TRAGEDI pemukulan terhadap KH. Umar Basri (ajengan Emon) saat melakukan dzikir di masjid Al-Hidayah, masjid pesantren yang diasuh sang ajengan, mengingatkan saya pada dua kejadian penting beberapa tahun lalu.
Pertama, peristiwa pengusiran Gus Dur saat memberikan ceramah pada acara diskusi di Purwakarta. Saat sedang memberikan ceramah tiba-tiba datang sekelompok orang berseragam putih yang secara tegas mengaku dari FPI membubarkan acara tersebut dengan cara-cara yang kasar dan tak beradab. Hujatan, caci maki dan kata-kata kotor ditujukan pada Gus Dur.
Hampir saja terjadi bentrok dan konflik horizontal, karena pada saat itu para Banser dan kaum muda NU sudah siap melakukan serangan balasan. Tapi dengan tegas Gus Dur justru melarang.
Pada saat itu Tak ada tudingan FPI membubarkan pengajian, tak ada tuduhan kriminalisasi ulama meski yang dibubarkan adalah majlis Ilmu dan yang dilarang bicara adalah ulama besar yang sudah diakui dunia. Juga tak ada kegaduhan gerakan bela ulama dan Islam dengan demo berjilid-jilid.
Bandingkan dengan kegaduhan yang terjadi saat ini, ketika seorang pembicara agama diminta membuat pernyataan setia pada NKRI seperti yang terjadi pada kasus Felix dan Ustad Abdus Shomad, seolah-olah terjadi pelarangan pengajian dan pelecehan ulama. Padahal mereka tidak dilarang kasih pengajian dan badannya juga tidak tersentuh sedikitpun tapi berita yang tersebar seolah telah terjadi pelecehan ulama, penistaan Islam dan sejenisnya.
Kegaduhan peperti ini sama sekali tidak terlihat saat ajengan Emon dianiaya secara fisik bahkan sampai berdarah-darah di tempat yang disakralkan (masjid) bukan di hotel atau bandara dan saat melakukan ibadah dzikir, bukan saat memberikan provokasi yang membakar emosi umat. Kelompok yang pernah mengusir Gus Dur ini diam, cep klakep tanpa ada komentar, apalagi reaksi.
Terus terang, melihat reaksi kaum daster ini langsung mengingatkan saya pada hubungan antara Gus Dur dengan ajengan Emon. Ayah beliau adalah santri Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang juga kakek Gus Dur. Ini menunjukkan ada kesamaan genealogi sosiologis dan ideologis antara Gus Dur dengan ajengan Emon. Kesamaan ini yang membuat hubungan emosional antara beliau berdua menjadi dekat. Hal ini bisa menimbulkan asumsi bahwa ajengan Emon adalah sama atau bagian dari Gus Dur sehingga kelompok-kelompok yang dulu membenci dan mengusir Gus Dur akan merasa tidak perlu simpati apalagi membela. Mereka menganggap beliau bukan ulama sebagaimana mereka menganggap Gus Dur sebagai kaum liberal, yang layak diusir dan dicaci maki. Dengan cara pandang ini sangat bisa dipahami jika kelompok-kelompok yang selama ini teriak-teriak bela ulama dan Islam diam dan tak bereaksi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa ajengan Emon.
Kedua, kasus ini mengingatkan saya pada tragedi pembantaian di Banyuwangi 1998. Bermula dari isu pembunuhan tukang santet kemudian melebar menjadi pembantaian terhadap kyai-kyai kampung dan guru-guru ngaji warga NU. Berdasar data tim pencari fakta (TPF) PWNU Jatim korban pembantaian Banyuwangi ini ada 147 orang, bahkan laporan LSM Kompak Banyuwangi mencapai 174 orang.
Saya teringat pada tragedi Banyuwangi karena ada beberapa kesamaan antara kasus Banyuwangi dengan Cicalengka; pertama, sasarannya kyai kampung NU; kedua, terjadi saat menjelang event politik bertensi tinggi, ketiga pelaku yang tertangkap selalu diindikasikan menglami gangguan jiwa, (bahkan ada yang langsung bunuh diri) sehingga sulit dilacak jejak dan motifnya. Keempat, menjadikan PKI sebagai kambing hitam pelaku pembantaian ulama.
Pada kasus pengusiran Gus Dur kita bisa melihat bagaimana kelompok-kelompok intoleran menjadi ujung tombak untuk melawan ulama yang mencoba merajut ketuhan bangsa, konsisten pada Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa. Kaum intoleran menganggap ulama seperti ini sebagai ulama liberal, agen zionis dan tidak membela Islam sehingga layak dihujat, diusir dan dicaci maki.
Meskipun mengaku menerima Pancasila, namun mereka menafsirkannya secara sektarian dan eksklusif, sehingga memberangus dan menegasikan keberagaman yang ada. Dan ini terlihat jelas dalam perilaku politik mereka yang radikal dan intoleran. Dalam kasus Cicalengka indikasi pelaku sebagai bagian dari kelompok ini terlihat jelas dalam perkataan dan sikap pelaku sebelum melakukan pemukulan (sebagaimaan disebutkan dalam kronologi yang beredar di medsos). Peristiwa ini mengindikasikan kaum intoleran semakin brutal dan agresif menyerang ulama dan kelompok teleran dan moderat.
Dalam kasus Banyuwangi saat itu, Gus Dur memahami sebagai upaya memancing emosi kaum Nahdhiyin agar masuk dalam pusaran konflik horizontal sehingga terjadi kekacauan. Oleh karenanya, Gus Dur menahan agar ummat NU tidak terpancing. Dalam situasi ketegangan politik yang makin meningkat seperti saat ini, bisa jadi berbagai kepentingan sedang bermain memanfaatkan situasi yang ada.
Melihat pola dan modus yang terjadi serta mencermati genealogi ideologi dan sosialogi kelompok-kelompok yang menggunakan ayat dan simbol agama dalam gerakan mereka, bisa dikatakan bahwa gerakan kaum intoleran yang hendak memecah keutuhan bangsa masih menjadi ancaman nyata dalam kehidupan berbangsa. Upaya menghancurkan Pancasila masih dilakukan dengan segala cara.
Jika merujuk pada referensi sejarah kebangsaan, situasi seperti sekarang ini mirip dengan suasana jelang peristiwa pemberontakan 65, ketika rakyat digiring dalam suasana konflik atas nama revolusi. Saat ini rakyat digiring menuju konflik dengan menumbuhkan sikap intoleran menggunakan agitasi atas nama agama dan Tuhan.
Dalam kondisi seperti ini diperlukan kewaspadaan tingkat tinggi dengan kejernihan nalar dan hati agar tidak mudah hanyut dalam provokasi dan agitasi dalam segala bentuknya. Dulu kita waspada atas bahaya laten PKI ada baiknya saat ini kita waspada terhadap bahaya laten intoleransi.
Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.