ArtikelEkonomi

Merekonstruksi Peran BUMN Strategis Berdasarkan Konstitusi Ekonomi

Gedung Kementerian BUMN. (Istimewa)
Gedung Kementerian BUMN. (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Pada tanggal 21 Agustus 2018, genap sudah 4 bulan 1 hari BUMN PT (Persero) Pertamina dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama. Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara kepada media massa pada akhir bulan Juli 2018, bahwa penetapan Direktur Utama Pertamina yang definitif tidak lebih dari 1×24 lagi, yang artinya pada tanggal 1 atau 2 Agustus sudah ada yang menjabat.

Tapi, faktanya sudah lebih dari 18×24 jam penetapan Dirut Pertamina tidak pernah dilakukan. Padahal, Menteri BUMN menyatakan telah mengajukan 3 nama kepada Presiden sebagai calon Direktur Utama Pertamina. Walaupun publik tidak mengetahui secara jelas dan pasti siapa nama calon dan rekam jejak (track record) calon Direktur Utama Pertamina, BUMN yang termasuk kategori A dan terbesar di Indonesia serta kebanggaan masyarakat Indonesia ini?

Cara pengajuan nama yang tidak transparan kepada publik ini akan membuka celah bagi terjadinya kembali pergantian Direksi yang tiba-tiba dan permainan atau transaksional tanpa alasan yang rasional serta mengabaikan alasan berdirinya BUMN bagi kepentingan orang banyak, serta bagi kemajuan ekonomi masa bangsa dan negara.

Tentu publik tak akan menerima, apalagi karyawan PT Pertamina secara internal dalam organisasi perusahaan BUMN terbesar ini yang berdampak buruk pada kinerja Pertamina, jika menempatkan Dirut yang tak tepat dan politis di Tahun Politik

Revisi Pasal Krusial

Posisi Direktur Utama Pertamina telah ditinggalkan oleh Elia Massa Manik pada tanggal 23 Juli 2018 dan kemudian sesuai keputusan RUPS pucuk pimpinan Pertamina dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dirut yaitu Nicke Widyawati yang juga merangkap sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-97/MBU/04/2018 tertanggal 20 April 2018, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Pertamina.

Baca Juga:  Dorong UMKM Binaan Ekspor ke Jepang, Bank UMKM Jatim Jalin Kerja Sama Atase Perdagangan RI di Tokyo

Tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar dalam mengelola dan memimpin sebuah perusahaan skala besar dan penyedia layanan produk yang menguasai hajat hidup orang banyak, apalagi dengan beberapa orang Direksi merangkap jabatan lain. Lebih dari itu adalah, status Pelaksana Tugas Direktur Utama ini tak dikenal secara umum dalam sebuah entitas sebuah perusahaan yang menjalankan bisnis, apalagi sampai lowong dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan.

Perusahaan bukanlah organisasi pelayanan publik secara total walaupun BUMN merupakan perintah konstitusi pasal 33 UUD 1945 yang mengelola cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. BUMN (sebagian) juga merupakan usaha yang berorientasi untuk mencari keuntungan (laba) agar mampu memberikan pemasukan (dividen) kepada negara.

Dalam konteks Pertamina sebagai BUMN dan sebagai perusahaan yang mencari keuntungan tentu tidaklah mudah melakukan pengelolaannya. Banyak kebijakan strategis yang harus diambil dan diputuskan untuk memampukan Pertamina bergerak cepat dalam peta persaingan bisnis atau usaha energi secara global yang tak mungkin dilakukan kewenangannya oleh Plt Dirut.

Terkesan Presiden menyederhanakan masalah yang saat ini dihadapi oleh Pertamina dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan kebijakan energi dan persaingannya di tengah pasar dunia berhadapan dengan korporasi swasta.

Fungsi RUPS di BUMN sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan harus dikembalikan pada perumusan kebijakan strategis korporasi dan pemilihan seorang Dirut yang definitif. Dan, untuk rencana penunjukkan Direktur Utama Pertamina yang ketiga kalinya ini, maka Presiden harus memperhatikan betul rekam jejak (track record) dan kompetensi calon-calon yang telah diajukan oleh Menteri BUMN ini.

