NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sudahkah para pemimpin, petinggi dan pejabat negara dalam mengurusi Indonesia di berbagai aspek kehidupan didasarkan dengan Pancasila? Sudahkah laku mereka sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang sepanjang hayat diyakini sebagai ideologi dasar negara?
Itu pertanyaan reflektif. Nyatanya era reformasi sudah berjalan hampir satu generasi. “Sudah hampir 20 tahun reformasi kita jalani dengan penuh kesadaran dan ketabahan di atas penderitaan dan ketimpangan serta ketidakadilan dalam kehidupan kita,” tulis Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno dalam sebuah makalah dengan judul ‘Pemantapan Nilai-nilai Pancasila dan Spirit Kebangsaan dalam Pengembangan SDM dan Kepemimpinan Nasional,’ seperti dikutip redaksi, Jakarta, Kamis (1/6/2017).
Pekik kemenangan reformasi masih menggema sekaligus menjadi memori rakyat Indonesia. Tapi sayang, euforia kemenangan karena menjadi demokratis nyaris saja membuat bangsa Indonesia terbuka tanpa batas.
“Merubah sistem demokrasi Pancasila menjadi demokrasi liberal dengan melepaskan semua belenggu perekat dalam alam ideologi Pancasila; mengubur sendiri semua tata nilai, ideologi, budaya dan etika manusia Pancasilais dengan membuang semua ajaran dan adab Pancasila dengan alasan terlalu dogmatis, ideologi tertutup dan penyangga kekuasaan,” tulisnya lagi.
Direfleksikan, tata nilai dan unsur-unsur filsafati Pancasila telah ditinggalkan dengan mengadopsi nilai-nilai liberal kapitalis mengelola sistem politik yang korup dan transaksional. “Bangsa Indonesia dihilangkan jati dirinya, akan dimusnahkan eksistensinya menuju suatu penjajahan bentuk baru,” sambungnya.
Lebih lanjut, Pemilu dan Pilkada langsung sebagai titipan kaum liberalis telah menghasilkan pimpinan yang korup dan tidak mampu, tanpa integritas diri dengan menghamburkan biaya yang besar. Penyelenggara negara yang sarat dengan intrik, hasutan dan adu domba serta selalu dibayangi terjadinya konflik horizontal.
“Kedaulatan rakyat yang direpresentasikan dalam MPR sebagai lembaga tertinggi, wadah dari seluruh komponen bangsa, telah dirubah dan dijadikan milik para partai politik yang transaksional,” lanjutnya.
Kemudian demokrasi, keterbukaan, kebebasan dan HAM yang terbuka ala demokrasi liberal telah membuka pintu untuk masuknya ancaman komunisme, radikalisme dan liberalisme. “Hal-hal yang justru dihindarkan oleh Demokrasi Pancasila,” tegasnya.
Wapres RI ke-6 menghimbau agar Pancasila dijadikan sebagai suatu dielaktika yang positif, yang mampu berjalan dengan harmonis mengikuti perubahan dan perbaharuan dalam aktualisasi nilai-nilai Pancasila agar tetap terjaga akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila di dalam era globalisasi.
“Pengakuan dunia terhadap nilai-nilai universal yang terkandung dalam falsafah dan ideologi Pancasila, serta mendorong segenap elemen bangsa, para tokoh intelektual, agamawan agar tetap berada di garda terdepan untuk bertindak dan berperilaku sebagai model pengamalan Pancasila,” beliau melanjutkan.
Untuk itu, sedikitnya terdapat lima poin krusial untuk memelihara dan mengembangkan Pancasila sebagai warisan luhur para pendiri bangsa. Pertama, mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Kedua, mengembangkan Pancasila sebagai ilmu. Ketiga, mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dan koherensi dengan produk perundangan, koherensi antar sila dan korespondensi dengan realitas sosial. Keempat, menjadikan Pancasila yang melayani kepentingan horizontal. Dan kelima, menjadikan Pancasila sebagai alat kritik kebijakan negara.
Editor: Eriec Dieda