HankamHukumPolitik

Nasionalisme ala LBP, Sebuah Pandangan Sederhana

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kemarahan seorang Luhut Binsar Panjaitan (LBP) terhadap ‘seniornya’ yang dikutip banyak media nasional telah membuka pandangan sederhana kita terhadap pria kelahiran 70 tahun silam ini. Ia tampak begitu sinis dengan pernyataannya, arogan dengan kekuasaanya, dan celakanya terlihat sangat anti kritik.

Sebuah pernyataan fatal kala LBP menyerang dengan kalimat ‘orang yang belum pernah ditembaki tak pantas mengkritik soal nasionalisme‘. ‘Saya perang di Timtim tahun 1975. Anak buah saya dari Kopassus gugur 8 dalam peperangan. Jangan bilang nasionalisme kalau belum pernah ditembakin‘, kata LBP.

Setelah ucapan itu, dia mengancam bakal mencari dosa (kesalahan) sang pengkritik dengan kalimat ‘kau merasa paling bersih, kamu boleh ngomong, tapi dosamu banyak juga kok. Udahlah diam saja lah, tapi jangan main-main. Kita bisa cari dosamu sampai dapat’, ucap LBP.

Dengan kata lain, LBP yang kini menjabat Menko Kemaritiman hendak mengatakan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah seorang nasionalis sejati karena sudah pernah mengangkat senjata dan berperang.

Baca Juga:  Menangkan Golkar dan Prabowo-Gibran di Jawa Timur, Sarmuji Layak Jadi Menteri

Baca juga: Pengangguran Masih Tinggi, Presiden Jokowi Ingin Tenaga Kerja Asing Dipermudah Bekerja di Indonesia

Kita lalu bertanya apakah ukuran nasionalisme seseroang hanya dapat diukur dengan pengalaman berperang dan mengangkat senjata semata? Bagaimana dengan putra putri Indonesia yang sukses di bidangnya masing-masing di Negeri Jiran tetapi tetap mempertahankan ke-Indonesiaannya dengan segenap kesadarannya tetap menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Bagaimana dengan orang-orang Indonesia yang mencintai dan menggunakan porduk-produk Indonesia dengan bangga? Apa ini bukan bentuk nyata dari rasa dan kesadaran akan nasionlisme yang tinggi? Mengapa kata nasionalisme terdistorsi menjadi sangat sempit? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang senyatanya patut diajukan bila merujuk pada pemahaman sempit LBP soal nasionalisme.

Di sisi lain, pengakuan LBP mengenai kiprahnya dalam palagan di Timtim justru hanya akan membuat ribuan prajurit pejuang yang pernah bertugas di Timtim kembali harus meneteskan air mata. Sedih sekaligus geram karena LBP ‘membiarkan’ 8 prajuritnya tewas di medan pertempuran. LBP bukanlah satu-satunya prajurit pernah berjibaku dengan peluru, ledakan granat dan dentuman mortir di Timtim.

Baca Juga:  Gelar Deklarasi, Pemuda Pancasila Sumut Dukung Pemilu Damai 2024

Ucapan LBP tidaklah menunjukkan heroisme atau patriotisme apalagi nasionalisme seorang prajurit yang menunaikan kewajibannya di medan pertempuran. Tapi, ucapan ini tak lebih hanyalah sebuah hiperbola dari keakuan seorang LBP.

Paradoks nasionalisme telah dipertontonkan ketika ribuan pekerja Cina menyerbu ke Indonesia dan bekerja pada hampir sektor pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian khusus. Mengapa tidak ada lontaran kata ‘nasionlisme’ ketika ribuan lapangan kerja harus berpindah dari putra-putri Indonesia kepada orang asing?

Baca juga: Pencabutan Permen ESDM No 31 Tahun 2013 Permudah TKA Merambah ke Sektor Migas

Bagaimana dengan serbuan barang-barang impor seperti pakaian, makanan, elektronik, dan lain-lain yang masuk ke Indonesia? Bahkan barang kebutuhan strategis seperti gula, beras, garam, daging, jagung, kedelai dan lain-lainnya di mana kita mengimpor ketika terjadi panen raya. Ambil contoh misalnya kasus impor beras yang paling menohok di awal-awal 2018. Meskipun Indonesia surplus 3 juta ton beras, nyatanya pemerintah tak sudi menghargai jerih payah para petani untuk sekadar tidak mengimpor beras. Kementerian Perdagangan bersikeras mengimpor beras yang akhirnya diputuskan sebanyak 500.000 ton.

Baca Juga:  Relawan Anak Bangsa Gelar Bazar Tebus Sembako Murah di Kalibawang

Belum reda polemik impor beras, impor bahan pokok lain juga berlanjut. Kebijakan impor juga diberlakukan untuk komoditas garam industri sebanyak 3,7 juta ton. Sekali lagi, kebijakan tak pro rakyat dan petani garam ini membuat masyarakat terpaksa turun ke jalan untuk sekadar menyuarakan protes.

Begitu pula daging kerbau, tahun 2018 pemerintah memutuskan impor sebanyak 100 ribu ton dari India. Impor daging kerbau ini merupakan strategi pemerintah sebagai alternatif bagi masyarakat yang hendak membeli daging. Sebab, harga daging sapi tak kunjung turun. Di pasaran, harga daging sapi masih berada pada kisaran Rp 120 ribu/kilogram.

Kebijakan-kebijakan yang tak pro rakyat ini tampaknya sama sekali tak mengusik rasa nasionalisme LBP. Dia selalu setuju dengan keputusan pemerintah, tanpa pernah mengkritisi, alih-alih melarang kebijakan impor tersebut.

Editor: Eriec Dieda & Achmad S

Related Posts

1 of 9