Budaya / SeniKhazanahKolomSpiritual

Muhasabah Kebangsaan: Santri Mbeling dan Politisasi Agama

Di suatu pesantren ada seorang santri mbeling (nakal) bernama Bejo. Sebetulnya nama itu sudah diganti oleh kyai dengan Falakhuddin supaya terkesan lebih nyantri. Namun entah mengapa, teman-teman santri tetap saja menyebunya Bejo dan tampaknya dia juga lebih senang dipanggil Bejo.

Meski tergolong cerdas, namun ada perilaku Bejo yang tidak lazim sehingga sulit diterima oleh budaya pesantren karena dianggap merusak moral yaitu sering ngintip santri putri, bahkan pernah ketahuan mencuri BH santri putri. Sudah beberapa kali dia di-takzir (diberi hukuman), namun belum bisa memberikan efek jera.

Sebenarnya Bejo punya keinginan berat mencubit pipi Fatimah, santri putri yang paling cantik di komplek pesantren. Setiap hari dia mencari akal bagaimana caranya bisa masuk kompleks putri dan mencibit pipi fatimah yang putih kemerahan itu. Dia sudah berupaya mencari celah dengan berbagai cara untuk bisa masuk komplek putri, namun selalu gagal. Jangankan masuk komplek putri, baru di depan garbang kompleks dia sudah diusir oleh cewek-cewek killer yang menjadi pasukan keamanan pondok putri.

Dalam kondisi setengah putus asa, pada suatu pagi selesai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Bejo seperti mendapat ilham. Saat para santri sedang khusuk mengikuti dzikir yang dipimpin oleh Kyai, dengan cepat dia keluar dari barisan dzikir. Bejo mengambil sandal pak kyai yang ada di bawah tangga depan masjid. Sandal tersebut disembunyikan dikamar gothakan, diselipkan antara lemari dan kotak kitab.

Sehabis dzikir, para santri langsung kembali ke gothakan untuk siap-siap ke sekolah. Tinggal pak Kyai sendiri tengak tengok cari sandalnya. Melihat hal ini, Bejo langsung menghampiri dengan wajah berbinar.

Nyuwun sewu sedang cari apa, Kyai?,” tanya bejo mantap.

“Anu, sandal saya kok tidak ada,” jawab Kyai sambil lihat kanan kiri.

“Maaf, Kyai. Kelihatannya tadi disimpan Fatimah, dibawa ke komplek putri,” jawab Bejo dengan penuh tawadlu’.

“Oh… kalau begitu tolong kamu ke pondok putri, temui Fatimah dan ambilkan sandal saya,” demkian pak Kyai memberi dhawuh pada Bejo.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Blahhhrrr… Hati bejo bergetar mendapat perintah ini. Dia merasa punya mandat resmi masuk komplek putri. Dengan otoritas ini dia akan tumpahkan segala kepentingan dan nafsunya. Seperti anak panah melesak dari busur, Bejo langsung lari ke komplek putri. Sampai di gerbang Bejo ditahan dan diusir oleh cewek-cewek garang keamanan komplek. Merasa punya otoritas Bejo ngotot.

“Saya disuruh Kyai ke komplek putri ketemu Fatimah,” bentak Bejo pada keamanan komplek yang mengusirnya.

“Nggak mungkin, saya tidak percaya,” teriak kemanan tidak kalah garang.

Terjadi keributan karena Bejo yang merasa punya otoritas dari Kyai ngotot ke komplek putri, sedangkan keamanan tetap tidak percaya. Keributan ini di dengar oleh Kyai yang masih nunggu di serambi masjid yang letaknya hanya bersebelahan dengan komplek putri.

“Ada apa kok rebut-ribut, saya memang yang suruh Falah menemui Fatimah,” demikian suara Kyai melerai keadaan tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

Ahaaai… hati Bejo makin berbinar. Semakin terbuka lebar kesempatan mewujudkan keinginannya mencubit pipi Fatimah dengan memanfaatkan otoritas yang diberikan kyai. Dengan langkah tegap dia mendekati kamar Fatimah didampingi keamanan pondok. Setelah ketemu Fatimah Bejo bicara: “Fatimah, saya diperintah pak Kyai mencubit pipi kamu,” demkian Bejo bicara dengan mantap dan penuh keyakinan tanpa ada keraguan sedikitpun di wajahnya. Meskipun dia sudah memelintir perintah dan menyelewengkan anamat Kyai untuk kepentingan sendiri. Suasana kembali gaduh. Fatimah shock dan keamanan marah.

Mendengar ada keributan, kembali Kyai berkata; “Sudah jangan ribut, kasih aja Mah, saya yang suruh,” demikian kata Kyai pada Fatimah, yang tidak merasa kalau perintahnya telah diselewengkan. Para santri tambah shock, tapi tidak berani melawan perintah kyai. Meski dengan perasaan berat dan agak malu-malu akhirnya Fatimah menyerahkan pipinya untuk dicubit Bejo.

