ArtikelKolomOpini

Menulis Ulang Desentralisasi Asimetrik dalam Paradigma Indonesia-Sentris

NUSANTARANEWS.CO – Indonesia-sentris merupakan paradigma baru yang diletakkan Presiden Joko Widodo dalam kerangka pembangunan nasional. Sejalan dengan paradigma Indonesia-sentris, Presiden Joko Widodo juga menempatkan pesan pentingnya desentralisasi asimetrik dalam narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015 – 2019. Dalam perjalanan hampir 3 tahun ini, bagaimana wajah desentralisasi asimetrik di Indonesia, dan sejauhmana desentralisasi asimetrik menjadi solusi dari Indonesia-sentris?

Indonesia penuh warna. Warna yang beragam sudah pasti memerlukan perhatian yang khusus di dalam mengelola keberbedaan itu. Mengelola dengan cara yang desentralistik merupakan pilihan kita bersama. Dan, desentralisasi asimetrik telah menjadi salah satu jalan untuk mengakui kekhususan dan keistimewaan berbagai daerah-daerah di Indonesia.

Paradigma Indonesia-sentris telah diletakkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai paradigma pembangunan nasional. Sebuah paradigma yang ingin mengubah, bahkan membongkar realitas pembangunan yang tertumpuk di Pulau Jawa, atau yang dilabeli dengan Jawa-sentris. Sumbangan dalam struktur ekonomi nasional yang dominan sebenarnya menandakan konsentrasi pembangunan di wilayah tertentu, dan sebaliknya sebagian wilayah tertinggal dan termarginal dalam konteks pembangunan.

Lantas, bagaimana kerangka desentralisasi asimetrik memberikan warna atas paradigma baru Indonesia – sentris ini?

Selama ini, desentralisasi asimetrik telah dikemas sebagai kebijakan administrasi pemerintahan, sekaligus sebagai kebijakan politik yang akomatif kepada sejumlah daerah-daerah di Indonesia. Konstitusi Indonesia, UUD 1945 memberikan ruang bagi penerapan desentralisasi asimetrik. Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) menyebutkan, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam perjalanan di era reformasi ini, Negara telah mensikapi beberapa daerah dengan paket kebijakan desentralisasi asimetrik. Pertama, Presiden B.J Habibie mensahkan UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kedua, Presiden Megawati Sukarnoputri mensahkan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensahkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UU No. 13/2012 perihal Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan demikian, tercermin 3 model desentralisasi asimetris yang digunakan Negara dalam mengelola daerah-daerah. Pertama, model negara dalam mengatasi konflik vertikal antara Pusat – Daerah seperti Aceh dan Papua. Kedua, model negara dalam menempatkan provinsi dengan fungsi danstatus ibukota negara, yakni DKI Jakarta. Ketiga, model negara dalam mengakui asal-usul suatu daerah dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tantangan dalam Mengelola Desentralisasi Asimetrik

Sejauhmana perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan desentralisasi asimetrik ini?

Pertama, soal penerapan UU No. 11/2006. Tantangan terbesar adalah sejauhmana Pusat membicarakan kewenangan dan urusan yang telah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, dan bagaimana kewenangan/urusan yang diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang diberlaku standar nasional.

Pada awal Juni 2017, elemen masyarakat sipil Aceh yang tergabung dalam DPP Suara Rakyat Aceh (DPP-SURA) mempertanyakan ke Pusat perihal konsistensi Pusat dan kelambanan Pusat dalam mengesahkan sejumlah kewenangan Aceh yang diatur dalam UUPA 2006. Dalam pandangan masyarakat sipil Aceh, kewenangan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah soal pembagian hasil Migas Aceh, pertanahan, soal batas wilayah, Komisi Penyelesaian Klaim, soal bendera dan lambang, serta kelembagaan Wali Nanggroe, serta sejumlah kewenangan lainnya.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Kedua, soal peran, status, dan beban dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.

