Ekonomi

Meningkatkan Produksi dan Mengurangi Impor Dinilai Tepat Untuk Menekan Defisit Migas

Pihak Asing kuasai 80 persen lahan migas Indonesia. Foto Istimewa
Pihak Asing kuasai 80 persen lahan migas Indonesia. (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid A mengatakan cara terbaik untuk mengatasi defisit migas saat ini adalah meningkatkan produksi dan mengurangi impor. INDEF memperkirakan pada akhir 2019, defisit migas akan tembus di atas angka 10 miliar US$.

Tauhid menjelaskan, defisit migas pada dasarnya tidak bisa dihindari oleh Indonesia, manakala kebutuhan migas jauh lebih tinggi dibandingkan produksi, khususnya sejak tahun 2008 hingga saat ini. Puncaknya pada tahun 2014 lalu, dimana defisit migas mencapai 13,4 miliar US$ dan pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai 4,78 milyar US$.

“Jumlah periode ini dibandingkan dengan periode Januari-Juni 2018 yang sebesar 5,61 miliar US$ atau telah turun 14,88%. Meski demikian, melihat perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga akhir tahun 2019 akan tembuh di atas 10 miliar US$,” ujar Tauhid A dalam diskusi online bertajuk Problem Defisit Migas dan PR ke Depan yang diadakan INDEF, pada Minggu (28/7/2019).

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

Ini artinya lanjut dia, defisit migas akan terus terjadi sepanjang produksi migas nasional tetap rendah, sementara kebutuhan terus meningkat dengan semakin besarnya pertumbuhan penduduk, baik pemanfaatannya untuk kendaraan bermotor, rumah tangga maupun industri.

“Untuk menekan defisit tersebut, di luar soal harga ICP dan nilai tukar US$, maka salah satu kuncinya adalah meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor,” ungkapnya.

Pertama, peningkatan produksi tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode 2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split. Namun demikian, seluruh blok tersebut baru akan bisa berproduksi minimal 7 tahun sejak eksplorasi dimulai.

“Apalagi belum tentu seluruh blok tersebut dapat menghasilkan, mengingat terdapat peluang gagal juga,” sambungnya.

Namun demikian lanjut Tauhid, jangka menengah adalah mengembangan refinery plant, mengingat hampir sebagian impor migas nasional yakni 25-26 juta ton dalam bentuk hasil minyak olahan.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

“Artinya, kita punya peluang dari ekspor minyak mentah kita yang berkisar 15 juta ton dapat diolah di dalam negeri ketimbang di ekspor kemudian masuk ke dalam negeri dalam bentuk hasil minyak olahan. Termasuk mengolah kurang lebih 17 juta ton impor minyak mentah,” jelasnya.

Karena itu, perlunya pemerintah serius menangani ini mengintat refenery unit (RU) yang dimiliki Pertamina masih terbatas, baik yang berada di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim.

Kedua, mengurangi impor. Salah satunya solar. Tentu saja penghentian impor solar juga salah satu kunci, termasuk penggunaan biodesel B30 untuk ke depannya.

“Namun ini akan berhasil apabila industri juga turut mendukung, seperti peralihan industri ataupun kendaraan otomotif yang adapat adaptif menggunakan B30 tersebut mengingat tidak semua mesin dapat menggunakan B30. Jangan sampai B30 digunakan namun terlampau mahal investasi untuk mesin-mesin baru,” ujarnya.

Mengenai perkembangan impor migas, Tauhid menyebutnya lebih dominan pada nilai impornya ketimbang volume impornya. Hal ini terlihat bahwa volume impor tetap pada angka 49-50 juta ton pada periode 2013 hingga 2018 namun nilai impornya sangat bervariasi dimana pada tahun 2013, nilai impor berada pada 45,26 milyar US$ menjadi 29,8 milyar US$ (2018).

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

“Ini artinya bahwa faktor harga minyak mentah (USD/barrel) dan nilai tukar rupiah terhadap US$ menjadi faktor penentu naik turunnya nilai impor yang pada gilirannya menjadi faktor penentu defisit migas dapat melonjak naik maupun turun,” kata dia.

Dengan demikian, apabila pada tahun 2019 diproyeksikan harga minyak mentah hanya bergeser sebesar 66-67 US$/barrel dengan volume impor yang stabil pada kisaran 50 juta ton, maka nilai impor migas pada tahun 2019 akan mencapai 47-48 miliar US$ atau naik sedikit dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 47,04 miliar US$.

Pewarta: Romandhon
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,142