Berita UtamaFeaturedPolitikTerbaru

Momentum Kehadiran Kembali Militer AS di Asia Tenggara

NUSANTARANEWS.CO – Serangan baru-baru ini terhadap polisi di Myanmar oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan pertempuran Marawi di Filipina yang melibatkan pasukan ISIS, telah menggambarkan bahwa gerakan militan bersenjata telah mulai menyebar ke Asia Tenggara, dan ini baru awalnya.

Menariknya, fenomena kekerasan bersenjata tersebut terjadi pada saat melemahnya Pax Americana belakangan ini. Seperti diketahui, AS dalam beberapa dekade telah mempertahankan kehadiran militernya di kawasan Asia Tenggara.

Bahkan secara terbuka, AS mensponsori terbentuknya pakta pertahanan Asia Tenggara bernama SEATO – didirikan pada tahun 1954 di Manila, Filipina – yang diinisiasi oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) John Foster Dulles. Delapan anggota SEATO: AS, Prancis, Inggris Raya, Australia, Selandia Baru, Filipina, Thailand, dan Pakistan.

Baca: Mencermati Runtuhnya Pax Americana 

Dalam “Pentagon Papers” yang dikeluarkan pada tahun 1969, terungkap bahwa kehadiran militer AS secara permanen di Asia Tenggara adalah sebagai upaya untuk membendung pengaruh komunisme, khususnya pengaruh komunisme Cina di Asia Tenggara. Perang Vietnam hanyalah salah satu bagian dari strategi yang lebih besar guna mengendalikan komunisme Cina.

Meski AS pada akhirnya kalah dalam Perang Vietnam, namun upaya menjadikan Vietnam sebagai kekuatan proxy guna melawan Beijing tampaknya akan tetap berlanjut. Hal itu dapat dilihat dari rencana kunjungan kapal Induk AS ke Vietnam pada tahun depan. Kunjungan tersebut akan menjadi momentum baru bagi AS, sejak berakhirnya Perang Vietnam pada 1975 – sekaligus menandai babak baru kehadiran militer AS di Asia Selatan.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Baca: Di Balik Rencana Kunjungan Kapal Induk AS ke Vietnam 

Bahkan baru-baru ini, sebuah kelompok pemikir kebijakan Amerika, Proyek untuk New American Century (PNAC) dalam makalah berjudul “Membangun Kembali Pertahanan Amerika” (PDF) tanpa malu-malu menyatakan niatnya untuk membangun kembali kehadiran militer AS secara permanen di Asia Tenggara. Dalam laporan tersebut juga menyatakan secara eksplisit bahwa: … sekarang adalah saatnya untuk meningkatkan kehadiran pasukan Amerika di Asia Tenggara.

Seperti diketahui, sejak penarikan militer dari Filipina pada tahun 1992, AS tidak memiliki lagi pangkalan militer permanen di Asia Tenggara. Kekuatan AS di Asia Timur Laut juga tidak dapat dioperasikan secara efektif dan cepat ke Asia Tenggara. Dengan kata lain, hiruk-pikuk di kawasan Asia Pasifik belakangan ini tidak terlepas dari kelalaian AS dalam satu dekade terakhir.

Sebagai catatan, pada tahun 2000, AS telah menjalankan sejumlah pemerintahan proxy di Asia Tenggara termasuk Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi di Myanmar, Thaksin Shinawatra di Thailand, dan Anwar Ibrahim di Malaysia. Namun, Anwar Ibrahim masuk penjara dan Thaksin Shinawatra melarikan diri dari Thailand untuk menghindari hukuman penjara.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Baca: Stabilitas Asia Dalam Bayang-bayang Ambisi Cina

Hanya Suu Kyi yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan sebagai hasil dari miliaran yang dikeluarkan oleh AS dan Eropa melalui National Endowment for Democracy (NED) dan berbagai anak perusahaan dan afiliasinya. Salah satu afiliasi ini – Institut Perdamaian AS – telah secara terbuka menyebutkan bagaimana AS pada hampir semua tingkat yang bisa dibayangkan sekarang mendikte hasil pembangunan Myanmar dari mengarahkan proses politiknya untuk mengatur ekonominya. Ini juga memberikan “bantuan teknis” tentang “kontra-terorisme.”

Di Filipina, upaya AS untuk membangun kembali kehadiran militernya dan menggunakan negara tersebut dalam konflik menghadapi Beijing telah mengalami banyak kemunduran. Tapi, baru-baru ini Washington telah menemukan kembali hubungannya dengan Manila – ketika tiba-tiba muncul pasukan ISIS yang menguasai seluruh kota di wilayah selatan negara tersebut.

Baca: Mewaspadai Proyek Jalur Sutra Maritim 

Demikian pula di Myanmar, para militan bersenjata tiba-tiba muncul dan beroperasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, tepat pada waktunya untuk mendorong kehadiran militer AS secara permanen di negara tersebut guna memberikan “bantuan teknis” mengenai “kontra-terorisme”. Militan bersenjata semacam itu, bagaimanapun tidak hanya bermunculan karena dipinggirkan – apalagi dengan kemampuan operasi militer dalam skala luas, seperti di Filipina, Thailand selatan, Malaysia, Indonesia, dan Myanmar – jelas memiliki dana yang besar, kapasitas organisasi, logistik, dan dukungan politik yang luar biasa.

Baca Juga:  Momentum Perkuat Silaturahmi Idul Fitri, PT PWU Jatim Gelar Halal Bihalal

Bila dikonfirmasi, memang dukungan semacam itu ada, dan sponsor utama yang paling masuk akal adalah sekutu AS tertua di Timur Tengah, yakni Arab Saudi. Kini kebijakan tidak bermoral tersebut telah menciptakan reaksi keras. Pemberontakan Muslim terbaru di dunia ini menempatkan militan bersenjata Rohingya yang didukung oleh Arab Saudi melawan pasukan keamanan Myanmar. Sementara pasukan pemerintah yang membalas dendam pada warga sipil, pada gilirannya berisiko menginspirasi Rohingya untuk bergabung dalam pertempuran. (Agus Setiawan)

Artikel Terkait:

 

Related Posts

1 of 56