Wacana perpindahan Ibukota yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal 2017 sebenarnya menandakan bahwa DKI Jakarta telah menanggung beban yang berat dalam berbagai hal, baik daya dukung lingkungan, penurunan air tanah, penurunan muka tanah, banjir, macet, dampak ekonomi-kesehatan-psikologis kemacetan maupun menumpuknya aktivitas ekonomi di wilayah DKI Jakarta.

Karena itu, pesan Presiden Joko Widodo kepada Bappenas untuk melakukan kajian perpindahan ibukota negara adalah sebuah pekerjaan rumah penting dalam melihat kembali peran dan fungsi DKI Jakarta, sebagaimana amanat dalam UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI.

Disini, akan terlihat bagaimana sikap Negara terhadap peran dan status DKI Jakarta. Apakah tetap memainkan peran sebagai Ibukota Negara, ataukah hanya sebagai pusat bisnis dan ekonomi dalam kerangka kota megapolitan di dunia.

Ataukah negara memindahkan Ibukota ke luar Jawa, apakah ke Kalimantan, Sulawesi atau bahkan ke Papua?

Ataukah opsi DKI Jakarta tetap sebagai Ibukota, dan hanya pusat administrasi pemerintahan saja yang digeser ke kawasan Jonggol, Bogor, sebagaimana Keppres Nomor 1/1997 tentang Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.

Ketiga, soal masa depan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat).

Banyak hal yang didiskusikan soal Otsus Papua ini. Kemendagri dan lembaga Kemitraaan (Parnership) pernah melakukan evaluasi atas UU Otsus yang menyoroti soal pelaksanaan kebijakan Otsus.

Demikian pula, soal persepsi Kementerian/Lembaga dalam memaknai roh UU Otsus dalam pelbagai kebijakan sektoral, kebijakan kewilayahan dan kebijakan anggaran yang sesuai konteks ke-papua-an.

Situasi geopolitik internasional yang mengangkat isu Papua baik soal pelanggaran HAM, tuduhan dari berbagai komunitas internasional ‘slow motion genocide’, Otsus yang gagal, dan desakan Dialog Jakarta – Papua, merupakan tantangan tersendiri dalam mengelola Papua.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah model desentralisasi asimetrik sebagaimana UU No. 21/2001 masih relevan menjawab berbagai soal pembangunan dan isu-isu politik internasional-domestik (inter-mestik) yang dihadapi/terjadi di Papua?

Adakah model baru atau desain baru dari desentralisasi asimetrik untuk Papua di tengah-tengah lingkungan strategis yang dinamis dan berubah ini? Dan, apakah model baru ini dapat menjadi jawaban resolusi konflik Papua? Lantas, adakah skenario Negara dalam mensikapi poin Dana Otsus 2 persen yang akan berakhir pada 2022 dan adalah skenario peran serta Papua dalam kebijakan perpanjangan investasi Freeport Indonesia pada tahun 2021? Sederet pekerjaan rumah yang menjadi tugas kita bersama.

Keempat, sikap negara dalam menerapkan aspek keistimewaan UU Keistimewaan DI Yogyakarta.

Belajar dari pengalaman proses formulasi UU Keistimewaan Yogyakarta yang dinamis pada tahun 2012, Presiden Joko Widodo pasti sangat berhati-hati dalam mensikapi penerapan UU Keistimewaan Yogyakarta.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Tim Pemantau Otsus dari DPR mencermati sejumlah isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian. Hal itu antara aspek pertanahan (agraria) dan sinkronisasi kebijakan Pusat dengan UU Keistimewaan Yogyakarta.

Aspek kepemimpinan daerah Aceh juga menjadi agenda menarik. Sudah pasti Negara menghargai proses di internal Keraton Ngayogyakarta, sebagaimana juga diatur dalam UU No. 13/2012. Perkembangan terakhir, pada 31 Agustus 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan ruang bagi perempuan untuk berhak menjadi pemimpin daerah.

