NUSANTARANEWS.CO – Nama daerahnya Tangkit. Di bagian hilir Tangkit terdapat beberapa desa seperti Gelata, Riam Jaya, Nanga Betangai, Melana dan Nanga Potai yang kesemuanya berada di bawah naungan Kecamatan Nanga Sokan, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Sedang di bagian hulu Tangkit, masih banyak desa lainnya macam Nanga Libas, Penyengkuang serta beberapa nama desa yang penulis sendiri tak begitu hafal. Tetapi, desa-desa itu berada di perbatasan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah.
Dalam peta, desa-desa di atas tak akan ditemui, bahkan Google sekalipun tidak akan mampu menelusuri sampai ke daerah-daerah tersebut karena memang tak ada akses internet ataupun teknologi lainnya yang mampu menjangkau daerah-daerah perbatasan itu.
Selanjutnya, jangankan presiden Joko Widodo (Jokowi), gubernur Kalimantan Barat pun penulis sendiri tak yakin tahu daerah-daerah tersebut, alih-alih mengunjunginya. Ya, daerah perbatasan terkadang memang selalu dipandang sebelah mata oleh para petinggi negara sebelum ada peristiwa penting yang menggemparkan terjadi di sana. Ambil contoh misalnya di Nunukan beberapa waktu lalu, setelah diketahui di beberapa desa warganya berpindah menjadi warga negara Malaysia, barulah pemerintah daerah dan pemerintah pusat ribut serta mendadak perhatian. Fakta semacam itu adalah ironi daerah perbatasan, kerap luput dari perhatian untuk tak dikatakan terlupakan, maka kedaulatan NKRI pun benar-benar dipertaruhkan. Padahal, daerah perbatasan adalah hal yang menyangkut soal kedaulatan.
Terlepas dari itu, daerah Tangkit memang tidak seperti halnya Nunukan. Tangkit tidak berbatasan dengan negara lain sehingga tak ada ancaman eksodus, hanya saja dibandingkan dengan daerah-daerah lainnnya, Tangkit mungkin boleh dibilang masih tetinggal. Penulis sendiri pun dalam tulisan ini tak akan berbicara soal ketertinggalan tersebut karena pemerintah daerah tentu lebih tahu urusannya. Namun, penulis masih terngiang-ngiang dan terbayang-bayang betapa bahagianya saat penulis beserta 15 orang kawan “monggal” di Tangkit sejak pagi hingga sore hari pada musim kemarau, Agustus 2014 lalu. “Monggal” adalah bahasa daerah setempat yang dalam bahasa Indonesia-nya dapat diartikan rekreasi atau camping.
Berangkat dari desa Melana, penulis beserta 15 rekan lainnya menyusuri sungai Pinoh menggunakan perahu kecil yang dikayuh oleh motor Speed. Sungai Pinoh yang kecil itu kami susuri dengan perahu kecil pula yang sarat penumpang sehingga memaksakan beberapa orang dari kami harus turun ke pinggir untuk berjalan kaki karena saat itu musim kemarau. Sungai surut dan dangkal. Jika dipaksakan tetap dalam perahu niscaya perahu akan rusak karena hamparan batu-batu kerikil berhamburan, motor speed tak bisa terus dinyalakan sehingga beberapa orang yang tersisa di dalam perahu harus mengayuh sampan agar sampai ke tujuan. Setelah sampai di tempat yang dalam (teluk),barulah kami masuk ke dalam perahu kembali dan motor speed dinyalakan lagi.
Selama perjalanan, kami terkadang harus berjalan kaki menyeberangi sungai, melawan arus sungai yang dangkal setinggi lutut orang dewasa. Dan itu kami lakukan beberapa kali demi menjaga perahu agar tidak rusak. Meski begitu, kami benar-benar menikmati perjalanan tersebut. Sesekali kami mampir di rumah warga yang kami jumpai untuk sekadar meminta buah klengkeng, duren, jambu dan rambutan. Warga, dengan senang hati memberikan buah-buahan tersebut sukarela, tanpa meminta uang se-rupiah-pun.
