MancanegaraPolitik

Negara Haiti Kini Menuju Jurang Kehancuran Menyusul Somalia

Negara Haiti menuju kehancuran
Negara Haiti menuju kehancuran/Foto AP

NUSANTARANEWS.CO – Negara Haiti kini menuju jurang kehancuran menyusul Somalia. Suka tidak suka, Jean Bertrand Aristide, telah menyelamatkan Haiti dari proses ‘somalisation’ yang menghancurkan begitu banyak negara di Afrika seperti: Liberia, Chad, Libya, dan Sudan.

Jean-Bertrand Aristide pria kelahiran 15 Juli 1953 di Port-Salut, Haiti, adalah seorang mantan pastor Katolik Roma yang menjadi politisi, dan terpilih menjadi Presiden Haiti pada 1991. Begitu populernya dikalangan rakyat miskin Haiti, sehingga tidak mengherankan bila Aristide kemudian terpilih lagi menjadi Presiden pada 2001 secara demokratis.

Namun para musuhnya menyebut Aristide adalah seorang diktator yang korup sehingga digulingkan oleh kudeta militer (September 1991). Aristide kemudian tinggal di Venezuela dan kemudian ke Amerika Serikat (AS). Aristide kemudian mencari dukungan internasinoal.

Di bawah tekanan AS, rezim militer takluk, dan pasukan-pasukan AS dikerahkan ke Haiti. Pada 15 Oktober 1994, Aristide pulang ke Haiti untuk menyelesaikan masa jabatannya.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Anton Charliyan Ikut Semarakkan Kampanye Akbar Prabowo-Gibran di Stadion GBLA Bandung

Intervensi langsung AS seperti itu tetap terbatas untuk melucuti kelompok-kelompok paramiliter, karena AS tidak memiliki mandat untuk ikut campur dalam urusan negara berdaulat. Namun dengan kesempatan itu, AS dapat memperkuat lembaga-lembaga sipil, dan meningkatkan peluang Haiti untuk menentang tindakan kekerasan di masa depan.

Yang paling penting dari lembaga-lembaga ini adalah sistem peradilan pidana yang kredibel, yang tidak pernah ada sebelumnya di Haiti.

Penyingkirannya yang kedua menimbulkan kontroversi karena Aristide mengaku bahwa ia dipaksa meninggalkan negaranya di bawah tekanan Amerika Serikat dan diculik serta disingkirkan ke sebuah negara di Afrika. Sebaliknya, AS menolak pernyataan itu dan mengatakan bahwa Aristide meninggalkan negaranya dengan sukarela.

Pada 29 Februari 2004, Guy Philippe, mantan kepala polisi, yang didukung oleh CIA memimpin pemberontakan bersenjata untuk menggulingkannya dari kekuasaan pada tahun 2003. Hal ini sekaligus menandai sebagai titik awal kehancuran Haiti.

Segera setelah gempa bumi yang merenggut lebih dari 300.000 jiwa pada tahun 2010, arah menuju ‘somalisasi’ muncul dengan sendirinya. Negara itu benar-benar berantakan, ibukotanya 40% hancurkan, dan lebih dari 1 juta orang mengungsi atau tinggal di bawah tenda dalam kondisi yang sangat sulit.

Baca Juga:  Gibran Rakabuming Didaulat sebagai Ki Sunda Utama oleh Abah Anton Charliyan di Padepokan Abah Umuh Sumedang

Sementara itu, komunitas internasional, khususnya PBB dan AS malah mendorong pemerintah untuk segera menyelenggarakan pemilihan. Dalam situasi kacau itu, kandidat presiden yang paling tidak memenuhi syarat, Michel Martelly, dipilih atas skenario Washington.

Naiknya Martelly dalam kekuasaan dalam waktu singkat telah menciptakan ketegangan yang tinggi di haiti. Port-Au-Prince, ibu kota Haiti, mirip dengan Mogadishu pada tahun 1991. Sebuah konfigurasi “Wild Wild West” yang baru di jantung Amerika. Di sebelah Selatan ibukota, kekuasaan dipegang oleh 3 (tiga) panglima perang besar: Bougoy di “Gran Ravine,” “Baz Pilat” di tengah, dan Arnel di barat laut kota.

Sementara di sebelah Utara berada di bawah kendali “Tijunior,” Ti ougan, “Barbekyu” seorang mantan polisi, dan barat daya oleh seorang pemuda bernama “Tije”. (Banyu)

Related Posts

1 of 3,050