Politik

Muhammadiyah Pun Ramaikan Kontroversi Tambahan Peran TNI Dalam Menindak Terorisme

Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Kebijakn Publik Busyro Muqoddas tolak Wacana tampahan teran TNI tindak terorisme/Foto Ilustrasi Nusantaranews
Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Kebijakn Publik Busyro Muqoddas tolak Wacana tampahan teran TNI tindak terorisme/Foto Ilustrasi Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Keberlangsungan Operasi Tinombala oleh TNI-Polri di Poso, Sulawesi Tengah disemarakkan dengan pembicaraan serius soal revisi UU Terorisme di DPR. Pandangan bersebrangan antar pihak terus mencuat terkait posisi dan peran TNI dalam penanggulangan terorisme di tanah air. Ada paradoks yang cukup kentara yakni, penolakan beberapa Anggota DPR terhadap penambahan peran TNI untuk menindak terorisme disaat TNI sukses tembak mati gembong teroris Santoso dan disusul dengan penyergapan Umi Delima istri alm. Santoso.

Jurang kontroversi kian melebar atas sekian penolakan dari berbagai kalangan selain beberapa Fraksi di DPR, salah satunya lahir dari Ormas Islam Muhammadiyah. Tentu saja penolakan tidak asal menolak. Muhammadiyah memiliki sikap mengapa menolak wacana penambahan kewenangan TNI agar bisa ikut penindakan terorisme yang masih dalam pembahasan revisi UU terorisme oleh DPR.

(Baca : Sigap Berantas Terorisme, DPR Sebut Tidak Perlu Tambah Kewenangan TNI)

Penolakan tersebut disampaikan oleh Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Kebijakn Publik Busyro Muqoddas dalam jumpa pers bersama koalisi masyarakat sipil di kantor PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016).

Baca Juga:  Survei Parpol, ARCI Jatim: Golkar-Gerindra Dekati PKB-PDIP

“Sikap kami jangan tarik-tarik TNI pada wilayah terkait proses penegakan hukum, karena TNI bukan aparat penegak hukum. Yang dikhawatirkan justru pemberantasan terorisme dalam kerangka dan tupoksi TNI itu menimbulkan kekerasan dan merugikan rakyat,” ungkapnya.

(Baca juga : Peran TNI Dipertanyakan Dalam Revisi UU Terorisme)

Penolakan Muhammadiyah, kata Busyro, berdasakan hasil telaah Majelis Hukum PP Muhammadiyah terhadap naskah akademik RUU terorisme yang akan dibahas di DPR. Dimana, katanya, ada beberapa kelemahan dan bahkan tidak sejalan dengan UUD atau UU tentang HAM. Perihal penangkapan Umi Delima, tambah Busyro. tidak menunjukkan proses penindakan kasus terorisme yang utuh oleh TNI. Sayang, Busyro tidak mengingat keberhasilan Alfa 19 dari Batalyon 515 Raider Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang menembak mati Santoso.

Mantan pimpinan KPK ini justru mengungkapkan kekhawatirannya terhadap peran TNI dalam peristiwa 98. Dimana menurutnya, yang bertanggung atas kekerasan di era reformasi itu adalam TNI? “Kita nggak bisa lepas dari Jakarta saat proses reformasi 98. Itu korbannya masih ada dan pelakunya state terorism di orde baru itu intelijen tentara yang main. Jadi penyelidikan waktu itu tidak dilakukan polisi atau kejaksaaan, tapi oleh aparat militer,” katanya sambil berharap kepada pemerintah dan DPR supaya tida tergesa-gesa membahas dan mengesahkan RUU tentang terorisme.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

(Lihat pula : TNI Ikut Tangani Terorisme, Bamsoet Sebut Kontraproduktif)

Akhirnya, Busyro pun berharap supaya DPR terlebih dahulu mendengar sekian masukan dari masyarakat sipil sebelum merevisi UU terorisme. (Sule)

Related Posts

1 of 5