Budaya / SeniEsaiKhazanah

Muhasabah Kebangsaan: Pancasila dan Penerapan Konsep Istahsan

NusantaraNews.co – Dalam kaidah ilmu fiqh dikenal konsep istihsan yaitu meninggalkan suatu hukum yang sudah ditetapkan berdasar dalil syara’ kepada hukum lainnya disebabkan karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

Konsep istihsan ini terkait dengan penerapan ketententuan hukum yg sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma’ atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus diubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik. (baca: nashihuddinyatamu, “Makalah Istihsan Istishab dan Maslahah Mursalah”)

Contoh penerapan istihsan adalah hukum potong tangan bagi pencuri. Hukum ini memiliki dalil nash yang kuat, namun hal ini tidak dilakukan oleh Kalifah Umar karena kondisi tertentu dan alasan tertentu yg lebih membawa kemaslahatan. Di sini lahir bentuk hukum lain yang secara substansial dan fungsional lebih sesuai dengan dalil lainnya.

Dalam perspektif ini, Pancasila sebenarnya bisa dianggap sebagai penerapan istihsan. Ini bisa dibuktikan dengan melacak sejarah perdebatan para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar dan bentuk Negara.

Pada mulanya perwakilan ummat Islam berupaya keras agar negara Indonesia berbentuk negara Islam dengan syatiat Islam sebagai hukum formal negara. Perjuangan ini merupakan bentuk konsistensi dan cermin kesetiaan pada ajaran Islam yang secara tekstual berbunyi demikian.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Namun para utusan dari golongan Islam akhirnya menyadari bahwa kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang beragam tidak memungkinkan penerapan dalil tekstual (nash) tersebut. Karena jika dipaksakan akan menimbulkan kemadlaratan yang lebih besar yaitu akan makin sulit memperoleh kemerdekaan karena larut dalam perdebatan yang tak berujung.

Selain itu pemaksaan atas penerapan bentuk dan dasar negara yang sesuai nash (negara Islam) akan membawa bangsa Indonesia pada konflik dan perpecahan yang bisa berujung pada perang sesama warga bangsa yang baru akan dibentuk.

Atas pertimbangan ini para ulama yang terlibat dalam proses pendirian bangsa menerima Pancasila sebagai dasar Negara, karena selain dianggap sudah menampung substansi ajaran Islam juga bisa meminimalisir timbulnya kemadlaratan. Mereka berpikiran, meski secara simbolik formal tdk menyebut negara Islam dan hukum syariah, namun melalui Pancasila ummat Islam bisa menjalankan syariah secara leluasa dan Pancasila juga bisa diterima secara lapang dada oleh kelompok lainnya. Dengan demikian penerimaan Pancasila akan lebih membawa maslahah bagi bangsa Indonesia.

Jelas di sini terlihat Pancasila merupakan produk hukum berikutnya dari bentuk hukum syariah yang berdasarkan nash. Perubahan ini bukan untuk mengubah atau mengganti hukum yang berdasarkan nash, tetapi justru untuk menjalankan spirit dan tujuan substansial dari nash itu sendiri dengan berdasar pada bash lain yg lebih cocok dengan kondisi sosial budaya masyarakat, agar mudah dijalankan dan tdk terjadi benturan. Melalui cara ini ajaran dan tujuan hukum Islam tetap bisa dijalankan meski dalam format hukum yang berbeda.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Penerimaan Pancasila sebagai bentuk penerapan konsep istihsan tidak saja mencerminkan kearifan para ulama pendiri bangsa dalam menerapkan ajaran Islam yang diyakininya tetapi juga cermin keluasan wawasan dan kedalaman ilmu keagamaan sehingga memiliki kemampuan membangun strategi kebudayaan yang bisa mengelaborasi teks dan konteks secara tepat.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa penerimaan Pancasila sebagai dasar negara sudah melalui proses perdebatan panjang di kalangan ulama dengan berbagai perspektif keilmuan dan berbagai pertimbangan. Penerimaan Pancasila tidak sekedar alasan taktis politis tetapi juga alasan syar’i dan teologis. Demikian juga tafsir-tafsir dan kandungan makna yang ada dalam sila-sila Pancasila sudah menjadi bagian dari yang diperdebatkan yang kemudian menjadi ketetapan.

Ini menunjukkan bahwa menjadi pemimpin agama di Indonesia tidak hanya diperlukan kepandaian akal dalam menghafal teks-teks agama, tetapi juga butuh kepekaan membaca realitas sosial dan kearifan jiwa serta kebesaran hati. Kepandaian akal semata dalam memahami agama tanpa kepekaan jiwa dan keluasaan hati akan mudah terjebak pada penjara ego intelektual yang sempit dan kesombongan iman yang bisa menimbulkan kegaduhan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Oleh karenanya, jika hari ini masih ada yang memperdebatkan keberadaan Pancasila dan berupaya membuat tafsir-tafsir baru yang lebih mengedepankan ego kelompok dan keyakinan sendiri maka sesungguhnya orang tersebut tidak saja telah mengkhianati kesepakan para ulama tetapi juga merusak tatanan kebangsaan.

Dari pada sibuk dan gaduh memperdebatkan tafsir dan posisi Pancasila sebagai dasar negara, akan lebih baik jika tenaga dan pikiran tersebut digunakan unt upaya membangun strategi mengamalkan Pancasila. Karena pengamalan Pancasila akan lebih membawa manfaat nyata untuk kemaslahatan ummat daripada gaduh memperdebatkan tafsirnya.

Penulis: Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.

Baca tulisan menarik tentang Muhasabah Kebangsaan karya Budayawan Al-Zastrouw

Related Posts

1 of 53