EkonomiHukum

Modus Baru Nelayan Nakal yang Merugikan Perikanan Indonesia

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap sejumlah modus baru yang digunakan nelayan dalam mencari ikan yang merugikan negara dan lingkungan.

Modus tersebut di antaranya dilakukan dengan cara nelayan membangun kapal tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari KKP, adanya pemilik kapal yang menggunakan satu izin untuk lebih dari satu kapal, dan adanya pemilik kapal yang dengan sengaja menurunkan kapasitas tampung kapalnya supaya bisa mendapat izin operasi dengan lebih cepat dan mudah.

“Kami baru menemukan modus-modus baru tersebut sekitar 4-5 bulan lalu,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja di kantor KKP di Jakarta kemarin, ditulis Jumat (6/10/2017).

Daerah yang melakukan modus tersebut pun tersebar di berbagai penjuru Indonesia seperti Pantai Utara Jawa, pesisir Sumatera Utara, Merauke, Benoa, Bitung, dan beberapa tempat lainnya. Menurut Sjarief, modus-modus tersebut muncul akibat naiknya stok ikan di sejumlah perairan Indonesia. Hal itu terbukti dari laporan nelayan dan lalu lintas ikan.

“Stok ikan melimpah sehingga semangat usaha naik tapi sayang tidak diimbangi dengan pengetahuan yang memadai,” kata Sjarief.

Baca Juga:  Pemdes Jaddung Salurkan Bansos Beras 10 kg untuk 983 KPM Guna Meringankan Beban Ekonomi

DJPT telah menemukan sejumlah kapal ikan yang terindikasi dibangun tanpa mengantongi izin alokasi usaha penangkapan ikan terlebih dahulu. Padahal, sebelum membangun kapal, pemilik harus mendapatkan izin dari KKP dengan mengajukan permohonan kepada Sjarief selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.

Setelah kapal selesai dibangun, kapal harus memiliki bukti kepemilikan kapal dan Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan (SIUP), juga wajib terdaftar dalam buku induk kapal perikanan di tingkat pusat dan daerah. Namun nyatanya banyak yang melanggar.

“Mereka membuat kapal dulu baru mengurus izinnya belakangan,” kata Sjarief.

Akibatnya, KKP pun kesulitan dalam mendata berapa tepatnya jumlah kapal ikan di Indonesia dan ini bisa berdampak buruk. Sebab, jika jumlah kapal ikan yang melaut lebih besar dibanding jumlah ikan yang tersedia, maka jumlah ikan cenderung cepat berkurang sehingga mengancam perekonomian para nelayan.

Sjarief juga mengeluhkan adanya pemilik kapal yang menggunakan satu izin untuk dua bahkan lima kapal ikan yang berbeda sekaligus. Izin yang dimaksud ialah Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Ia mengibaratkan SIPI dan SIKPI tersebut seperti Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang lazim dimiliki oleh kendaraan roda dua dan empat. “Satu kendaraan punya satu STNK dan BPKB,” ucap Sjarief.

Baca Juga:  Tim Gabungan TNI dan KUPP Tahuna Gagalkan Penyelundupan Kosmetik Ilegal dari Filipina

Selain itu, ada juga kapal ikan yang baru dibangun tapi menggunakan izin lama yang tentunya tindakan ini termasuk ilegal. Menurut Sjarief, mark down ini sebetulnya masih terkait dengan perizinan.

KKP mewajibkan pemilik kapal dengan ukuran 30 gros ton (GT) atau lebih untuk mengurus dokumen kapalnya langsung ke kementerian. Sementara untuk ukuran yang di bawah 30 GT cukup mengurusnya di tingkat provinsi.

Namun karena mengurus dokumen di tingkat kementerian lebih lama dan sulit mengingat proses seleksi yang cukup ketat, maka banyak pemilik yang dengan sengaja melakukan mark down kapasitas aktual kapal supaya tidak perlu mengurus ke kementerian.

“Misal aslinya 30 GT tapi mereka bilang 29 GT, supaya bisa diurus di provinsi karena lebih cepat,” kata Sjarief.

Ketika ditanya apakah sebaiknya KKP mempermudah dan mempercepat proses seleksi dalam memberikan izin kepada kapal ikan berkapasitas 30 GT ke atas tersebut, ia menolak. Menurut Sjarief, kalau sistem perizinan dibuat lebih sederhana, maka kapal berkapasitas besar tersebut jumlahnya akan lebih banyak di Indonesia dan bisa melebihi jumlah stok ikan yang ada sehingga bisa berujung ke eksploitasi.

Baca Juga:  Gawat, Oknum Caleg Bawa Kabur Anak Usai Kalah Persidangan

Sjarief mengatakan bahwa DJPT akan meningkatkan kerjasama dengan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) dalam menindak para pelaku usaha yang mempraktikkan modus-modus ini. “Kami pun akan menyelidiki apakah ada unsur pidana juga di dalamnya,” jelas Sjarief.

Di samping itu, ia pun menegaskan bahwa pihaknya akan membuat sistem pencatatan berbasis desa pada 2018 nanti agar bisa mengumpulkan data yang lebih lengkap dan akurat terkait kondisi terkini perkapalan dan perikanan di Indonesia. Sistem pencatatan yang sekarang diterapkan ialah sistem pencatatan berbasis pelabuhan.

Sjarief mengatakan bahwa sistem pencatatan berbasis desa dapat mencatat data dengan lebih baik mengingat sifat usaha perikanan di Indonesia yang banyak dilakukan secara perorangan di desa-desa nelayan dan tidak terikat pada perusahaan atau korporasi. “Maka itu kita harus punya sistem pencatatan yang berbasis desa,” tutur Sjarief.

Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts