Opini

Merawat Demokrasi Melalui Gerakan Sosial dan Penguatan Civil Society

arief poyuono, sistem demorkasi, keadilan, kejujuran, nusantaranews
Merawat Demokrasi Melalui Gerakan Sosial dan Penguatan Civil Society. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO – Jika diperhatikan dengan seksama, Indonesia dan Hong Kong baru saja mengalami kondisi yang hampir mirip. Baik Indonesia maupun Hong Kong telah melalui demonstrasi panjang akibat rancangan legislasi yang mengkhawatirkan rakyat. Demonstrasi di Indonesia diakibatkan oleh rencana pemerintah untuk melahirkan UU kontroversial. Demonstrasi di Indonesia karena adanya rencana RUU KPK, RKUHP dan UU lain yang dianggap bermasalah, lain halnya di Hong Kong yang diakibatkan oleh rencana pemerintah menerbitkan UU Ekstradisi.

Bagi negara yang menganut sistem demokrasi, demonstrasi merupakan hal yang lumrah sebagai wadah menyampaikan pendapat dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Di Indonesia sejarah demonstrasi selalu dimotori oleh gerakan mahasiswa, bentang sejarah Indonesia telah mencatat berbagai rangkaian demonstrasi tersebut mampu membawa ke arah perubahan yang signifikan dan sistemik dalam tata kelola kenegaraan kita, ambil contoh beberapa aksi massa yang dimotori oleh mahasiswa selepas kemerdekaan 1945, mulai dari aksi mahasiswa tahun 1966 yang mampu menumbangkan orde lama dan melahirkan orde baru, aksi tahun 1974 dengan peristiwa Malari, hingga yang terbesar adalah aksi massa mahasiswa tahun 1998 yang mampu menumbangkan orde lama dan menghasilakn reformasi, era yang menjamin kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan peran masyarakat sipil dalam bernegara.

Menyikapi revisi UU KPK tersebut di internal gerakan mahasiswa sendiri terjadi polarisasi, perbedaan di internal mahasiswa ini bisa kita lihat dari sikap OKP Cipayung Plus yang di dalamnya tergabung organisasi ekstra kehamasiswaan se-Indonesia melaksanakan konferensi ppers pada hari Rabu, 11 September 2019. Menanggapi revisi UU KPK ini, Kelompok Cipayung Plus yang terdiri dari PMII, GMNI, PMKRI, HMI, IMM, GMKI, KMHDI dan HIMAHBUDHI menyatakan sikap bahwa UU KPK yang sudah berlaku selama 17 Tahun sejak diresmikannya institusi KPK sudah tidak relevan lagi dan dipandang perlu untuk dievaluasi.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Ini berarti, di tengah protes mahasiswa yang menolak revisi UU KPK, kelompok Cipayung Plus justru menyetujui revisi UU tersebut. Gerakan mahasiswa yang melaksanakan aksi menolak revisi UU KPK lebih banyak dimotori oleh gabungan BEM baik dari kampus yang ada di Jakarta dan sekitarnya atau yang ada di daerah-daerah. Perbedaan sikap di internal mahasiswa ini penulis anggap wajar, mengingat setiap organisasi mahasiswa ini memiliki metode telaah yang berbeda satu dengan yang lainnya, baik organisasi ekstra kampus atau organisasi intra kampus, sesuai dengan hasil kajian dan ideologi perjuangan setiap organisasi kemahasiswaan tersebut,

Dilihat dari polanya, gerakan mahasiswa tahun 2019 ini sangatlah berbeda dengan gerakan mahasiswa yang terjadi di tahun 1998 yang telah melahirkan reformasi. Perbedaan itu minimal bisa kita lihat dari beberapa aspek sumberdaya gerakan. Pertama, dari sisi isu, gerakan mahasiswa 1998 membawa 6 tuntutan, gerakan mahasiswa 2019 membawa 7 desakan. Namun dapat dicermati gerakan 2019 tidak punya agenda prioritas: semua ingin dipenuhi segera.

