Hankam

Nasionalisme Sempit ala LBP

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Klaim nasionalisme harus angkat senjata sebagaimana dilontarkan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) menunjukkan cara berpikir yang sempit. Luhut lantang mengatakan, bahwa orang yang belum pernah ditembaki tak pantas mengkritik soal nasionalisme.

“Saya perang di Timtim tahun 1975. Anak buah saya gugur 8 orang di Kopassus. Jangan bilang nasionalisme, kalau belum pernah ditembakin,” tegas LBP, Senin 20 Maret 2018.

Statemen tersebut, selain ingin pamer bahwa ia pernah terlibat perang, Luhut juga seakan ingin menyampaikan pesan bahwa identifikasi nasionalisme tak lain adalah melakukan angkat senjata. Artinya, rakyat Indonesia bisa disebut berjiwa nasionalis jika mereka dipersenjatai serta terlibat perang.

Baca Juga:
Luhut: Masuknya Buruh Tiongkok ke Indonesia, Memang Harus
Presiden Minta Izin TKA Dipermudah, Menaker Jamin Perketat Pengawasan
Serbuan WNA Cina Sepanjang Tahun 2016-2017

Pertanyaannya, siapa yang akan kita perangi? Apakah harus terjadi konvensional untuk mebangkitkan kesadaran nasionalisme? Bukankah proxy war, hybrid war dan sejenisnya itu justru memiliki dampak kehancuran yang lebih mengerikan?

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Sebaliknya bagi yang tak pernah angkat senjata, mereka akan dinilai tak berhak mengklaim cinta Indonesia. Dituding tidak nasionalis. Apakah nasionalisme hanya milik tantara dan milik para kaum kombatan?

Benarkah, seseorang harus dipersenjatai dan mengangkat senjata agar bisa dianggap nasionalis? Jika memang demikian, tanpa disadari LBP sebenarnya telah mendukung militerisasi warga sipil sebagaimana cita-cita negara-negara sosialis. Dimana muncul klaim kebenaran, bahwa rakyat yang dipersenjatai adalah sine qua non, yakni masyarakat yang bebas (merdeka).

Janet Biehl dalam bukunya Politik Ekologi Sosial Munisipalisme Libertarian menjelaskan, selama lebih dari setengah abad, gerakan sosialis internasional mendorong dan terus mengkampanyekan tentang kebutuhan rakyat sipil yang harus dipersenjatai.

Kita pernah mengalami gerakan serupa, yakni tentang angkatan kelima yang diusung kelompok komunis. Atas dasar untuk melindungi negara, mereka para sipil yang terdiri dari para buruh dan petani dibekali senjata. Hasilnya, meletuslah pemberontakan PKI.

Kembali pada definisi LBP tentang nasionalisme harus angkat senjata merupakan statemen yang salah kaprah, sempit dan mendistorsi arti kata nasionalisme itu sendiri. Sebagai purnawirawan jenderal, mantan Menkopolhukam, nampaknya beliau perlu mengkaji lagi apa esensi heroisme, patriotisme dan nasionalisme dalam pengertian yang luas dan benar.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Untuk membuktikan cinta tanah air, seorang warga negara tak harus mengangkat senjata. Mengangkat senjata diperlukan jika memang harus dan tentunya bersifat situasional.

Nasionalisme, How Are You Today

Taat pada UUD 1945 dan menjalankan ideologi Pancasila serta menjabarkannya dalam laku kehidupan adalah wujud nasionalisme. Ingat! Sebagai dasar negara, Pancasila mengatur perilakunya negara. Pancasila mengatur budi pekertinya negara, yang terungkap dalam praktik dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara.

Jangan rakyat terus yang ditodong jalankan Pancasila. Sementara, pemerintah justru menjauh dari laku Pancasila itu sendiri lewat berbagai macam kebijakannya, seperti bebas visa  yang tak mencerminkan nasionalisme.

Interpretasi nasionalisme yang paling mudah dan sederhana adalah membela hak milik atas rumah sendiri. Tapi apa yang terjadi? Saat rakyat sendiri tengah kesulitan mencari kerja, pemerintah justru mengimpor ribuan buruh dari Tiongkok secara massal.

Meski sempat berkelit dan menuding hoax bahwa tidak ada serbuan buruh dari Tiongkok, toh akhirnya, Luhut pun tak mampu mengelak. Dalam kasus puluhan ribu pekerja buruh Tiongkok di Konawe, Sulawesi Tenggara, Luhut mengatakan, “Kalau ada buruh Tiongkok yang masuk, memang harus masuk. Dia taruh duit dia. Jangan diplesetin Tiongkok invasi Indonesia, kampungan itu,” ungkapnya, 18 Oktober 2017.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Tan Malaka dalam salah satu quotenya, mengingatkan, “Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.” Diketuknya Perpres Nomor 69 Tahun 2015 tentang bebas visa merupakan lonceng kematian keberpihakan negara terhadap rakyat sendiri. Nasionalisme, how are you today?

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 23