sebagai negarawan.

Sebagai politisi dan calon presiden, tentu berupaya sekuat tenaga secara halal, tertib, menggalang para pendukung dan simpatisan serta masa mengambang untuk memilihnya sebagai presiden sesuai dengan hak konstittusi one man, one vote.

Tentu tidak mudah untuk mendaki jalan terjal bagi kedua capres. Capres petahana yang paling berat bebannya adalah menghadapi gorengan-gorengan isu, kiritikan atas kebijakan dan janji politik sewaktu menjadi calon presiden 2014, yang secara nyata masih ada yang belum dipenuhi. Ditambah situasi ekonomi global dan kebijakan ekonomi makro dan mikro yang dilakukan belum memberikan dampak sebagaimana diharapkan.

Ada yang mengatakan ekonomi Indonesia seperti orang sakit demam dikasih paracetamol bukan lagi 500 mg tetapi 600 mg, berkeringat, demamnya turun, tetapi 3 jam kemudian meriang dan demam kembali. Situasi up and down ini akan mengurangi daya tahan tubuh dan akan mudah terserang penyakit lain kena infeksi atau virus flu.

Karena petahana, soal dukungan dana dari berbagai sumber tidaklah sulit. Hari ini di media cetak menyebutkan dana kampanye yang awalnya dua bulan lalu 11 miliar, sudah mencapai 1 triliun. Tetapi uang bukanlah segala-galanya.

Hasil survei menjadi andalan patahana. Jika turun saja 1% mungkin demamnya tim sukses semakin tinggi, bahkan ada yang sampai mengigau. Hal itu wajar sajalah. Siapapun yang jadi petahana pasti akan merasakan yang sama, terserang demam karena cuaca politik ang tidak menentu.

Bagi kompetitor petahana, yang hanya satu, yaitu pak PS, apakah tetap sehat sebagai politisi yang ingin menjadi negarawan (presiden)? Ternyata terserang penyakit yang kita sebut saja kurang gizi. Karena apa? Apakah tidak ada yang jual susu dan sumber gizi lainnya di supermarket? Persoalannya adalah uang untuk beli makanan bergizi sudah habis, dan tidak ada donatur yang mau merogoh kantongnya untuk membantu. Alasannya sederhana, karena hasil survei tingkat elektabilitas PS masih rendah. Bukan saja soal gizi, amunisi, tetapi menutup atau hanya memberi ruang kecil media mainstream dalam memberitakan kegiatan kampanye Paslon PADI.

Baca Juga:  Ikatan Alumni Dayah Abu Lam U Gelar Buka Puasa Bersama

Kekesalan PS memuncak yang ditumpahkan pada Peringatan Hari Disabilitas tanggal 5 Desember 2018 lalu di Hotel Sahid. Apa kata Prabowo? Koran Rakyat Merdeka memberitakan cukup lengkap dan menarik.

Halaman depan, judul beritanya ‘Bukan Negarawan, Prabowo Emosional‘. Sebut wartawan antek penghancur NKRI. Tiga organisasi wartawan menyebut, sikap PS yang mencak-mencak ke wartawan, dinilai tidak patut. Tidak menunjukkan sikap negarawan. Juga terlihat sangat emosional. (Videonya bisa dilihat viral di medsos, supaya kita juga mendapat gambaran yang utuh).

Kekesalan itu karena pada Reuni 212, tidak semua media meliput dan merilis Reuni 212 yang menurutnya dihadiri jutaan orang. PS menyebut para jurnalis yang tidak meliput acara tersebut sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis. Dia juga menyebutkan para jurnalis ysang tidak meliputnya sebagai antek yang ingin menghancurkan Indoensia.

Apa kata Atal S Depari, Ketua Umum PWI, apa yang diungkapkan Prabowo merupakan kekecewaan dan emosi. Dia dapat memaklumi karena tahun politik. Sesuatu yang remeh akan menjadi besar. Hanya saja, kata Depari, kritikan PS terhadap media kurang tepat. Karena media juga punya independensi. Tidak bisa diatur-atur. Harus dipahami bahwa media punya agenda setting dan kebijakan sendiri-sendiri yang tidak bisa di intervensi pihak lain.

Tapi Depari juga mengatakan, apa yang disampaikan PS harus menjadi kritik bagi media sendiri. Harus introspeksi. Media harus menjalankan fungsinya sebagai sarana publik. Termasuk media televisi. Karena jaringan yang digunakan media itu juga adalah milik publik. Bukan milik sendiri. Jika publik dikecewakan dan tak aspiratif nanti akan mendapat konsekuensi dari publik. Seperti ditinggalkan penonton.

Ketua Umum AJI, anggaota dewan Pers, Hendry Ch Bangun juga menyatakan hal yang sama. Intinya media tidak bisa ditekan oleh siapapun, dan bersifat independen.

