OpiniRubrika

Minimnya Dana di Tengah Ancaman Bencana

wisata bencana, berwisata, jokowi wisata, lokasi bencana, natalius pigai, pencitraan, nusantaranews
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi bencana tsunami Banten. (Foto: Twitter/Setkab)

MINIMNYA dana di tengah ancaman bencana. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda menyisakan kesedihan mendalam. Kesekian kalinya bencana alam melanda negeri ini. Sepanjang 2018 Indonesia tak pernah sepi dari bencana. Dari banjir, tanah longsor, gempa bumi hingga tsunami. Korban akibat tsunami di Selat Sunda semakin bertambah. BNPB mencatat jumlah korban meninggal sebanyak 430 orang, 1.459 mengalami luka-luka, dan 159 orang masih hilang. Kerugian material akibat tsunami ini diperkirakan lebih kecil dibandingkan dengan gempa NTB dan Sulawesi Tengah.

Terlepas dari bencana sebagai takdir dan ujian, negara seharusnya mengevaluasi sejauh mana antisipasi dan kesigapan dalam mitigasi bencana. Tsunami yang terjadi bahkan tak terdeteksi oleh BMKG.

Mulanya, BMKG mengira itu hanya gelombang tinggi. Setelah tsunami menerjang, barulah pernyataan itu diklarifikasi. Sebab, tak ada aktivitas tektonik yang menjadi penyebab terjadinya tsunami. BMKG merilis bahwa tsunami dipicu adanya longsoran bawah laut akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Minimnya Mitigasi

Indonesia sebagai wilayah rawan bencana sudah semestinya melakukan mitigasi secara maksimal. Sistem peringatan dini di Indonesia jauh dari kata memadai. Buktinya bisa dilihat alat pendeteksi tsunami banyak yang rusak bahkan belum tersedia. Seperti tsunami yang terjadi di Selat Sunda. Apalagi anggaran penanggulangan bencana malah mengalami penurunan dari tahun sebelumya. Dari Rp 760 miliar di 2018 menjadi hanya Rp 610 miliar saja di tahun depan. Mengurangi anggaran di tengah ancaman bencana meningkat sangatlah tidak tepat.

Hal yang sama dialami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di tahun depan. Lembaga ini mengelola beberapa teknologi BUOY yang digunakan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk deteksi dini potensi tsunami. Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Hammam Riza menyampaikan, anggaran yang digelontorkan ke instansinya tiap tahun tak cukup untuk perawatan BUOY. Termasuk, kata dia, untuk menerapkan teknologi pendeteksi gempa dan tsunami di bawah laut bernama Cable Based Tsunameter (CBT).

Baca Juga:  Jamin Kenyamanan dan Keselamatan Penumpang, Travel Gelap di Jawa Timur Perlu Ditertibkan

Pemerintah lebih mudah menggelontorkan dana untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana dibandingkan anggaran untuk mitigasi bencana. Padahal mitigasi sangat dibutuhkan untuk mencegah dan meminimalisir korban jiwa dan kerusakan yang lebih parah.

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah suatu rangkaian upaya yang dilakukan untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana, baik melalui pembangunan infrastruktur maupun memberikan kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi bencana. Mitigasi merupakan bentuk ikhtiar manusia dalam mengurang resiko dan dampak bencana lebih besar.

Diketahui, BMKG pernah menganggarkan pengadaan alat deteksi tsunami kepada pemerintah. Namun, anggaran tersebut dicoret karena dinilai bukan program strategis pemerintah. Padahal tersedianya sarana prasarana dalam memonitoring gejala alam sangat penting di negeri rawan bencana seperti Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak menjadi fokus perhatian pemerintah.

Selain itu, upaya mengedukasi masyarakat dalam menghadapi bencana juga belum optimal dilakukan. Lembaga-lembaga terkait malah saling lempar tudingan. Memberi indikasi bahwa komunikasi antar lembaga tidak berjalan dengan baik.

Baca Juga:  Sering Dikeluhkan Masyarakat, Golkar Minta Tambahan Sekolah SMA Baru di Surabaya

Ketika bencana terjadi, negara bukan sekadar hadir memberi bantuan materi, moral, dan logistik. Apalagi sampai berhutang untuk merekonstruksi bangunan yang rusak akibat bencana. Negara bertanggungjawab mengantisipasi ancaman bencana di masa mendatang. Oleh karena itu, mitigasi bencana adalah hal yang seharusnya diseriusi dan ditindaklanjuti.

Di sinilah negara berperan. Yakni, memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik kepada rakyat. Sebab, kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.

Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Related Posts

1 of 3,054