Opini

Negara Tidak Boleh Justifikasi Rasisme dan Papua Phobia

Negara Tidak Boleh Justifikasi Rasisme dan Papua Phobia

Pernyataan Wiranto bahwa perusuh di Manokwari diproses secara hukum sebagai mana dilansir media online Kumparan, tanggal 19 agustus 2019. Tentu saja Wiranto tidak eloķ dan pantas sasar kepada rakyat Papua yang pada saat ini pòsisinya sebagai korban rasialisme di Indonesia. Apalagi rakyat Papua melakukan tindakan menentang atau penghapusan diskriminasi rasial yang merupakan sèmangat atau menstream dunia internasional yang ingin membangun peradaban baru anti diskriminasi dan masyarakat inklusif.

Negara sejatinya mendorong terciptanya situasi yang aman dan kondusif dengan pendekatan persuasif dan bermartabat, serta sebagai orang Jawa di mana sukunya adalah pelaku rasialisme bisa dianggap sangat subjektif dan tidak kredibel.

Menjamurnya rasialisme dan Papua Phobia atau Phobia terhadap orang Papua dan kulit hitam sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Tindakan itu sudah dilakukan sejak pasca integrasi politik Indonesia 1970-an kemudian 1980-an sampai hari ini dan terus berlangsung.

Papua phobia justru dilakukan oleh kaum migran yang mengadu nasip hidup di Papua, àparat TNI-Polri, penegak hukum dan koorporasi, masyarakat Papua tidak memiliki daya juang untuk mencari keadilan melalui proses hukum.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembangunan integrasi politik di Papua secara subtansial. Akibatnya, kondisi hari ini adalah hasil resultante dari kegagalan pembentukan karakter dan rasa kebangsaan (nation and character building).

Negara mesti berpikir dan bernarasi di tingkat seperti itu bukan bernarasi rendahan atau bernarasi konotasi negatif dengan cara tambal sulam atau setiap masalah langsung diredam melalui penerapan delik secara kaku dan ketat.

Negara juga membangun grand design komprehensif tentang pembangunan integrasi politik nasional yang diikat karena adanya keadilan subtantif yaitu keadilan pembangunan maupun keadilan pembagian kekuasaan untuk membangun Indonesia tanggung renteng.

Bagimana 74 tahun Presiden dan Wakil Presiden dipimpin hanya oleh satu suku dari 714 suku di Indonesia. Itu adalah problam paling serius. Maka, desain politik kebangsaan dan multikultur melalui tanpa presidential threshold, sistem pemilu popular vote (satu orang satu suara satu nilai) dianggati dengan electoral collage (sistim distrik), sistem giliran Jawa luar Jawa atau Indonesia Timur, tengah dan barat, konsensus nasional untuk pembagian kekuasaan dan struktur anggaran nasional, meninggalkan desentralisasi simetris ke desentralisasi asimetris karena setiap daerah memiliki gaya dan pola kepemimpinan serta adat istiadat yang berbeda

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Itulah pekerjaan pelerjaan pemerintah yang sesungguhnya untuk memantapkan politik kebangsaan untuk ratusan tahun yang akan datang.

Kecenderungan hari ini adalah desain politik menguntungkan satu suku dan tercipta kultus budaya dan suku, semakin haus akan kekuasaan, makin rakus dan sombong sehingga merendahkan harkat dan martabat suku-suku lain sebagaimana terjadi pada hari ini.

Saya meminta saudara negara tidak menyalagunakan otoritas negara untuk menjustifikasi tindakan rasisme dengan kriminalisasi terhadap rakyat Papua yang protes baik di Manokwari, Sorong, Jayapura dan hampir semua penjuru Propinsi Papua dan Papua Barat.

Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martabat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan monyet dan gorila, tentu memancing reaksi individu yang ras, warna kulit dan etno-biologis yang sama sebagai bangsa Papua Melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua.

Jadi, tidak ada aktor yang mengarahkan, menuntutn dan memimpin. Pemerintah mendorong proses hukum terhadap rakyat Papua, maka sudah dipastikan kriminalisasi dan ketidakadilan.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Sebagai aktivis kemanusiaan yang secara individu pernah menangani lima belas ribu kasus di Indonesia, pernah mengunjungi 34 propinsi di Indonesia meneliti dan melihat lebih dari 400 kabupaten/kota, sangat memahami tipologi kasus, sehingga mudah memperkirakan perlawanan besar akan muncul dan fragmentasi suku, agama, antar golongan akan makin mengkristal.

Dalam konteks sosiologi konflik, rasialisme muncul sebagai isu yang timbul tenggelam (recurent issues). Di negara lain, perlawanan terhadap rasialisme, senophobia dan anti semistik adalah perang tanpa titik akhir (infinity war). Itu yang harus dicamkan.

Oleh: Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan

Related Posts

1 of 3,051