Capres negarawan, pemilik media politisi, anomali demokrasi

Kalau dicermati dari berbagai berita dan pendapat asosiasi media, dan pemikiran pemikir politik Yudi latif serta rumusan teori dan definisi yang sudah disampaikan pada awal tulisan ini, saya melihat ada cara yang salah dalam melihat persoalan kita berdemokrasi. Ada anomali. Ada kerancuan cara berfikir dalam tahun politik kali ini.

Mari kita cermati Reuni 212, apakah kegiatan tersebut begitu remehnya sehingga tidak perlu diliput media, dan menjadi besar karena tahun politik. Sikap meremehkan itu menggambarkan kekerdilan kita sebagai bangsa. Atau istilah Rocky Gerung adalah upaya penggelapan sejarah.

Media luar negeri meliputinya dan menyiarkannya secara luas. Teganya media (tidak semua) mengkerdilkan raskyatnya sendiri, di mana media itu hidup dari rakyat yang membaca koran dan menonton televisi. Jelas tidak fair dan diskriminstif.

Baca Juga:  Dihadiri PPWI dan Perwakilan Kedubes, Peletakan Bunga di Monumen Gagarin Berlangsung Hikmad

Penilaian PS bukan negarawan, sehingga emosional adalah benar. Saya mencermati bahwa pidato beliau emosional. Saya sudah uraikan di atas, PS belum menjadi negarawan, tetapi seorang politisi yang sedang berupaya untuk menjadi negarawan melalalui kontestasi calon presiden. Tidak ada jaminan bahwa negarawan itu tidak boleh emosional. Dan emosionalnya PS adalah mecerminkan emosional peserta Reuni 212 yang diam seribu bahasa.

Jokowi sebagai Presiden (negarawan), juga sering emosi dengan menyebut kebangetan terhadap bawahannya. Istilah sontoloyo dan genderuwo sebagai bentuk kekesalan yang dihadapinya.

Sebagai politisi, emosional merupakan bentuk sejauh mana kadarnya dalam melihat persoalan bangsa yang sedang diperjuangkannya. Apakah harus diam saja, non expressif, cold, egp (emangnya gua pikirin). Emosional menggambarkan tingkat sensitiftas yang terus perlu diasah tetapi tetap terkendali.

Pimpinan PWI , AJI dan Dewan Pers mengedepankan media itu harus independen. Tidak boleh dibawa tekanan. Media punya visi, misi dan agenda setting sendiri. Setuju. Seratus persen kita setuju. Itulah media yang benar dan diharapkan rakyat Indonesia.

Pertanyaan seriusnya, apakah media mainsrtream (cetak dan elektronik) benar-benar independen? Makna independen itu bukan soal tidak berpihak. Tetapi harus berpihak. Berpihak kenapa siapa? Berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Apakah keberadaan dan berkumpulnya umat Islam dalam Reuni 212 bukan suatu kebenaran? Apakah yang dilafadzkan dari mulut mereka Laillahailallah, Muhammadarasulullah, kalimat Tauhid, bukan suatu kebenaran? Kalau begitu apa standar nilai kebenaran yang dimiliki media, sehingga tidak memberitakannya?

Benarkah media mainstream itu independen, tidak boleh ditekan-tekan, dipaksa, mereka punya agenda setting sendiri? Tidak terbayang dalam pikiran saya, jika media itu pemilik ketua umum partai tertentu pendukung berat paslon tertentu, bisa independen dan terbebaskan dari tekanan pemilik media.

Demikian juga media yang punya kepentingan bisnis dan ideologi tertentu yang mendapatkan manfaat dan kemudahan oleh pemerintah yang presidennya menjadi petahana, dapat bersikap independen?

Di balik itu semua, masih ada wartawan-wartawan senior yang penuh idealisme menyayangkan atas kejadian blackout-nya pemberitaan Reuni 212, bahkan ada menyebutkan merupakan langkah ‘bunuh diri’ media. Tetapi juga kita mengapresiasi media cetak memberitakan di halaman pertama. Demikian juga kita salut pada salah satu stasiun TV swasta nasional yang memberitakannya secara langsung. Tentunya, masing-masing dengan pertimbangan masih menggunakan rasionalitas dan objektifitas mereka sebagai wartawan.

Bagaimana baiknya ke depan?

Untuk ke depan ini disarankan melalui suatu regulasi, supaya pemilik media tidak boleh mereka yang menjadi pimpinan partai. Jika ingin tetap sebagai pimpinan partai, harus dilepaskan jabatan dan kepemilikan sahamnya tidak boleh sebagai pemegang saham pengendali di media cetak dan elektronik.

Bagi tim nasional kampanye masing-masing paslon, tidak mempengaruhi, mengajak, mengiming-iming dan menkondisikan media membentuk framing atas berita dan peristiwa yang dapat menyesatkan publik.

Oleh : Dr. Chazali H Situmorang, pengajar dan pengamat kebijakan publik

Related Posts

1 of 3,052