ArtikelHukum

Negara Melegitimasi Advokat dalam UU untuk Membela dan Menghalangi Penyidik

The first thing we do, let’s kill all the lawyers.” (William Shakespeare)

Pertama yang kita lakukan, mari bunuh semua Lawyer

Quote populer di kalangan advokat dan para aktivis hukum hingga saat ini yaitu seorang sastrawan Inggris William Shakespeare. Dalam buku berjudul King Henry “Perang Mawar” mengungkapkan, “The first thing we do, let’s kill all the Lawyers”. Ungkapan ini memaknai pesan yang mendalam bagi para lawyer atau advokat ketika membela kliennya pada saat itu maupun saat ini hingga keadilan tegak lurus seperti huruf “Alif”.

Pesan ini disampaikan bahwa dalam sistem demokrasi ada kecendruangan penguasa (raja) membumihanguskan hukum karena baginya hukum hanya menghalang-halangi kepentingan politik dan kekuasaannya sehingga hukum dan keadilan harus ditiadakan dan advokat sebagai pembela hukum dan keadilan harus dibunuh (killing) karena advokat adalah orang yang akan membela kepentingan hukum dan keadilan bagi seeker justice serta memihak kepada rakyat kecil. Sehingga bagi penguasa, advokat harus dibunuh atau setidaknya dibuat lumpuh (helpless) dan ketergantungan dengan sistem kapitalis manut dan tunduk kepada penguasa, sehingga penguasa mudah melengangkan kekuasaanya untuk kepentingan syahwatnya.

Quote yang terkenal adalah “A power tend to corrupt….” dan Quote; Law were made lest the stronger should have unlimited power (hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas).

Negara Indonesia pasca kemeredekaan “Lawyer” belum dikenal dalam Konstitusi Indonesia. Yang ada “koprol bamboo”, tugasnya membantu masyarakat mengurus permasalahan hukumnya di pengadilan “koprol bambu”, tidak diberikan hak untuk pembelaan. Setelah puluhan tahun sekelompok akademisi dan aktivis hukum membentuk perkumpulan yang mereka namai Pengacara “Advokat”. Ini pun pada saat itu (Orde Lama dan Orde Baru) tidak diatur dalam UU sehingga sangat tidak mewakili bagi para pencari keadilan (seeker of justice).

Dari kondisi ini lahirlah idealisme para senior-senior Advokat Indonesia untuk membentuk Organisasi Advokat diberi nama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang di dalamnya terdiri dari Law Firm-Law Firm besar dan Organisasi Advokat besar seperti IKADIN, AAI, PERADIN dan lain-lain, mereka bersepakat untuk berhimpun dalam satu wadah yang disebut PERADI. Di sinilah para senior advokat kemudian mengiinisiasi dan memperjuangakan hak-hak advokat dalam Undang-undang, maka lahirlah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Dengan lahirnya UU ini maka secara hukum ketatanegaraan advokat adalah lembaga yang dibentuk oleh negara berdasarkan Undang-undang dan setara dengan lembaga negara lain, khususnya lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri, Kejaksaan dan Kehakiman. Adapun yang membedakan advokat dengan empat lembaga penegak hukum di atas adalah advokat independen tidak dependen, bebas, mandiri dan tidak dibiayai oleh negara, advokat dalam menjalankan profesinya harus mengedepankan nilai-nilai kejujuran, moral dan keadilan bagi masyrakat Indonesia, profesional dalam bertindak, ilmiah dalam berargumentasi, dan strategis dalam pembelaan tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun termasuk kliennya, kecuali untuk kepentingan hukum dan keadilan menurut Undang-undang.

Advokat lahir untuk membela dan menghalangi penyidik

Secara alami (Nature Law) advokat dilahirkan untuk membela dan menghalangi penyidik yang bertindak di luar ketentuan KUHAP. Advokat dalam konstitusi lahir berlandaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dan doktrin bahwa demokrasi Indonesia berlandaskan hukum. Maknanya adalah hukum harus jadi panglima dalam mengelola negara, para penegak hukum harus tunduk dengan aturan hukum, tidak boleh bertindak sewenang-wenang (abuse of power) dalam menjalankan tugasnya, hak-hak dasar bagi seeker justice harus diberikan dan tidak boleh dirampas.