Cukup lama kami sampai di tempat tujuan. Butuh waktu sekitar 5 jam, sehingga kami sampai di tempat tujuan tersebut waktu sudah mulai siang. Kami pun berhenti di bebatuan untuk istirahat dan mencari makan. Beras dan peralatan memasak memang sengaja kami bawa beserta bumbu-bumbu seadanya. Bekal lain kami persiapkan adalah alat untuk menyelam. Karena musim kemarau, sungai begitu jernih, kaca penyelam dan senjata berupa besi kecil tajam adalah dua modal untuk kami mencari ikan di sungai.
Dari 15 orang, kami bagi ke dalam dua kelompok; kelompok pertama, termasuk penulis tetap berada di lokasi peristirahatan untuk memasak nasi, membuat sambal, memasak sayur yang telah dipersiapkan; sementara kelompok kedua menyelam untuk mencari ikan sebagai tambahan lauk-pauk pelengkap santapan kami.
Satu jam berlalu, tim penyelam pun pulang. Di tangan mereka kami melihat tiga ekor ikan Patin berhasil didapat. Tak perlu berlama-lama, ikan-ikan tersebut langsung kami masak karena peserta, termasuk penulis tampak sudah kelaparan.
Tak lama berselang, santapan kami sudah matang. Seluruh peserta yang terdiri dari 15 kawanan itu berkumpul bersama-sama dan menikmati santapan yang memang tampak sangat nikmat. Bagi para peserta, termasuk penulis, bersantap di alam bebas dengan cara bersama-sama di acara “monggal” memang terasa lebih istimewa ketimbang makan di rumah masing-masing, sehingga muncul kesan jika ingin makan enak maka hal itu akan didapatkan saat “monggal”. Jadi tak heran kalau masyarakat di kawasan Kecamatan Sokan teramat gemar “monggal” saat musim kemarau, terutama desa Melana.
Tidak seperti orang pada umumnya, di mana ketika camping harus membawa segala macam jenis makanan, tetapi di kawasan Kecamatan Sokan, terutama daerah hulu termasuk di Tangkit, ketika musim kemarau camping hanya membutuhkan modal alat penyelam semata, selebihnya beras, bumbu-bumbu dan peralatan masak saja yang harus dibawa.
Setelah selesai bersantap ria, kami memanfaatkan waktu untuk mandi berenang di sungai. Air sungai amat jernih dan bersih, sehingga kami tak perlu membawa bekal berupa minuman, cukup minum air sungai.
Hari sudah sore, kami pun beranjak pulang ke Melana. Selama perjalanan pulang menyusuri aliran sungai dengan perahu, motor speed jarang dinyalakan, kami hanya berkayuh. Sesekali ketika melewati sebuah desa, kami berhenti untuk meminta buah-buahan kepada warga serta beberapa kerabat dan handai taulan, dan hal itu memang sudah kami rencanakan sebelumnya.
Pukul 16.00 WIB, kami tiba di sebuah desa Gelata. Desa ini cukup besar dan di sana sedang dilangsungkan turnamen sepakbola, di mana kami adalah salah satu dari tim-tim yang juga diundang berlaga. Sayang, sehari sebelumnya tim kami, Puma FC harus menelan kekalahan di pertandingan perdana melawan tuan rumah, Gelata Sport. Puma FC pun tersisih karena menggunakan sistem gugur. Namun begitu, kedatangan kami kali ini hanya sebagai penonton, mendukung tim yang kami unggulkan setelah kekalahan Puma FC, yakni Riam Jaya FC. Beberapa pemain Riam Jaya FC merupakan kerabat kami sendiri yang pada akhir laga menang tipis, dan lolos ke babak selanjutnya untuk berjumpa dengan tim yang mengalahkan Puma FC, Gelata Sport keesokan harinya.
Senja mulai tampak, hari pun perlahan mulai petang. Kami yang baru saja “monggal” di Tangkit beranjak pulang menyusuri aliran sungai, menuju desa tercinta, Melana. Tangkit, memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kami hari itu, melepas lelah, menyegarkan pikiran serta menyisakan berbagai kenangan tentang kebersamaan dan kekeluargaan.
