NUSANTARANEWS.CO – Bertambahnya anggaran militer di negara-negara Asia Timur menurut Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) UI M. Ibrahim Hamdani berpotensi menimbulkan konflik terbuka, bahkan perang antar negara.
“Jika perang terbuka itu sampai terjadi, tentu saja pembangunan berkelanjutan dalam berbagai bidang akan terhambat dan menurunkan kualitas sumber daya manusia di Asia Timur akibat banyaknya pengungsi dan korban perang,” tulis dia dalam keterangannya kepada Nusantaranews.co, Ahad (26/11/2017)
Dirinya mengajak semua pihak belajar dari konflik Suriah antara pemerintah dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di satu sisi, dan kelompok oposisi Free Syrian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah di sisi lain.
Dirinya menyebut, kelompok-kelompok ini juga terlibat konflik dengan Pasukan Milisi Kurdi atau Yekîneyên Parastina Gel (YPG), dan Pasukan Demokratik Suriah atau Syrian Democratic Front (SDF).
“Berbagai konflik ini telah memporak-porandakan berbagai fasilitas umum yang ada di Suriah, baik sandang, pangan, maupun papan,” sambungnya.
Kualitas dan harapan hidup rakyat Suriah pun, jelasnya, menurun drastis seiring dengan berlarut-larutnya konflik Suriah.
Apalagi negara-negara besar seperti China, Iran, Amerika Serikat, Rusia, dan Turki ikut terseret arus pusaran konflik di Suriah sehingga semakin menjauhkan negara itu dari harapan terwujudnya pembangunan berkelanjutan di segala bidang secara berkelanjutan.
Di sisi lain, konflik antara negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS), dengan Korea Utara semakin memanas akhir-akhir ini. Perang kata-kata bernada saling ejek antara Presiden AS, Donald Trump, dengan Presiden Korea Utara, Kim Jong Un, membuat negara-negara di kawasan Asia Timur, terutama Kekaisaran Jepang, Republik Rakyat China (RT)RC), dan Korea Selatan, meningkatkan anggaran militer untuk memperkuat armada lautnya.
Bahkan, latihan militer pun semakin sering dilakukan dengan alasan untuk mempertahankan kedaulatan negara dari apa yang mereka sebut ancaman senjata rudal dan nuklir Korea Utara. Daya ledak dan jelajah Rudal Taepodong II yang semakin jauh dan kuat turut memperbesar ancaman itu.
Sebaliknya, RRC pun tetap berkomitmen untuk membantu sekutu tradisionalnya, Korea Utata, seraya tetap mengimbau semua pihak, khususnya Korea Utara, untuk mempertahankan stabilitas keamanan regional Asia Timur dan masing-masing pihak untuk menahan diri. (*)
Editor: Romandhon