OpiniPolitik

Menilik Rasionalitas Politik di Indonesia

POLITIK adalah salah satu bagian dari sistem kebudayaan, di samping ekonomi, teknologi, seni dan agama. Ada negara yang memandang keikutsertaan setiap manusia dalam penggunaan kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama sebagai suatu hal yang baik, ada juga yang memandang itu justru sebaliknya. Negara yang memandangnya buruk lazim dikategorikan sebagai negara oligarki, sebaliknya negara yang memandangnya baik dikategorikan sebagai negara demokrasi.

Suatu negara pantas disebut negara demokrasi apabila ia mampu mengundang partisipasi warga negara setiap kali hendak mengambil keputusan yang akan mempengaruhi jalannya kehidupan bersama. Ringkasnya demokrasi ada apabila ada partisipasi. Partisipasi ini berbentuk tuntutan dan dukungan, tapi bisa juga kontrol atau pengawasan. dan hasil dari partisipasi melahirkan sebuah sistem dan mekanisme.

Dalam perjalanannya, kondisi politik di Indonesia dewasa ini seperti sedang mendominasi wacana di media. Layaknya gula yang sedang di kelilingi semut, seperti itulah media yang memberitakan kondisi politik di Indonesia. Tulisan ini tersusun tidak bermaksud untuk terlibat di dalamnya mengenai perpolitikan, tetapi penulis berharap sajian yang hendak dituangkan dapat menjaga elektabilitas nilai kebenaran.

Baca Juga:  LSN Effect di Pemilu 2024, Prabowo-Gibran dan Gerindra Jadi Jawara di Jawa Timur

Dari hasil perhelatan pemikiran yang disajikan oleh Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta (IKA PMII Jakarta) mengenai “Politik Indonesia: Antara Rasionalitas Politik atau Oligarki-Feodalistik” penulis menghasilkan beberapa resume.

Menurut Muhammad Yusuf Kosim selaku Direktur Periskop Data/Pengamat Politik, terciptanya oligarki dan feodalistik disebabkan karena tidak adanya undang-undang sebagai pembatas. Undang-undang melegitimasikan segala kepentingan. Sebagaimana tercatat dalam undang-undang tahun 2013 nomor 12, yang menjelaskan bahwa calon pemilu yang hendak berada dalam arena kontestasi mesti didukung sekurang-kurangnya 15% dari golongan partai.

Senada dengan yang dikatakan oleh Kurnia Purnama sebagai Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama mengatakan, tidak ada undang-undang yang tidak bersumber dari pemodal. Maka kondisi politik di Indonesia saat ini jelas memunculkan sisi feodalistik kapitalis, di mana struktur pendelegasian sosial politik yang nantinya akan dikendalikan oleh kaum-kaum pemodal sebagai bentuk kewenangan.

Lanjutnya, agama pun ikut berperan besar dalam ruang feodal. Sebab bisa dikatakan, agama adalah alat yang mustajab dalam mengeluarkan fatwa. Dan saat ini Indonesia masih mengandung gaya otoritas tradisional. Sebagaimana letak sentralistik akan secara terstruktur menggunakan tingkat kepengaruhannya untuk menjaga kekuasaan otoritas ditubuh keturunan.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Hemat penulis, perkembangan kehidupan politis di tatanan sosial sangatlah dinamis. Mengingat pengaruhnya sanagt menginterfensi setiap gerak-gerik kehidupan sosial yang berhubungan dengan aspek agama, hukum dan ekonomi. Dalam hal ini sifat politis tidak seharusnya diartikan sebagai subyektifitas kepentingan ataupun paradigm yang menguntungkan kearah para elit politik. Karenanya pemahaman politik sebagai makna harus dapat dikembangkan dari arah tekstual ke arah kontekstual.

Penulis: Robiatul Adawiyah, Aktivis Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jakarta

Related Posts

No Content Available