NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis Kemanusiaan Natalius Pigai mengatakan kegagalan program Joko Widodo dapat tergambar dari masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Pigai menerangkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam empat tahun kepemimpinan Jokowi, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,82 persen.
“Hanya turun sangat sedikit dari sepeninggalan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), di mana pada 2014 diakhir masa jabatannya angka kemiskinan 10,96 persen,” kata Pigai melalui pesan tertulis, Jakarta, Sabtu (18/8/2018).
“Hanya turun 1 persen kemiskinan selama 4 tahun, pundi-pundi orang kaya bertambah 10% per tahun, pengusaha hanya tumbuh 0,3 persen. Padahal sejak Jokowi berkuasa menghabiskan APBN Rp 7000 triliun,” tambah Mantan Staf Khusus Menakertrans, Mantan Kepala Subbidang Statistik Ketenagakerjaan Kemenakertrans RI ini.
Menurutnya, fakta tersebut merupakan sebuah ironi di negeri kaya raya. Kemiskinan tetap tinggi, pengangguran di mana-mana, angkatan kerja menumpuk, mereka lalu lalang sambil menenteng tas menyebrangi jembatan tanpa sungai di kota-kota metropolitan.
Baca juga: Membongkar Manipulasi Narasi Data Pemerintahan Jokowi oleh Menteri Keuangan dan Kepala BPS
Selain itu, mereka juga lalu lalang dari kantor ke kantor mencari sesuap nasi untuk kehidupan. Sementara pemerintah menutup pintu dan peluang kerja konon katanya moratorium penerimaan CPNS sejak 2014.
Di sisi lain, kata Pigai, pemeintah tidak mampu mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor swasta. “Kampung saya di Paniai, pedalaman Papua saja sudah mencapai 6 ribu pengangguran dari jumlah penduduk hanya 100 ribu. Belum lagi di tempat lain seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mencapai jutaan penganggur,” ungkapnya.
“Bukan revolusi mental, tapi revolusi nguntal. Dia (rakyat) cari makan sendiri, makan sendiri, ditelan tanpa ngunyah itu nguntal namanya. Hasilnya dari rilis BPS, Jokowi meninggalkan kemiskinan 9,82 hanya turun satu digit selama 4 tahun,” tambah Pigai.
Pigai menambahkan tingginya angka kemiskinan di Indonesia dikarenakan penyebaran anggaran yang tidak merata. Sebab, anggaran negara lebih diperuntukkan pembangunan infrastruktur yang dianggapnya tidak bisa menyerap tenaga kerja. (gdn/eda)
Editor: Gendon Wibisono