Berita terakhir, Setnov (Setya Novanto), ketum Golkar sudah memakai jaket oranye. Ia sudah resmi menjadi tahanan KPK, sudah pulih dari pingsannya. Kini ia resmi menghuni rutan KPK. Banyak pose di media, Setnov duduk di kursi roda, sempat melambaikan tangan.
Besar kemungkinan karena kasus hukumnya, Setnov akan non aktif sebagai ketum Golkar. Drama selanjutnya, akankah rapat pleno DPP Golkar menunjuk PLT (Pelaksana Tugas) ketua umum hingga jabatan ketum lama berakhir? Atau akan menyelenggarakan Munaslub memilh ketum baru definitif?
Untuk kemajuan Golkar, yang mana yang terbaik dari dua pilihan itu, jika data survei yang menjadi basis keputusannya?
Secara teknis organisasi berdasarkan konstitusi partai (AD/ART), memilih PLT ketum dalam rapat pleno DPP jauh lebih cepat, ringkas, dan murah. Menyelenggarakan Munaslub memerlukan tak hanya biaya yang lebih besar, tapi juga tinggi ketidak pastian politiknya, dan sulit terlaksana jika setia pada konstitusi partai.
Syarat Munaslub, ia hanya bisa terlaksana jika diminta atau disetujui 2/3 dari total DPD propinsi se-Indonesia. Tanpa dukungan 2/3 DPD 1, tak akan pernah ada munaslub.
Dukungan ini yang sulit diperoleh. Apalagi bagi ketua DPD 1, jika munaslub melahirkan ketum baru yang bersebrangan dengannya, posisi mereka selaku ketua DPD 1 bisa pula terancam. Calon kepala daerah pilkada 2018 yang sudah disepakati, bisa pula dikutak katik lagi.
Secara garis politik nasional, Munaslub juga lebih tak pasti. Golkar sekarang sudah berlabuh di sisi Presiden Jokowi. Dalam munaslub, jika ketum baru yang terpilih, perahu Golkar pun bisa berlabuh ke pulau lain, yang bahkan bersebrangan dengan Jokowi.
Besar kemungkinan, skenario PLT yang berlaku. Kecuali jika ada manuver besar dengan dana besar dan kekuatan politik besar yang bisa mengorkestrasi Munaslub.
Jelaslah membuat Munaslub memerlukan energi, kekuatan politik dan dana yang jauh lebih besar dibandingkan memilih PLT ketum melalui rapat pleno DPP.
Untuk citra Golkar sendiri, lebih baik PLT atau Munaslub? Yang sampai di telinga 250 juta populasi Indonesia nanti bukan siapa PLT ketum Golkar atau siapa ketum baru Golkar hasil Munaslub. Tapi apakah Golkar bisa keluar dengan branding baru.
Branding baru Golkar bisa lahir karena ada “big bang,”: ada program yang segar, yang berhubungan langsung dengan kepentingan mayoritas pemilih. Program itu tak hanya janji karena publik sudah bosan dan sering ditipu oleh janji. Tapi itu program yang merupakan success story aneka kepala daerah Golkar yang sukses dan akan dinasionalkan.
Big bang ini bisa tercipta jika Golkar mengisi kelemahan pemerintah Jokowi. Di samping aneka suksesnya, publik tak puas dengan aneka isu ekonomi pemerintah Jokowi, seperti: susahnya mencari pekerjaan, sembako yang semakin tak terjangkau, dan ketimpangan ekonomi.
Kelemahan pemerintah Jokowi harus diolah menjadi kekuatan partai Golkar dengan branding barunnya. Hanya dengan ini Golkar tumbuh lagi.
Jika data survei yang digunakan, apa saran yang paling praktis untuk Golkar? Secepatnya DPP buat rapat pleno dan pilih PLT ketua umum. Dan secepatnya pula rumuskan branding baru Golkar.
Lakukan branding baru itu secara massif agar berita soal Golkar tak didominasi oleh drama negatif Setya Novanto. Golkar partai paling tua dan paling berpengalaman. Secara kelembagaan, partai itu paling kuat. Sisanya, partai hanya perlu branding baru saja!
Oleh: Denny JA, Konsultan Politik