KhazanahSpiritual

Muhasabah Kebangsaan: Melepas Jerat Topeng Malaikat

Dalam salah satu sajaknnya KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) pernah menggambarkan berbagai keanehan dan kontradiksi dalam perilaku umat akhir-akhir ini. Di antara paradoks yang disebutkan Gus Mus: “Orang rendah ilmu banyak bicara, orang tinggi ilmu banyak diam”, “Ilmu makin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap.”

Berbagai paradoks ini terlihat fenomena agama tanpa Tuhan, karena tanpa sadar ada beberapa perilaku ummat beragama yang telah menuhankan pikiran dan simbol-simbol agama. Mereka rela membenci, mencaci bahkan membunuh siapa saja yang berbeda dengan pikiran dan keyakinan mereka. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan melanggar norma dan etika bahkan sampai menista sesama manusia demi tegaknya tatanan kehidupan yang sesuai dengan kemauan mereka. Memfitnah, menghasut, adu domba dan berbuat kekacauan dianggap sebagai strategi perjuangan dan dakwah yang sah untuk dijalankan.

Inilah yang membuat kelompok ini merasa dikriminilisasi ketika aparat hukum bertindak tegas. Mereka merasa didhalimi ketika hendak diproses secara hukum. Alih-alih melakukan instrospeksi, bahwa tindakan menggunakan simbol agama dengan mengabaikan etika, moral dan akhlak itu justru bisa merusak kesucian dan kemuliaan agama. Mereka justru merasa menjadi korban kedhaliman, kemudian terus beusaha memobilisir umat masuk dalam persoalan mereka.

Dalam kondisi demikian, akan sulit bagi kita untuk membedakan mana tindakan yang benar-benar ikhlas memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran agama dan mana yang hanya menjadikan agama sebagai topeng untuk menyembunyikan kepentingan politik dan kebusukan moral. Jika sudah demikian, keadilan seolah terabaikan, terhalang oleh dinding teks dan kekuatan simbol. Sebaik apapun perilaku seseorang, setinggi apapun prestasi seseorang dan seadil apapun sikap seseorang semua akan sia-sia dan dihilangkan begitu saja jika orang tersebut tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan mereka atau tidak sesuai kemauan kelompoknya.

Baca Juga:  Tradisi Resik Makam: Masyarakat Sumenep Jaga Kebersihan dan Hikmah Spiritual Menyambut Ramadan

Padahal Allah secara tegas memerintahkan agar umat Islam bersikap adil pada siapa saja, termasuk pada golongan lain yang berbeda; “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah: 8).

Fenomena hilangnya sikap adil umat beragama karena kuatnya belenggu teks dan formalisme agama ini telah dimanfaatkan oleh para petualang politik yang mengejar kekuasaan demi ambisi keserakahan. Mereka ini dengan mudah membodohi ummat melalui ayat dan simbol-simbol agama demi keuntungan material dan nafsu kekuasaan.

Ketika para setan, dhemit, iblis, tuyul, rampok dan sejenisnya tampil menggunakan topeng malaikat hingga terlihat anggun dan menawan, maka diperlukan kejernihan hati dan kepekaan batin untuk mengenali mereka. Karena hanya hati yang jernih dan batin yang peka yang dapat memembus tebalnya topeng untuk menyingkap wajah asli mereka. Kepandaian akal dan ketrampilan bicara tanpa akhlak mulia, hati yang jernih dan jiwa yg peka justru akan mempertebal topeng para durjana. Hanya orang yg berpikir dangkal dan mereka yang berbalut nafsu syahwat yang mudah terpikat oleh keindahan topeng-topeng itu, sehingga mudah diperdaya para durjana bertopeng malaikat.

Baca Juga:  Tradisi Resik Makam: Masyarakat Sumenep Jaga Kebersihan dan Hikmah Spiritual Menyambut Ramadan

Atas dasar inilah maka para sufi selalu mengingatkan pentingnya menjaga kejernihan hati dan bersihan jiwa agar bisa menangkap nur ilahi. Dengan cara ini manusia akan memiliki kepekaan batin untuk melihat dan membedakan kebusukan dan kebejatan yang disembunyikan di balik jargon-jargon dan simbol yang menawan dan penuh pesona.

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya.

Metode sufistik ini sebenarnya merupakan cara efektif untuk keluar dari jerat kepalsuan para durjana bertopeng mailakat. Melalui laku sufi, ajaran Islam yg mulia dapat digali dan diamalkan secara komprehensif. Karena sufisme tidak hanya terkait dengan simbol dan ritual formal yang lahiriah semata, tetapi masuk ke dalam dimensi ruhaniah yang menjadi spirit dan substansi dari simbol dan ritual agama. Sufisme berupaya menggapai hikmah, sesuatu yang bisa menembus di balik simbol dan ritual formal. Inilah yang menyebabkan kaum sufi tidak mudah hanyut dan terpukau oleh gemerlap simbol dan syiar agama tanpa makna.

Baca Juga:  Tradisi Resik Makam: Masyarakat Sumenep Jaga Kebersihan dan Hikmah Spiritual Menyambut Ramadan

Sayangnya metode spiritual sufstik yg selama berabad abad terbukati secara faktual sangat efektif sebagai benteng moral dan kultural ini justru ditolak oleh kaum skripturalis Wahabi bahkan menganggapnya sebagai kesesatan. Laku keagamaan untuk menjaga kepekaan jiwa dari tipu muslihat para durjana berwajah malaikat bertopeng ayat ini dianggap bid’ah hanya karena dianggap tidak ada dalam teks agama.

Melihat kenyataan yg ada saya jadi khawatir jangan2 kaum yg mengharamkan tasawwuf ini bagian dari gerakan mengahncurkan pertahanan Islam atau tanpa sadar mereka telah digunakan untuk merusak kekuatan Islam dengan mengatasnamakan Islam. Karena terbukti melalui sufisme ummat Islam justru bisa keluar dan terhindar dari tipu daya iblis bertopeng malaikat.

Oleh: Al-Zastrouw, (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.

Related Posts

1 of 6