Adakah Model Baru Desentralisasi Asimetrik?

Saat ini, Negara juga tidak bisa menutup mata dengan berbagai tuntutan yang bersumber dari aspirasi masyarakat.

Pertama, tuntutan Otonomi Khusus Bali untuk keadilan pariwisata.

Saat ini berkembang aspirasi agar Bali mendapatkan Otonomi Khusus bidang Kepariwisataan. Salah satu elemen masyarakat yakni Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menuntut Otsus Pariwisata. Harapannya, industri pariwisata harus berkontribusi terhadap pelestarian budaya Bali. Ada pandangan, baiknya pendapatan pajak di sektor pariwisata di Bali dikelola di Bali untuk pengembangan ekonomi masyarakat lokal Bali maupun pelestarian budaya Bali yang seringkali menyedot dana pribadi masyarakat Bali dalam berbagai prosesi Bali.

Tuntutan Bali ini pernah disampaikan pada tahun 2005 oleh tokoh-tokoh Bali. Intinya, desakan agar pendapatan sektor pariwisata di Bali yang mencapai ratusan milyar dapat juga dirasakan dan dikelola oleh Bali secara adil. Bahkan sejak Desember 2015, ada inisiasi publik Bali untuk mengumpulkan petisi yang ditujukan ke Presiden Joko Widodo soal Bali layak menjadi memperoleh otonomi khusus Bali.

Kedua, Kalimantan Timur menuntut keadilan melalui Otonomi Khusus Kalimantan Timur.

Saat ini Kalimantan Timur juga mendesak Pusat agar diberikan payung Otonomi Khusus. Dalam pandangan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek, alasannya adalah, potensi sumber daya alam Kalimantan Timur dikuras menjadi devisa negara, sementara pembangunan daerah Kalimantan Timur berjalan lamban. Sebelumnya, diawal tahun 2015, Gubernur Faroek menegaskan ke Pusat, “Kita sedang berjuang menuntut keadilan pusat untuk memberikan otonomi khusus bagi Kaltim. Sudah cukup lama kita bersabar dan sekarang saatnya kita bersatu dan lebih kompak. Mari bersama-sama berjuang demi rakyat Kaltim yang lebih sejahtera”. Selanjutnya, Gubernur Awang Faroek menjelaskan, “Perjuangan rakyat Kaltim menuntut Otsus akan lebih dititikberatkan pada ketidakadilan pusat, dimana Kaltim sebagai daerah penghasil devisa dari ekploitasi sumber daya alam menjadi penanggung risiko terbesar, sementara persentase pembagian ke daerah sangat tidak sebanding dengan luas Kaltim.”

Ketiga, desakan Otonomi Khusus Kelautan untuk Maluku.

Publik Maluku juga mendesak Pusat untuk memberikan ruang baru bagi Maluku dengan payung Otonomi Khusus. Direktur Eksekutif Archipelago Solidarity Foundation, Angelina Pattiasina menegaskan bahwa tuntutan untuk hak otonomi khusus kelautan bagi Maluku adalah sesuatu yang wajar dan semestinya diberikan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Maluku yang kini masuk wilayah empat besar termiskin dari 34 provinsi.

Dalam pandangan Pattiasina, selama ini pendapatan domestik regional bruto rendah karena kerap dihitung berdasarkan wilayah daratan dan jumlah penduduk dan itu tidak sesuia dengan kenyataan di Maluku.

Dalam pandangan Pattiasina, hak ulayat laut dikembalikan kepada Maluku. Karena, hanya satu provinsi yang memiliki hak ulayat yang disebut Petuanan di mana kepala daerah berkuasa hingga ke lautan. Namun, hak atas laut ini tidak ada lagi, demikian penjelasan Pattiasina.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Keempat, desakan Sultan Tidore dan kaum muda Maluku Utara menuntut Otonomi Khusus Maluku Kie Raha (Empat Kerajaan di Maluku Utara).