Baca Juga:  Pembangunan KIHT: Investasi untuk Lapangan Kerja Berkelanjutan di Sumenep

Tanpa rekam jejak dan kompetensi yang jelas dalam bidang usaha energi, terutama minyak dan gas bumi, maka sama saja Pertamina dihadapkan pada permasalahan baru, sementara permasalahan klasik soal harga BBM, jaringan logistik BBM di wilayah yang masih terkendala, pembangunan kilang minyak dan gas yang baru serta insider trading dan mafia Migas belum terselesaikan.

Maka dari itu, Presiden sangat diharapkan publik agar tidak mengulangi kesalahan berikutnya dengan memilih seorang Dirut tanpa rekam jejak dan kompetensi di bidang minyak dan gas bumi. Tanpa mendikotomikan calon tersebut berasal dari luar atau dalam lingkungan Pertamina, maka kesolidan tim manajemen juga perlu diperhatikan secara serius.

Periodeisasi jabatan Direksi BUMN harus menjadi pertimbangan penting dalam RUPS agar jalannya organisasi perusahaan dapat menjawab tantangan dan permasalahan kekinian dan masa depan, seperti misalnya bagaimana mengelola proses dan mekanisme pengambilalihan wilayah kerja blok migas yang berakhir Kontrak Karyanya.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terutama Komisi VI diharapkan fokus pada penyelesaian revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang masih banyak terdapat pasal-pasal yang menimbulkan adanya ruang atau celah munculnya kepentingan tertentu dan juga terdapat konflik atas konstitusi pasal 33 UUD 1945. Terutama pada Pasal 14 dalam UU BUMN yang mengatur soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ini selain sangat otoriter di tangan Menteri BUMN, maka aspirasi karyawan BUMN juga belum terwakili.

Selain itu ada juga sebutan Kuasa Subtitusi yang alasan eksistensinya tak berdasar serta tugas pokok dan fungsinya tak dijelaskan. Yang paling rasional dan konstitusional adalah ruang RUPS harus lebih diperluas dengan memasukkan unsur-unsur pemangku kepentingan (stakeholders) lain di dalam materi revisi UU BUMN tersebut sehingga Presiden juga aman secara optimal dari ketidaktransparan dalam memilih dan menunjuk Direksi BUMN strategis, khususnya Pertamina.

Baca Juga:  Pembangunan Irigasi, Langkah Strategis Pemkab Sumenep untuk Petani Tembakau

Lebih logis dan konstitusional lagi dalam perspektif Usaha Bersama yang dinyatakan ayat 1 pasal 33 UUD 1945 dalam konteks BUMN, maka RUPS diganti istilahnya menjadi Rapat Umum Pemangku Kepentingan (RUPK) karena dana BUMN bukan dari saham orang per orang atau badan usaha tertentu sebagaimana korporasi swasta.

Kita mengharapkan sekali supaya Presiden tidak salah pilih lagi dalam menetapkan para Direksi BUMN, khususnya BUMN-BUMN strategis seperti Pertamina, PLN, Garuda Indonesia, Inalum, Krakatau Steel, Pelabuhan Indonesia, Angkasa Pura, Telkom, PTPN dan yang lainnya. Disamping itu penguatan kelembagaan BUMN dan Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang sesuai dan mengakomodasi ayat-ayat substantif dari konstitusi pasal 33 harus menjadi materi penting dan perhatian serius publik dalam proses revisi UU BUMN yang sedang berjalan di parlemen, termasuk juga revisi UU Koperasi.

Pasal-pasal kunci dan krusial, yaitu menyangkut soal Rapat Umum Pemegang Saham harus diperkuat menjadi Rapat Umum Pemangku Kepentingan (RUPK) yang lebih relevan, penghapusan posisi kuasa subtitusi yang dapat mendelegitimasi RUPK, persetujuan penjualan asset (harta) BUMN, Kinerja Manajemen (Direksi dan Komisaris), Periodeisasi atau Masa Jabatan Direksi dan Komisaris (termasuk proses dan mekanisme pengusulan, pemilihan, penetapan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris), Penggabungan, Akuisi dan Pembubaran BUMN yang harus melalui mekanisme konstitusional serta pelibatan DPR.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 3,074