Ekonomi

Menteri LHK Diminta Transparan Soal Temuan BPK Tentang Kerusakan Lingkungan Oleh Freeport

Kerusakan Lingkungan yang Diakibatkan Aktifitas Freeport (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Akibat eksploitasi alam yang dilakukan PT Freeport menyebabkan sejumlah lingkungan di Papua mengalami kerusakan. Termasuk rusaknya kawasan hutan lindung. Ditaksir kerugiannya mencapai USD 13.592.299.294 atau sekitar Rp 185 triliun. Temuan ini disampaikan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI.

Untuk itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya untuk transparan dan terbuka terkait temuan BPK atas kerusakan lingkungan yang dilakukan PT Freeport yang mengabikatkan negara berpotensi merugi sebesar Rp 185 triliun.

Baca Juga:
Divestasi Saham Disebut Tenggelamkan Denda Freeport Sebesar 185 triliun
Selain Berpotensi Rugikan Negara, Pembelian Freeport Disebut Ada Perampokan Sistematis

Hal ini disampaikan Yusri Usman dalam surat terbuka akhir tahunnya, Minggu (30/12/2018) yang ditujukan kepada Kementerian LHK. Berikut keterangan lengkap surat terbutka Direktur CERI kepada Siti Nurbaya :

Dengan hormat, Ibu Menteri LHK sebagai pembantu Presiden yang secara UU paling bertanggung jawab disektor Lingkungan Hidup dan kawasan hutan terhadap semua kegiatan terkait, termasuk aktifitas pertambangan menjadi salah satu obyek yang perlu dibina, diawasi dan ditertibkan secara peraturan yang berlaku apabila ditemukan pelanggarannya.

Berdasarkan banyak temuan dari berbagai pihak sejak berproduksi 1974 sampai dengan 1994 PTFI telah membuang limbah melalui sungai Aghwagon menuju sungai Ajkwa, setelah pernah mengalami bencana ditahun 1994, barulah PTFI membangun tanggul penampungan limbah seluas 230 km2 disisi barat dan timur sungai Ajkwa yang dikenal (Modified Ajkwa Deposition Area/ModADA) atau ternyata masih kurang memadai temuan dari laporan LSM Jatam, Walhi, Konsultan independen Freeport (Parametrix), masyarakat setempat dan temuan resmi oleh BPKRI, termasuk penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai maupun kerusakan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang sekitar 230 juta metrik ton perharinya.

Baca Juga:  Pemerintah Desa Pragaan Daya Salurkan BLT DD Tahap Pertama untuk Tanggulangi Kemiskinan

Hasil audit BPK telah menemukan akibat aktifitas tambang PTFI telah menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sudah mencapai kawasan laut.

Masih dalam lanjutan laporan BPK menyatakan hasil perhitungan jasa ekosistem yang dikorbankan oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional) didapat hasil total potensi mencapai USD 13.592.299.294 atau sekitar Rp 185 triliun.

Padahal tahun 2006 BPK sudah melakukan audit yang menyeluruh dan memberikan rekomendasi perbaikan, termasuk disarankan pembuangan limbah dari tambang ke laut melalui pipa seperti fasilitas mengangkut konsentratnya, namun infonya selalu ditolak oleh PTFI dengan berbagai alasan tehnis dan tidak ekonomis.

Oleh karena berdasarkan 14 item hasil rekomendasi BPK tahun 2017 ada beberapa item yang merupakan tanggung jawab KLHK dalam penentuan perhitungan kerugian maupun tindakan yang harus dilakukan terhadap penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin pakai tentu merupakan pelanggaran berat yang bisa disanksi pidana menurut UU Kehutanan dan UU Lingkungan hidup.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Bahkan BPK dalam kesimpulan pada butir 9 tegas menyatakan “Pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian LHL atas Pengeloan Lingkungan PTFI belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.”

Mengingat di dalam isi Kontrak Karya tahun 1991 yang sudah disepakati oleh PT Freeport Indonesia mulai pasal 1 ayat 13 tentang pemahaman “Lingkungan Hidup” dan telah diatur khusus 3 butir di pasal 26 tentang kewajiban PTFI dalam mengelola lingkungan hidup sesuai undang undang dan peraturan peraturan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku sewaktu waktu di Indonesia.

Namun sayangnya penjelasan Ibu Menteri LHK di kantor BPK pada hari Kamis (20/12/2018) hanya menetapkan denda terhadap izin pinjam pakai kawasan hutan lindung hanya Rp 460 miliar, dan mencabut kembali PERMEN LHK nomor 175 tahun 2018 tentang Pengelolaan B3 (Bahan Beracun Berbahaya) diduga hanya atas keberatan surat dari PT Freeport Indonesia.

Begitu juga didapat informasi bahwa belum adanya persetujuan dokumen AMDAL dari Komisi Pusat terhadap aktifitas tambang bawah tanah PTFI, tetapi IUPK telah diterbitkan oleh Menteri ESDM.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Gelar Gebyar Bazar Ramadhan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat

Diduga banyak kebijakan kebijakan yang telah dilakukan oleh pejabat terkait terhadap PTFI telah melanggar UU dan Peraturan berlaku, selain kebijakan ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum dibidang pengelolaan sumber daya alam , ternyata telah bertindak tidak adil terhadap pelaku industri lainnya, dan yang teramat dikwatirkan adalah kebijakan KLH tidak menentukan kerugian negara atas temuan audit BPK akan berpotensi dosa dosa kerusakan lingkungan oleh PTFI sejak berproduksi tahun 1974 sd 2018 akan diwariskan kepada PT Inalum tanggung renteng biaya menanggulanginya sesuai porsi saham 51%, ini namanya cilaka 13.

Oleh karena itu, mohon kiranya Ibu Menteri LHK yang sangat saya hormati berkenan menjelaskan ke publik semua pertimbangan yang sudah diambil terkait temuan BPK terhadap PTFI selambatnya lambatnya pada 10 Januari 2019.

Karena saya bersama kawan kawan dari koalisi penyelamatan sumber daya alam sesuai konstitusi sudah sepakat berencana akan melaporkan dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat negara yang berpotensi merugikan negara ke KPK terkait temuan audit BPK terhadap pelanggaran lingkungan hidup oleh PT Freeport Indonesia.

Pewarta: Romandhon
Editor: Alya Karen

Related Posts

1 of 3,073