Rubrika

Natalius Pigai Ungkap Titik Temu Dirinya dengan Umat Islam

Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis, dan mantan Komisioner Komnas HAM. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis, dan mantan Komisioner Komnas HAM. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tokoh Papua, Natalius Pigai mengungkapkan titik temu dirinya dengan umat Islam, khususnya di Indonesia. Dia memandang umat Islam benar-benar mampu mengejawantahkan nilai-nilai universalitas, menghindupkan nilai teologis dan secara bersama-sama mengembangkan toleransi beragama.

“Mereka memanusiakan manusia secara adil dan beradab serta menjaga persatuan, membangun peradaban demokrasi dan juga keadilan substantif. Jadi, perjuangan keumatan itu adalah perjuangan mencapai keadilan. Cara pandang ini jika kita simpulkan maka apa yang diperjuangkan umat Islam sama dengan nilai yang terkandaung dalam norma dasar. Karena itulah titik temu dengan saya,” kata Pigai dikutip dari pernyataan tertulisnya, Rabu (9/1/2019).

Baca juga: Natalius Pigai: Aku Bertekuk Lutut di Hadapan Panji-panji Rasul

Menurut Pigai, ketika berjuang umat Islam berpihak kepada nilai universal, nilai demokrasi, persatuan dan keadilan. “Di sinilah titik temu kita,” ucapnya.

Selain soal nilai perjuangan itu, Pigai yang dikenal aktif sebagai aktivis kemanusiaan juga menyoroti serius framing negatif yang selama ini disematkan kepada umat Islam di seluruh dunia. Sejumlah framing negatif itu di antaranya intoleran, radikal, ekstremis dan teroris.

Baca Juga:  Ar-Raudah sebagai Mercusuar TB Simatupang

“ltu merupakan framing negatif yang dikembangkan oleh dunia barat dan pemerintah dengan tujuan justifikasi tindakan mempersempit ruang gerak perjuangan umat Islam,” sebutnya.

Baca juga: Jokowi Batal Buka Pesparani di Ambon, Pigai: Orang Katolik Punya Segalanya untuk Naik dan Jatuhkan Presiden

“Selama ini kita selalu jauh dan jaga jarak dengan umat Islam. Kami telah lama tersandera dengan alam pikir phobia Islam yang didesain dunia barat tentang Islam. Karena itu, perjuangan kita adalah bagaimana memukul otaknya. Yang harus pertama kali dipukul oleh rakyat adalah cara pikirnya, cara berbicara dan ekspresi pemikirannya. Karena tindakan mereka merupakan perwujudan dari cara berpikirnya,” papar pria kelahiran Paniai, Papua ini.

(eda/asq)

Editor: Almeiji Santoso

Related Posts

1 of 3,055