Polri, Kejaksaan, dan KPK sebagai penegak hukum mewakili negara wajib menghormati lembaga penegak hukum lainnya seperti advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya sebagai penegak hukum dijamin dalam UU Advokat jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26 Tahun 2013 bahwa advokat memiliki atau melekat padanya hak imunitas yang tidak dapat dituntut baik perdata maupun pidana selama dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik. Sehingga advokat secara alami (law sense) tidak dapat dituntut karena Advokat adalah salah satu pilar law enforcement bagi seeker justice yang tentu dan pastinya akan mempersulit atau menghalang penyidik untuk membuktikan kliennya terbukti atau tidak, karena hal tersebut adalah tugas pokok advokat sampai pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Baca Juga:  KPK Tetapkan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Tersangka Korupsi, AMI Gelar Santunan Anak Yatim

Artinya, keadilan hakiki yang diperoleh seeker justice harus berawal kontradiktif, pro kontra dan melalui proses pertarungan (hazard) antara pembela dan penuntut, dalam membuktikan suatu kesalahan baik dalam proses sidik, lidik dan penuntutan hingga putusan hakim.

Pertarungan tersebut merupakan cerminan filosofis yang melekat pada diri advokat yaitu profesional, independen, teliti, cermat dan prudent (hati-hati) alias tidak ceroboh dalam pembelaan. Sehingga, advokat dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendamping seeker justice tidak dapat dikatakan “meghalang-halangi penyidik” dalam memeriksa perkara hukum.

Advokat punya hak imunitas tetapi tidak kebal hukum

Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa advokat dalam menjalankan tugas profesi tidak dapat dituntut baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan dengan dasar memiliki itikad baik.

Artinya, sepanjang advokat memiliki itikad baik dalam menjalankan tugas profesinya maka tidak dapat dituntut baik perdata maupun pidana. Dalam kasus mantan advokat SN (Setya Novanto) yang menjadi tersangka dan ditangkap oleh KPK setelah mudur dari tugasnya apakah hak imunitas sebagaimana ketentutan diatas dapat diperlakukan bagi advokat FY (Fredrich Yunadi)?

Jawabannya dapat, jika kita mengacu pada prinsip bahwa hukum adalah panglima. Hal ini selaras dengan doktrin hukum “La Bouche de La Loi atau La Bouche de La Droit”. Artinya, apa kata Undang-undang itulah hukumnya, dan doktrin hukum “Interpretatio Cessat in Claris”, artinya jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran”.

Baca Juga:  Diduga Korupsi Danah Hibah BUMN, Wilson Lalengke: Bubarkan PWI Peternak Koruptor

Doktrin atau adagium hukum ini harus dijadikan acuan penyidik KPK dalam menetapkan seorang advokat sebagai tersangka dalam menjalankan profesinya, walaupun kita ketahui bahwa advokat tidak kebal hukum artinya Penyidik dalam menetapkan advokat menjadi tersangka tidak cukup dua alat bukti saja akan tetapi harus ada bukti lain yang kuat terkait tindak pidana yang disangkakan atau setidaknya ada alat bukti pada saat atau setelah tindak pidana dilakukan (OTT).

Selain itu Pengenaan Pasal 21 UU Tipikor dengan istilah menghalang-halangi (obstruction of justice) belum begitu popular, dikenal dan belum diatur secara khusus bagi profesi advokat yang melakukan obstruction of justice sehingga pasal tersebut multitafsir (bukan hukum).

Profesi Advokat adalah Profesi Officium Nobile

Advokat adalah penyadang merk Officium Nobile artinya profesi terhormat, terhormat karena dalam menjalankan profesinya menjunjung tinggi nilai kejujuran, nilai keadilan, nilai moralitas, perpenggang teguh pada kemandirian, kerterbukaan, kerahasiaan, komitmen tinggi, keberanian, integritas, profesional dan memegang teguh nilai-nilai etika.

Salah satu profesi yang bergerak di bidang penegakan hukum selain Polri, Kejaksaan dan KPK hanya advokat yang mempunyai hak imunitas dan penyandang merk Officium Nobile. Artinya, advokat dalam menjalankan tugas profesi pendamping seeker justice tidak mudah ditersangkakan, ditahan dan ditangkap karena selain dilindungi UU juga mempunyai pengawas etik di PERADI disebut Komisi Pengawas Etika Profesi yang anggotanya terdiri dari advokat senior, tokoh mayarakat, ahli hukum dan tokoh agama, yang integritasnya tidak perlu diragukan lagi, oleh karena penyidik dalam menangkap, menahan advokat kecuali OTT (operasi tangkap tangan).

Dalam menjalankan tugasnya wajib patuh dan taat pada ketentuan UU yang berlaku yaitu sebelum advokat dirampas hak-hak istimewanya sebagai penyandang Oficium Nobile Penyidik harus melalui keputusan Komisi Pengawasan Etika Profesi Advokat.

Oleh: Muhammad Anwar, S.H, M.HAnggota PERADI dan Founder AiCLAW

Related Posts

1 of 202