KolomOpini

MENGURAI KEMBALI ARTI POLITIK

Mengurai Kembali Arti Politik
Mengurai Kembali Arti Politik

 

Mengurai Kembali Arti Politik

Perbedaan perspektif mengenai pengertian politik baik secara praksis maupun substantif telah menjadi fenomena keseharian yang selalu kita alami

Oleh: Agung Kresna Bayu

Selama ini, pemahaman mengenai “politik” di tanah air lebih banyak dibentuk oleh media – yang secara terus menerus membangun pengertian politik pada platform kekuasaan dan elit politik.

Pertujukkan perbedaan pendapat dan pertarungan kepentingan politik menjadi suguhan nikmat yang disajikan oleh media cetak maupun elektronik – sehingga tidak salah jika kemudian kebanyakan masyarakat membangun pemahamannya mengenai politik selalu terkait dengan kebencian, kepentingan, korupsi dan kekuasaan – yang pada ujungnya dapat menimbulkan sikap apatis terhadap politik.

Lalu apakah yang dimaksud dengan politik itu sesungguhnya? Pertanyaan ini menjadi refleksi kita bersama untuk kembali mempertanyakan ulang soal pemahaman kita tentang politik, sebab seperti yang telah disebutkan diatas – pemahaman kita baik secara sadar maupun tidak sadar terbentuk oleh sebuah proses pendifinisian yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau instutusi melalui media massa.

Bila kita telusuri, kata politik berasal dari Bahasa Yunani politika yang berarti urusan masyarakat. Sumber lain berargumen kata politik berasal bahasa Yunani polis, yang berarti kota. Selain itu, arti kata politik dari berbagai bahasa dunia juga memiliki beragam penafsiran. Dalam Bahasa Inggris, politics berarti aktivitas pemerintahan, sedangkan dalam Bahasa Arab—siyasah—yang berarti siasat, dan KBBI sendiri mengartikan politik sebagai pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan. Hal ini memberikan gambaran bahwa sumber kata politik sendiri memiliki berbagai versi, sehingga tidak ada kata tunggal yang pasti untuk mengurai akar politik itu sendiri.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Berdasarkan uraian kata “politik” dari berbagai bahasa dunia di atas memberikan kita pemahaman bahwa ada beberapa perspektif yang berbeda dalam mengartikan kata politik yang bersumber dari berbagai pengalaman dan sejarah yang membentuknya.

Pemahaman ini menjadi penting bagi kita bahwa dibalik setiap kata terdapat relasi kekuasaan yang beroperasi untuk membangun arti dan definisinya. Oleh karena itu sering kita jumpai ungkapan bahwa “kata adalah senjata”. Hal ini membuat kita harus berhati-hati memilih kata serta memaknai setiap kata yang memiliki relasi sosial, sebab semua relasi kata tersebut sangat berhubungan dengan realitas kehidupan keseharian kita.

Media selalu mewartakan opini tentang politik, misal soal “operasi tangkap tangan pejabat publik”, “dinasti politik lokal”, dll. Pada sisi lain, juga memberitakan tentang keberhasilan politisi dan partai politik tertentu dalam pilkada, dsb. Contoh-contoh tersebut pada akhirnya memberikan gambaran kepada masyarakat soal politik yang selalu berkelindan dengan kekuasaan dan kepentingan. Sehingga nalar masyarakat sering bermuara pada pernyataan “dari kawan menjadi lawan atau dari lawan menjadi kawan”. Sedangkan, pada institusi pendidikan politik digambarkan lekat dengan kehidupan masyarakat demokrasi sebagai wujud ideal kondisi masyarakat yang “sehat”.

Bahwa media selalu mengidentikan kata politik pada aktor atau institusi tertentu, sehingga akhirnya terframing sebuah pemahaman bahwa politik itu selalu melekat dengan aktor dan institusinya. Hal ini juga berlaku pada konsep kekuasaan, dimana selalu diidentikan dan dilekatkan pada pemimpin serta lembaga negara. Padahal, kekuasaan sendiri juga lekat pada setiap relasi keseharian kita saat berhubungan dengan orang lain. Perlu kita sadari bersama, bahwa pemahaman demikian telah merasuk pada pikiran dan akal kita yang telah lama dibentuk dan selalu didoktrinkan melalui berbagai media dan institusi pembentuk.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Kata politik sendiri seringkali juga menjadi imbuhan berbagai kata lainnya, seperti politik agama, politik pendidikan, politik ekonomi, yang berusaha memberikan pemahaman politik secara agama, pendidikan, dan ekonomi. Tetapi, saat kata imbuhan tersebut diletakan dibelakang seperti, agama politik, pendidikan politik, dan ekonomi politik memberikan perbedaan rasa dan subtansi yang ada pada masing-masing aspek tersebut. Poin ini kembali menegaskan pada kita bersama, bahwa kata itu sendiri sejatihnya adalah simbol paling dekat untuk melihat beroperasi relasi kuasa yang selalu berkontestasi dalam setiap relasi kehidupan.

Harapan akan adanya partisipasi aktif politik warga negara, aktivasi politik kewargaan, dan pendidikan politik kaum muda merupakan ihktiar yang sering kita jumpai pada berbagai kegiatan dan program di Indonesia. Namun, perlu kita sadari bersama bahwa terkadang makna politik itu sendiri telah diringkus oleh berbagai kekuasaan dominan dan hanya sebatas sampiran atau klaim, sehingga kekayaan arti kata politik sendiri berujung pada pemahaman tunggal seperti yang digambarkan media selama ini.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Sebagain dari kita mungkin telah jengah dengan fenomena brutal tentang politik yang disajikan oleh media setiap hari. Padahal politik itu sendiri mengandung makna mulia karena bertujuan mengatur kehidupan umat manusia atau sebuah entitas bangsa. Pemerkosaan arti politik oleh kelompok kepentingan yang dominan menjadi hambatan nyata yang menghalangi terbangunnya cita-cita kemuliaan manusia dan kemaslahatan bersama.

Tapi kita tidak boleh menyerah, tetap harus menumbuhkan spirit tidak kenal lelah dalam mengawal nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai negosiasi, relasi, dan lobi. Disinilah sejatihnya esensi dari politik itu hadir. Bahwa politik bukanlah definisi tunggal atau klaim tertentu – tapi lebih kepada relasi dan dinamika keseharian yang kita alami untuk mewujdukan landasan nilai-nilai kemanusiaan. (ed. Banyu)

Tentang penulis. Agung Kresna Bayu lahir di Malang pada tanggal 6 Juni 1997, Ia merupakan alumnus Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Dalam menyelesaikan studi strata satunya, Ia menulis skripsi berjudul “Merajut Indonesia dari Cinta Beda Agama; Tinjauan Nalar Kritis atas Pernikahan Beda Agama di Indonesia”. Selama menjadi mahasiswa hingga saat ini terlibat aktif di berbagai kegiatan penelitian dan kajian terkait demokrasi-pluralisme, pembangunan daerah, dan kebijakan publik. Minat studinya berkaitan dengan isu-isu soal sosiologi-politik, konflik-perdamaian, dan pendidikan. Selain aktif di berbagai kerja-kerja penelitian dan konsultan, ia juga tergabung dalam gerakan Critical Pedagogy for Future Indonesia (CPI) dan dapat dihubungi melalui: [email protected] dan Facebook: Agung Kresna Bayu

Related Posts

1 of 3,049