Tangkit, di bagian hulu Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat adalah fakta dari keindahan dan keasrian alam provinsi Kalbar, sejuk, damai, serta keramahan alam yang siapapun tak dapat membelinya. Tak seperti di kota-kota besar, di sana tak ada polusi, tak ada pencemaran udara karena suasana alam yang masih natural, dan bagi kami tempat itu haram hukumnya pabrik-pabrik serta pertambangan didirikan. Kami akan menjaganya, tak sesiapapun yang boleh menyentuh alam di kawasan Kabupaten Melawi dengan mendirikan pertambangan, karena alam yang asri adalah bagian dari kebanggaan kami warga ujung Timur provinsi Kalbar.
Muncul kabar, pada tahun 2015 perusahaan-perusahaan dan pertambangan-pertambangan akan segera didirikan di sana. Bahkan kabarnya, beberapa puluhan hektare lahan telah dibeli oleh beberapa perusahaan kelapa sawit, terutama perusahaan kelapa sawit asal Malaysia untuk proyek penanaman dan pembenihan kelapa sawit. Entah apa yang telah diperbuat oleh pemerintah, yang jelas rumor masuknya perusahaan-perusahaan kelapa sawit memang teramat kencang berhembus ke tengah-tengah masyarakat. Kebahagiaan sebagian memang tampak ada karena perusahaan-perusahaan tersebut dinilai dapat membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi di sebagian masyarakat lainnya, termasuk penulis memang agak resah mendengar kabar tersebut karena tentu saja akan mengancam kelestarian alam kami, mengikis budaya tradisional serta adat istiadat kami.
Tetapi kami, sebagai masyarakat tradisional apalah daya kecuali hanya menjaga budaya dan adat istiadat tersebut agar tak terkikis oleh zaman yang semakin modern dan kapitalistis. Di era modern ini, uang dan kekayaan materi seumpama bencana di balik keruntuhan budaya, tradisi dan adat istiadat masyarakat. Uang dan kekayaan menjelma menjadi Tuhan untuk berbuat sekehendaknya tanpa memikirkan tradisi dan budaya tradisional masyarakat di daerah-daerah tertinggal. Janji-janji kesejahteraan seumpama dalil-dalil sahih serta angin surga yang ditawar dengan harga murah nan fatamorgana. Ketika alam telah rusak akibat eksploitasi, maka di saat bersamaan kita kemudian sadar bahwa modernisasi, dengan dalih apapun adalah perkara yang merusak lagi menghancurkan. Merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, budaya, tradisi dan adat istiadat. Setelah tradisi, budaya dan adat istiadat itu lenyap, maka muncullah masyarakat baru yang dilahirkan dari rahim modernisasi di mana mereka sudah lupa dengan tradisi, budaya dan adat istiadatnya, warisan leluhurnya yang turun temurun. Penulis lantas berpikir, mungkin modernisasi benar-benar telah merasuki dunia pendidikan. Apa lacur? Ya, karena semakin berpendidikan diri seorang individu, maka di saat bersamaan individu tersebut berpikir soal keuntungan material. Merasa berpendidikan, seorang individu lantas cepat berpikir bagaimana caranya memanfaatkan potensi alam di tanah tempat kelahirannya untuk dijadikan sebagai lahan mencari materi demi keuntungan pribadi.
Pungkasnya, pendidikan di era modern sudah tidak lagi mengindahkan soal kearifan lokal. Pendidikan di era modern sama sekali tidak mengajarkan kepada peserta didik untuk hidup survive seperti para leluhurnya dahulu kala. Jadi, pantas saja di era modern ini pendidikan begitu amat mudahnya diakses oleh siapapun, semua lapisan masyarakat dari kota hingga ke pedesaan dengan tujuan utama menciptakan manusia-manusia modern yang tak mempunyai mental menjaga tradisi, budaya dan adat istiadat di mana seseorang itu dilahir dan dibesarkan. Bagi penulis pribadi, semboyan revolusi mental hanyalah proyek pembangunan manusia modern belaka, bukan bertujuan untuk mencetak generasi yang bermental survive yang mampu bertahan hidup tanpa harus mengambil keuntungan kapital dari kekayaan dan kelestarian alam. Jika nanti terbukti bermunculannya anak-anak pedesaan yang berpikir mencari keuntungan kapital dengan cara-cara modern yang merusak alam, maka revolusi mental tak lebih hanyalah sebuah topeng modernisasi yang merusak lagi menghancurkan.
………. Lihat alamku, asri dan suci, lalu kami haramkan untuk disentuh oleh modernisasi.!!