Opini

Narasi ‘Ditunggang HTI’ yang Terus Berulang

HTI saat demonstrasi. (Foto: Salafy News)
HTI saat demonstrasi. (Foto: Salafy News)

SETELAH gelombang protes umat dengan Aksi Bela Tauhid yang digelar, ada saja yang berupaya menggembosi ghirah pembelaan umat terhadap ketauhidan mereka. Menkopolhukam, Wiranto, kembali membuat pernyataan yang cukup menggelitik. Ia berseloroh bahwa Aksi Bela Tauhid ditunggangi HTI. Ia juga mengatakan pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser menjadi isu nasional dikarenakan ada yang memanfaatkan situasi ini. Yakni, HTI ingin tetap eksis.

Narasi tunggang–menunggangi sebelumnya sudah pernah diaruskan oleh rezim ini. Pada Aksi Bela Islam Jilid 3 tahun 2016 silam mereka sebut sebagai upaya makar. Deklarasi #2019GantiPresiden juga mereka katakan ditunggangi HTI. Ini menunjukkan kegusaran pemerintah dalam gelombang massa umat Islam yang nampak bersatu melawan kedzaliman.

Harusnya, kegusaran itu bukan pada HTI-nya, tapi mengapa rakyat terus menerus bereaksi? Tak akan ada reaksi, bila tak ada aksi.

Memangnya seberapa hebat HTI hingga bisa menunggangi ribuan bahkan jutaan umat dalam gerakan tersebut? Bila tagar #2019GantiPresiden mendapat tempat di hati rakyat, itu karena kehendak rakyat ingin mendapat pemimpin yang lebih baik. Bila pembelaan umat Islam terhadap bendera tauhid sangat kuat, itu juga karena keimanan yang mendorong mereka. Janganlah memberi kesan bahwa semuanya salah HTI. Seolah HTI adalah musuh bangsa yang boleh saja dipersalahkan atas segalanya.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Padahal, pembakaran bendera tauhid murni kesalahan dari si pelaku. Akibat informasi salah tentang bendera tersebut. Keberpihakan inilah yang membuat umat merasa dianaktirikan. Membela yang salah, mengkambinghitamkan pihak lain. Inilah diantara sebab mengapa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah makin luntur.

Pertama, ketidakadilan hukum. Sejak kasus Ahok bergulir, tuduhan intoleransi dan ujaran kebencian begitu mudah dialamatkan kepada umat Islam. Sementara, pihak lain yang terang-terangan melakukan ujaran kebencian aman-aman saja. Contohnya, pidato tendensius Viktor Laiskodat beberapa waktu silam. Cuitan Ade Armando di akun twitternya yang terkesan melecehkan Islam juga aman saja.

Berikutnya kasus puisi Sukmawati yang terkesan lamban penanganannya. Sementara, ulama terus saja menjadi korban persekusi dan kriminalisasi. Sebut saja Habib Rizieq Shihab, Ustadz Felix Siauw, Ustadz Abdul Shomad, Ustadz Tengku Zulkarnaian, dan lainnya. Belum lagi kasus penyiraman terhadap Novel Baswedan juga masih gelap.

Sementara itu, kasus hoax Ratna Sarumpaet begitu mudah dan sigap diungkap. Kasus persekusi terhadap ulama juga tak jelas kelanjutannya. Inilah yang dirasakan umat Islam. Pemerintah terkesan abai terhadap penegakan hukum yang berkeadilan.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Kedua, ketimpangan ekonomi. Masalah perekonomian selalu menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Sejak empat tahun pemerintahan Jokowi, kondisi ekonomi semakin sulit. Segalanya naik. Daya beli masyarakat turun, rupiah melemah, dan kecenderungan pemerintah terhadap asing sangat kentara.

Sebagai contoh, impor pangan yang jor-joran, tenaga kerja asing dipermudah, sementara tenaga pribumi malah susah. Dari kondisi ini, wajar bila rakyat menghendaki kehadiran pemimpin baru yang mampu mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Ketiga, terhalangnya muhasabah kepada penguasa. Seringkali, saat rakyat melakukan kritik atas kebijakan, malah ditanggapi penguasa dengan cara yang tak bijak. Kritik itu dibungkam dengan berbagai tuduhan yang tak berdasar. Bikin kegaduhanlah, makarlah, ujaran kebencian, dan sebagainya.

Sebagian orang yang aktif melakukan kritik malah terjerat pelanggaran UU ITE. Harusnya pemerintah berterimakasih. Sebab, koreksi dan kritik adalah salah satu cara agar pemerintah memperbaiki kinerjanya.

Kecurigaan yang berlebihan, tuduhan yang tak berdasar, paling merasa NKRI dan Pancasila adalah salah satu faktor dari sekian faktor yang membuat umat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Mengapa?

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Sebab, sebagai penguasa yang bertugas mengayomi seluruh elemen rakyat, harusnya tak ada rasa antipati terhadap Islam dan ajarannya. Harusnya mengedepankan diskusi dan dialog, bukan main tuduh sana sini sekehendak hati. Tak perlu membuat narasi ditunggangi HTI atau sejenisnya. Hal itu hanya akan memperburuk citra Anda sebagai penguasa. Buruk muka cermin dibelah. Menyalahkan pihak lain atas kesalahan sendiri.

Permintaan umat sebenarnya sederhana. Berlaku adillah. Sebab, adil mengantarkan seseorang pada takwa. Ketakwaan mengarahkan pemimpin takut dosa. Jangan berat sebelah. Muhasabah adalah sikap paling tepat untuk penguasa. Tak usah jumawa atas kuasa. Sebab, Yang Maha Kuasa tak akan suka.

Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Simak juga artikel-artikel menarik dari Chusnatul Jannah lainnya di sini..

Catatan Redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,148