KhazanahKolom

Muhasabah Kebangsaan: Agama, Istri dan Simbol Harga Diri

NusantaraNews.co – Dalam tradisi masyarakat Nusantara, istri tidak sekedar pasangan hidup bagi suami. Juga tidak sekedar konco wingking yngg hanya bisa dipeluk dan dinikmati. Istri adalah mahkota dan simbol kehormatan bagi seorang suami.

Seorang suami akan marah dan tersinggung martabatnya jika ada orang lain yang berani menggoda atau menggangu istrinya. Bahkan ada suami yang sampai bertaruh nyawa jika istrinya digoda oleh orang lain.

Pandangan seperti ini terdapat dalam semua sistem nilai dan tradisi masyarakayt Nusantara. Seperti terlihat dalam tata nilai masyarakat Madura yang tercermin dalam pepatah “Lebbih bagus pote tolang etembheng pote mata” maksudnya lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup menanggung malu. Hal ini sering dikaitkan dengan sikap seorang lelaki yang istrinya diganggu orang. Konsep siri’ di Bugis juga terkait dengan persoalan istri sebagai simbol kehormatan suami. Etik seperti ini juga ada di masyarakat Sunda, Melayu, Batak dan sebagainya.

Urusan melindungi dan menjaga istri ini menjadi perhatian serius dalam konstruksi tradisi dan sistem nilai masyarakat Nusantara karena bisa menjadi pemicu konflik sosial. Misalnya dalam kitab Kutaramanawa, sebagai kitab hukum Majapahit, disebutkan seseorang yang berani menggangu perempuan yang sudah bersuami dengan memberi hadiah berupa barang maka orang tersebut bisa dikuhukum mati (Kuttaramanawa, ps. 250).

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Secara sosiologis fungsi istri dihadapan suami mirip dengan posisi agama bagi pemeluknya. Agama tidak sekedar tempat berlindung dan pembimbing menuju jalan keselamatan bagi para pemeluknya. Lebih dari itu agama juga menjadi simbol kehormatan dan martabat bagi orang-orang yang meyakininya.

Hal ini bisa dilihat dari sikap orang yg menjadi garang karena merasa dilecehkan martabatnya ketika ada yang menghina agama. Ada yang mengerahkan massa berjilid-jilid untuk membela martabat agama yang diyakininya. Bahkan ada yang rela mempertaruhkan nyawa untuk membela martabat agama, seperti seorang suami rela mati demi membela istri yang dinodai sebagai simbol harga diri dan martabat keluarga.

Kamiripan inilah yang menyebabkan norma dan etika sosial dalam hubungan suami istri memiliki kemiripan dengan relasi agama dan pemeluknya.

Seorang suami boleh saja meyakini bahwa istrinya yg paling baik, paling benar, paling cantik dan paling segalanya. Seorang suami juga boleh menyanjung istrinya setinggi langit baik di depan istri, keluarga maupun publik sampe terkesan lebay. Tapi satu hal yang harus diingat seorang suami tidak boleh membicarakan apalagi sampai mencela istri orang lain. Kalau hal itu dilakukan pasti akan memancing konflik dan permusuhan karena sudah menyinggung martabat orang lain.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Hal yang sama juga berlaku unt para pemeluk agama. Setiap pemeluk agama boleh meyakini bahwa agama yang diyakininyalah yang paling benar, paling baik dan paling hebat. Silahkan hal itu disampaikan di hadapan keluarga dan masing-masing pemeluknya. Tapi satu hal yang perlu diingat jangan sampai menista, mencela dan melecehkan agama dan keyakinan orang lain. Jika hal itu dilakukan sama saja dengan memancing kinflik dan permusuhan karena telah melecehkan martabat para pemeluk agama lain.

Agama dan Istri memang dua hal yang berbeda, tetapi keduanya memerlukan pensikapan yang sama karena keduanya memiliki posisi dan fungsi yang sama dalam relasi sosial. Kalau seorang bisa meyakini istrinya baik dan paling sempurna maka di sisil ain orang lain juga pandangan yg sama terhadap istrinya. Sehingga tidak layak membandingkan istrinya dengan istri orang lain.

Demikian hal dengan agama dan keyakinan, seseorang bisa meyakini agamanyalah yang paling benar dan paling baik, tapi di sisi lain dia juga harus yakin bahwa para pemeluk agama lain memiliki keyakinan yg sama terhadap agamanya. Tidak bijak dan tidak elok kalo harus memcela agama orang lain.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Jelas disini terlihat, hanya orang biadab dan tak bermorallah yang suka mencela dan menggoda istri orang lain. Orang seperti ini sama saja dengan orang yang suka mencela dan melecehkan agama dan keyakinan orang lain.

Ini artinya perilaku dan sikap seseorang kepada istrinya bisa menjadi cermin dan contoh dalam mensikapi perbedaan keyakinan agama.[]

Baca: Muhasabah Kebangsaan karya Al Zastrouw

Penulis: Al Zastrouw, (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.

Related Posts

1 of 7