Sejak dimulai 23 September 2019 di Gejayen Memanggil, disusul di Kota Malang dan kota besar lain gerakan ini cukup mampu menjadikan rally massa yang terus membesar di seantero negeri, namun gagal mencapai klimaksnya. Beberapa saat, lalu layu perlahan. Bahkan isu yang diangkat oleh gerakan mahasiswa di banyak daerah lebih advance dan bersifat segmented  (tidak populis). Kemungkinan, inilah yang menjadikan banyak pihak berpikir bahwa gerakan mahasiswa telah ditunggangi oleh kelompok elit tertentu.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Kedua, kepemimpinan patron ideologis, dalam gerakan mahasiswa tahun 2019 ini tidak ada patron yang terdeteksi menjadi sumber ideologi gerakan. Ini berbeda dengan dulu pada 1998, di mana ada sejumlah tokoh yang bisa disebut sebagai patron, seperti Nurcholish Madjid, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, dan lain-lain. Karena diformat leaderless resistance gerakan mahasiswa seakan kehilangan arah. Penulis tidak tahu, apakah selain propaganda yang massif melalui media sosial terjadi dari para aktor penggerak apakah ada koordinasi intensif dan terus menerus melakukan evaluasi. Penulis berpikir, tiadanya patron ideologis inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa mengalami  kerentanan karena tidak adanya langkah yang terukur dari setiap tahap gerakannya.

Ketiga, dalam gerakan kali ini tidak ada agenda mengganti rezim. Para pimpinan aksi berulang kali memberikan keterangan bahwa aksi meraka murni dari mahasiswa, dan tidak ada kaitannya dengan upaya penggulingan kekuasaan apalagi penggantian sistem. Ini menjadi pembeda dengan gerakan tahun 1998 yang jelas agendanya untuk menggulingkan rezim oligarki dan mengganti sistem kenegaraan.

Keempat, tersedianya teknologi informasi. Teknologi informasi telah memudahkan manusia dalam berkomunikasi atau saling bertukar informasi. Melalui teknologi informasi, jangankan sekedar mendalami materi atau isu aksi gerakan mahasiswa, membuat kejanggalan kejanggalan dalam skema politik dan ekonomi pun mampu dilakukan, bukan hanya di Indonesia, bahkan di dunia. Maka menganggap peserta aksi tidak memahami isi dari isu gerakan mahasiswa tersebut bisa jadi akan memunculkan sesat pikir.

Apabila kita membandingkan gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia dengan gerakan mahasiswa yang terjadi di Hong Kong dalam beberapa bulan ke belakang, sebenarnya pola yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda. Seperti halnya di Indonesia, demonstrasi di Hong Kong digunakan pula pola leaderless resistance, tidak adanya patron ideologis yang menjadu penggerak aksi. Dari sisi isu, demonstrasi di Hong Kong isunnya pun bersifat advance dan tidak populis, dengan tuntuntan agar pemerintah membatalkan RUU ekstradisi yang memungkinkan tersangka satu kasus diadili di negara lain, termasuk China.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Tidak hanya terjadi di Indonesia, aksi di Hong Kong juga dianggap ditunggangi oleh penumpang gelap (free rider). Bahkan muncul asumsi bahwa aksi tersebut merupakan agenda setting Amerika.

Dikarenakan aksi yang terus berlanjut selama berbulan-bulan, tuntutan massa aksi di Hong Kong menjadi berkembang, dari tuntutan pencabutan RUU Ekstradisi, melebar ke tuntutan hak pilih universal, juga penyelidikan terhadap dugaan kekerasan oleh polisi selama aksi demonstrasi berlangsung.

Dari sisi teori, menggunakan pendekatan teori mobilisasi sumberdaya, gerakan mahasiswa di Indonesia dan Hong Kong pada tahun 2019 ini termasuk dalam katagori gerakan sosial, sumberdaya yang dumaksud paling menonjol dalam penggunaan media sosial sebagai alat propaganda isu yang terbukti efektif untuk memobilisir massa aksi. Sumber daya kedua adalah isu yang dibawa berhasil menjadikan aksi gerakan mahasiswa rally di berbagai daerah di Indonesia dan berjalan dengan massif melibatkan ribuan bahkan jutaan massa aksi. Sumberdaya ketiga adalah kemampuan untuk memobilisir massa sehingga segmentasi aksi massa tidak hanya terhenti di mahasiswa melainkan mampu melibatkan siswa STM dan kelompok masyarakat lain terlibat dalam gerakan tersebut.

Oleh: Saman, Penulis Adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Related Posts

1 of 3,050