Sultan Tidore Husain Sjah menjelaskan bahwa 4 Kerajaan Di Maluku Utara telah berkontribuso besar kepada negara. Dalam pandangan Sultan Tidore, “Kalau Jogjakarta mendapat keistimewaan karena mereka pernah mengancam negeri ini dengan membuat referendum, kemudian Papua dengan Ancaman Operasi Papua Merdeka (OPM) dan Aceh dengan 99 batang emas dengan satu buah pesawat, kemudian diberikan istimewa, Lalu kita memberikan konstribusi sepertiga dari pada wilayah Republik Indonesia ini, kenapa itu tidak diberikan?.”

Bagi Sultan Tidore, Otsus Maluku bukanlah sesuatu yang mustahil karena hal ini dijamin dalam UUD 1945, dan aspirasi Otsus Maluku Utara ini dalam koridor NKRI.

Kelima, ada sejumlah aspirasi untuk Otonomi Khusus untuk Provinsi Kepulauan Riau dan Otonomi Khusus Provinsi Riau.

Bagi Riau, alasannya lebih mirip dengan Kalimantan Timur perihal keadilan dalam pembagian dana yang bersumber dari eksploitasi sumber daya alam di Riau, terutama minyak bumi dan gas.

Demikian pula, Gubernur Kepulauan Riau HM Sani yang mendorong pentingnya Otonomi Khusus Kepulauan Riau. Daratannya hanya 4 persen, sedangkan sisanya perairan. Dalam pandangan Gubernur HM Sani, kondisi ini menunjukkan potensi kelautan Kepri sangat besar, namun sayang hal tersebut belum mampu dikeola secara maksimal.

Menurut Gubernur HK Sani, “Hal ini dikarenakan kewenangan daerah untuk mengelola wilayah lautnya yang sangat terbatas. Kewenangan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan laut masih sangat dominan.”

Belum lagi dengan sejumlah alasan seperti Provinsi Kepri berbatasan dengan Singapura dan Malaysia sebagai pusat perdagangan internasional dan investasi. Demikian pula, dengan katakteristik wilayah yang memiliki 2.400 pulau dan 19 Pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.

Dari berbagai aspirasi daerah-daerah ini, memberikan pelajaran yag bermakna bagi negara.

Pertanyaannya, apakah ada model desentralisasi asimetris guna menyelesaikan soal kesenjangan sosial-ekonomi, kesenjangan antarwilayah dan kesenjangan fiskal Pusat – Daerah? Apakah desentralisasi asimetrik telah diterapkan dalam konteks pendekatan dan kebijakan sektoral di level Kementerian/Lembaga teknis?

Adakah model desentralisasi asimetrik untuk mengelola agenda perbatasan, pembagian fiskal pusat – daerah yang baru soal pariwisata, kelautan dan pajak, dan minyak bumi dan gas. Adakah strategi pengembangan daerah-daerah perairan yang berbeda dan spesifik kewilayahan. Demikian pula, adakah solusi untuk Maluku dan Maluku Utara dalam konteks historis, hak ulayat laut dan pengembangan sektor kelautan.

Artinya, sudah saatnya negara mengelola daerah-daerah yang beragam dengan model desentralisasi asimetrik yang lebih variatif dan komprehensif, tanpa terjebak dengan payung hukum otonomi khusus baru. Untuk itu, perlu terobosan yang think out of the box di luar regulasi nasional dalam menjawab aspirasi, desakan dan permasalahan pembangunan di daerah – daerah yang penuh warna.

Kini, 72 tahun Indonesia Merdeka, saatnya Indonesia Kerja Bersama untuk menulis ulang format desentralisasi asimetrik guna masa depan Indonesia Emas 2045.*

Penulis: Velix Wanggai, Doktor bidang ilmu hubungan internasional, pemerhati otonomi daerah

Related Posts