Politik

Namarin: Filosofi Pendidikan Kepelautan Kurang Tepat

NUSANTARANEWS.CO – Pada pertengahan Januari lalu, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) heboh. Kehebohan ini menyusul tewasnya Amirullah Aditya, taruna tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda akibat penganiayaan seniornya. Sistem pendidikan yang berlaku di STIP Marunda pun kembali berada di bawah sorotan tajam publik.

Seperti biasanya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang memiliki dan mengelola STIP langsung mencopot Ketua STIP dan menjanjikan perbaikan tata kelola kampus itu agar perkara bullying yang berujung maut itu tidak berulang di masa mendatang.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi angkat bicara turut mengkomentari peristiwa nahas tersebut. Menurutnya, kekerasan yang mengakar di STIP bertitik-tolak dari filosofi pendidikan kepelautan yang kurang tepat. Kekurangtepatan itu terletak pada anggapan bahwa untuk membangun disiplin dalam diri siswa diperlukan kekerasan.

“Disiplin dimaksud kemudian digenapkan dengan menerapkan tradisi militeristik dalam kegiatan belajar-mengajar di kampus dan asrama. Pola hubungan junior-senior yang sering menjadi faktor pencetus kekerasan di STIP bertumpu pada prinsip hirarki yang ada dalam tubuh militer,” ujar Siswanto seperti dikutip dari lamannya, Sabtu (4/2/2017).

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Perhitungan Perolehan Suara Pemilu 2024

Siswanto menjelaskan, disiplin memang diperlukan dalam pekerjaan di atas kapal yang jika tidak dapat ditegakkan bisa mengganggu operasional kapal. Tetapi, bukan dengan cara kekerasan untuk menumbuhkannya. Filosofi yang kurang tepat juga bisa dilihat dari tidak dipahaminya perbedaan antara knowledge dan knowhow dalam menyiapkan pelaut oleh para pengelola STIP.

“Maksudnya begini. Pelaut adalah salah satu profesi yang sangat kental aspek ‘knowhow‘ atau keterampilannya dibanding aspek ‘knowledge‘ atau pengetahuannya. Karena itu, untuk mengasah keterampilan (skill) tadi, aspek yang diperlukan adalah latihan alias ‘training‘. Itulah mengapa International Maritime Organization (IMO) menggunakan istilah ‘training tiap kali organisasi yang bermarkas di London Inggris itu membicarakan kegiatan penyiapan tenaga kerja di atas kapal, bukan pendidikan atau ‘education’,” terang dia.

Pasalnya, kata dia, education lebih menitikberatkan pada aspek knowledge/berpikir abstrak. Orang yang mampu berpikir abstrak belum tentu terampil, sementara orang terampil belum tentu cakap berpikir abstrak. Harap digarisbawahi, pelaut tentu saja bukan orang bodoh.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

Siswanto pun meminta agar pihak-pihak terkait, terutama Kemenhub segera memutus mata rantai kekerasan di STIP dan kampus-kampus sejenis.

“Lantas, apa yang bisa dilakukan agar rantai kekerasan yang sudah berjangkar dalam di tubuh STIP itu habis terputus? Gagasan ini barangkali bisa dipilih, yakni menyerahkan pengelolaan kampus itu sepenuhnya kepada Kemenristek dan Dikti. Biarkan mereka yang ahli dalam bidang pendidikan dari kementerian ini untuk mengurus calon-calon pelaut, sementara Kemenhub, dalam hal ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Perhubungan fokus pada pengembangan SDM Kemenhub yang sudah menjadi pegawai, bukan kepada mereka yang belum tentu menjadi pegawai di instansi itu,” papar Siswanto. (Sego)

Related Posts

1 of 9