Baca Juga:  Pemdes Jaddung dan Masyarakat Gelar Istighosah Tolak Bala Penyakit, untuk Desa Lebih Baik

“Sudah…,” kata Fatimah ketus.

“Lho kok cuma sebelah, dua-duanya dong…,” kata Bejo ngotot

“Nggak… saya tidak mau..,” jawab Fatimah sambil terisak menahan malu. Tanpa mempedulikan adab terhadap Kyai, Bejo yang sudah dimabuk nafsu berteriak dari komplek putri: “Fatimah, cuma kasih sebelah Kyai, yang sebelah lagi belum dikasih.”

Mendengar teriakan Bejo, pak Kyai yang masih mangasumsikan masalah sandal tanpa ragu berkata: “Fatimah, kasih dua-duanya.”

Mendengar perintah Kyai Fatimah tak berani membatah, meski sebenarnya hatinya protes karena martabatnya merasa dilecehkan. Di hadapan orang suci yang dihormati Fatimah harus menelan semua kapahitan itu. Akhirnya dengan perasaan remuk dia serahkan pipinya yang sebelah untuk dicubit Bejo.

“Nah gitu dong..,” kata Bejo sambil mencubit pipi Fatimah dengan penuh kemenangan… ehmmm.

Dalam konteks politik, ada banyak manusia sejenis Bejo ini. Mereka dengan mudah menggunakan teks dan simbol agama untuk memenuhi nafsunya dan menyembunyikan kepentingannya. Mereka membodohi umat, mengintimidasi dan memusuhi siapa saja yang menghalangi keinginannya. Yang bersikap kritis padanya akan dihujat, dilecehkan dan dianggap anti Islam. Seperti keamanan yang bersikap kritis dengan menahan keinginan Bejo. Namun akhirnya harus pasrah karena kuasa suci yang tak mungkin dilawan.

Hal yang lebih tragis justru dialami Fatimah. Dia merasa martabahnya dinista, tapi tak mungkin melawan karena akan dicap santri durhaka yang melawan perintah Kyai. Nasib Fatimah ini seperti nasib rakyat awam yang merasa dinista dan dilecehkan oleh orang-orang yang teriak demi Islam demi agama dan sebagainya. Mereka merasa ada penipu yang memanfaatkan kesucian agama untuk memenuhi kepentingan nafsu duniawi. Namun mereka tetap saja dianggap orang suci yang membawa pesan dan perintah Tuhan. Sehingga siapa saja yang berani melawan dan mengkrik, membuka topeng busuk mereka akan dianggap melecehkan ulama, kriminlisasi ulama bahkan dianggap kafir dan di-Ahok-kan.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Demikianlah mereka menyembunyikan wajah dan kelakuan busuk mereka rapat-rapat di balik kesucian ayat dan atas nama ummat. Kalau sudah demikian yang jadi korban adalah orang baik yang tulus dan ikhlas, para ulama dan Kyai yang alim dan berhati bersih yang juga sering dimanfaatkan oleh orang-orang seperti Bejo ini. Dan menurut saya, pernyataan Ahok tentang penggunaan ayat unt menipu itu sebenarnya ditujukan pada orang-orang jenis Bejo ini. Bukan pada ulama, kyai atau Habaib yang alim dan tulus. Namun seperti biasa, orang-orang sejenis Bejo ini teriaknya lebih kencang dan meyakinkan sehingga lebih menarik perhatian.

Kisah ini bisa menjadi pelajaran, bagaimana bahayanya menggunakan simbol agama dan teks-teks suci di ranah politik karena rentan dimanipulasi. Jika perintah baik dari seseorang yang bisa dilakukan konfirmasi langsung aja bisa diselewengkan dan dimanioulasi, lantas bagaimana dengan perintah agama yang tidak bisa dilakukan konfirmasi jika diplintir dan dibajak oleh orang-orang sejenis Bejo Ini.

Kesucian dan kebenaran agama akan bisa dibuktikan dengan kesucian dan kebaikan akhlak para pemeluknya. Karena kesucian dan kemuliaan tidak mungkin dibuktikan dengan kata-kata kotor, caci maki dan fitnah yg melahirkan kebiadaban meski dibungkus dengan jargon dan simbol-simbol suci agama. Ada baiknya waspada pada orang-orang yang berteriak nyaring tentang agama tetapi kelakuannya tidak mencerminkan akhlak orang beragama. Jangan-jangan mereka ini bagian dari kelompok Bejo, si santri mbeling yang biasa memelitir dan membajak amanah.

Oleh: Al-Zastrouw, (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.

Related Posts