NUSANTARANEWS.CO – Jumat Legi, 17 Agustus 1945, bulan Ramadhan, Soekarno, Hatta dan Soebardjo pada jam 3 dini hari, mulai merumuskan naskah proklamasi. Rumah Laksamana Tadashi Maeda yang berada di jalan Imam Bonjol 1 Jakarta itu menjadi saksi sejarah detik-detik kemerdekaan Indonesia.
Bangunan tua bergaya Art Deco yang didirikan pada tahun 1920 itu memiliki sejarah panjang. Sebelum dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi oleh Menteri P&K, Prof. Nugroho Notosusanto pada 1984, dipakai Asuransi Jiwasraya pada 1931, lalu Admiral Tadashi Maeda pada masa pendudukan Jepang, markas besar Tentara Inggris pada perang Pasifik, kemudian beralih lagi ke Asuransi Jiwasraya, Kedutaan Inggris 1961 – 1981, dan Perpustakaan Nasional pada 1982.
Gedung museum ini memiliki luas tanah 3.914 m2 dan dipilih Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo lantaran dinilai aman. Saat itu, pada 16 Agustus 1945, Soekarno beserta rombongan disambut Tadashi Maeda sekitar jam 10 malam setelah kembali dari “penculikan” Rengasdengklok. Saat perundingan naskah proklamasi, diceritakan bahwa Maeda tengah berada di kamar tidurnya di lantai dua.
Soekarno menulis naskah, Hatta dan Soebardjo memberikan saran secara lisan. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, menyaksikan bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah. Tokoh-tokoh lainnya menunggu di serambi muka.
Kalimat pertama teks Proklamasi adalah saran Ahmad Soebardjo dari rumusan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan kalimat terakhir disarankan oleh Mohammad Hatta. Sayuti Melik lalu mengetik naskah proklamasi kemerdekaan atas permintaan Soekarno, ditemani BM Diah.
Sayuti membuat tiga perubahan pada naskah, yaitu “tempoh” menjadi “tempo”, “Wakil-wakil bangsa Indonesia” diubah menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”, dan format tanggal juga diganti. Di sudut ruangan Museum Perumusan Naskah Proklamasi pengunjung bisa melihat patung Sayuti Melik di depan mesin ketik, bersebelahan dengan patung BM Diah.
Ruangan utama Museum Perumusan Naskah Proklamasi dimana seluruh tokoh yang hadir saat itu berkumpul setelah naskah selesai diketik. Pada jam 04.00 pagi, 17 Agustus 1945, Soekarno membuka pertemuan, dan lalu membacakan dengan pelan serta berulang-ulang naskah teks proklamasi itu. Semua yang hadir menyetujuinya.
Soekarno menyarankan untuk bersama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu didukung Hatta dengan mencontoh “Declaration of Independence” Amerika Serikat. Namun golongan pemuda menolak jika tokoh golongan tua yang disebut sebagai “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi.
Sukarni kemudian mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dilakukan oleh dua orang saja, yaitu Soekarno dan Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni akhirnya diterima. Soekarno dan Hatta pun lalu membubuhkan tanda tangannya pada naskah yang sudah diketik oleh Sayuti Melik.
Hadir pada pertemuan adalah Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, Mohamad Amir, Boentaran Martoatmodjo, I Goesti Ketut Poedja, A Abbas, Iwa Kusumasumantri, Johanes Latoeharharry, Ki Bagoes Hadji Hadikoesoemo, Teukoe Moehammad Hasan, Ki Hadjar Dewantara, Otto Iskandardinata, K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, Soetardjo Kartohadikusumo, R. Soepomo, Soekardjo Wirjopranoto, G.S.S.J. Ratulangi, BM Diah, Sukarni, Chaerul Saleh, Sayuti Melik, Anang Abdoel Hamidhan, Andi Pangerang, Andi Sultan Daeng Radja, Semaun Bakry, Soediro, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Samsi Sastrowidagdo.
Setelah itu ada pembahasan untuk menentukan tempat. Sukarni mengatakan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya telah diserukan datang ke lapangan IKADA pada 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Namun saran Sukarni ditolak Soekarno dan memilih dilakukan di tempat kediamannya, Pegangsaan Timur 56.
Sebelum meninggalkan rumah Maeda, Bung Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi menempel transkrip pidato singkat Soekarno sebelum ia membaca teks Proklamasi dan kata penutupnya.
Para pemuda tak sabar dan mendesak Soekarno, yang baru tidur setelah sejak semalam terserang demam, agar proklamasi segera dilakukan. Namun Soekarno menolak membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Hatta dan lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan setelan putih-putih dan menjemput Soekarno di kamarnya. Keduanya lalu menuju teras rumah dan membacakan proklamasi.
Sayangnya, rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan atas perintah Soekarno sendiri, dan di lokasi pembacaan teks prokalamasi itu berdiri Tugu Petir yang kini di dalam kompleks Monumen Soekarno–Hatta. Berbagai koleksi foto tua dan poster disimpan di lantai dua Museum Perumusan Naskah Proklamasi, menggambarkan peristiwa bersejarah antara 1945 – 1950. (Rafif/Ahmad/Dbs)