Hukum

Meski Dicegah KPK, Petinggi Lippo Group Ini Bisa Plesir ke Luar Negeri

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarief/Foto Fadilah / Nusantaranews
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarief/Foto Fadilah / Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Eddy Sindoro bak hilang ditelan bumi. Petinggi Lippo Group itu tak pernah sekalipun memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap kali dijadwalkan diperiksa dalam kasus suap Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) dengan tersangka Edy Nasution.

Rupanya Eddy tak pernah memenuhi panggilan penyidik KPK lantaran sedang plesir ke Luar Negeri (LN). Hal tersebut dibeberkan Wakil Ketua KPK Laode M Syrief saat diskusi santai bersama awak media di Auditorium Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa, (15/11/2016).

“Eddy Sindoro (Petinggi Lippo Group) tidak ada di Indonesia, posisi terakhirnya kita belum tahu,” beber Laode.

Diketahui presiden Komisaris PT Artha Pratama Anugrah itu (perusahaan yang disebut Jaksa KPK dalam dakwaan Doddy Aryanto Supeno) itu telah dicegah untuk plesie ke LN oleh KPK pada 28 April 2016. Pencegahan ke luar negeri terhadap Eddy itu sendiri untuk kepentingan penyidikan dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Saat ditanya apakah ada pihak-pihak yang membantu kaburnya Eddy dari Indonesia?

“Saya belum dengar informasi dari imigrasi siapa yang membantu pelarian dia,” jawab Laode.

Kendati demikian lanjut dia, Lembaga antirasuah tak akan membiarkan Eddy bebas begitu. Karenany penyidik melakukan upaya-upaya lain untuk bisa mengembalikan Eddy ke negeri ini. Namun dia tidak menjelaskan apa upaya yang dimaksud. Laode hanya menjelaskan bahwa seseorang yang tinggal di luar negeri itu membutuhkan visa, dan visa itu ada batas waktu maksimum penggunaannya.

Baca Juga:  Terkait Kasus Bimo Intimidasi Wartawan, Kabid Irba Dinas PSDA Cilacap Bantah Terlibat

“Semua orang untuk tinggal di luar negeri itu butuh visa dan visa ada batas maksimum. KPK berupaya dengan counter-counter KPK di luar untuk tindak itu,” tukasnya.

Dalam persidangan Doddy Aryanto Supeno, nama Eddy Sindoro memang kerap disebut perannya dalam kasus itu. Wresty Kristian Hesty, salah satu saksi yang dihadirkan ketika itu, mengaku mendapat perintah dari Eddy Sindoro untuk mengurus sejumlah perkara melalui Edy Nasution.

Dalam surat dakwaan Doddy Aryanto Supeno, Jaksa Penuntut Umum KPK menjelaskan secara rinci mengenai pemberian suap tersebut dan untuk apa terjadinya pemberian suap. Selain itu, jaksa juga membeberkan cara-cara yang dilakukan oleh para pengusaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan menyuap Edy Nasution.

Jumlah uang suap pertama adalah Rp150 juta dari dua termin perkara. Pertama, Rp100 juta untuk penundaan Aanmaning perkara Niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kymco. Aanmaning adalah tindakan peringatan dalam hukum perdata yang dalam arti singkatnya yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah dalam perkara agar melaksanakan putusan dengan sukarela.

Bahwa berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 1 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$11,1 juta (Rp147,3 miliar).

Terhadap putusan SIAC tersebut PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kymco pada 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Atas pendaftaran itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menindaklanjuti hal itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pemanggilan Aanmaning kepada PT MTP melalui Pengadilan Negeri Tangerang agar PT MTP hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2015, namun PT MTP tidak hadir.

Selanjutnya PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada tanggal 22 Desember 2015. Mengetahui adanya panggilan Aanmaning tersebut, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristia Hesti untuk mengupayakan penundaan Aanmaming.

Menindaklanjuti perintah itu, pada 14 Desember 2015 Wresti menemui Edy Nasution di kantornya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan Aanmaning PT MTP. Edy pun menyetujui menunda proses Aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.

Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro bahwa proses Aanmaning dapat ditunda sampai dengan bulan Januari 2016 dan untuk itu Edy Nasution meminta imbalan uang sebesar Rp100 juta, kemudian meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang akan diminta dari Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro menyetujuinya.

Pada 15 Desember 2015 Wresti menghubungi Hery Soegiarto untuk meminta uang sebesar Rp100 juta,. Selanjutnya Wresto menyuruh Wawas Sulistiawan untuk mengambil uang tersebut sekaligus menyerahkannya kepada terdakwa untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Setelah menerima uang dari Wawan, terdakwa pada tanggal 18 Desember 2015 melakukan pertemuan dengan Edy Nasution di Basement Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp100 juta.

Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.

Atas putusan Kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan bulan Februari 2016 memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada 16 Februari 2016 Wresti kembali menemui Edy Nasution di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah melewati batas waktu.

Atas permintaan dimaksud Edy awalnya tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat, sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya dan disetujui oleh Edy.

Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro, dimana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho. (Restu)

Related Posts

1 of 203