NUSANTARANEWS.CO – Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Pol Tito Karnavian menginginkan sebuah konsep baru bernama Pemolisian Demokrasi (Democratic Policing) atau demokrasi polisi kepada siswa Sekolah Pimpinan Tinggi (Sespimti) dan Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen) Polisi.
Gagasan tentang Democratic Policing saat ini sudah dibuat bukunya dan akan mulai dikembangkan di Lembaga Pendidikan & Pelatihan (Lemdiklat) Polri. Nantinya, buku tersebut akan menjadi pegangan wajib siswa Sespimti Polri.
Polri membentuk sebuah tim dalam mengimplementasikan gagasan pemolisian demokrasi. Dosen, pakar dan sejumlah elemen sipil seperti Profesor Hermawan Sulistyo, Ir Djuni Thamrin dan Dr Adriana Elizabeth didapuk sebagai panelis.
Dari diskusi yang telah digelar, muncul suatu kesimpulan yang disampaikan Kasespimti Polri. Intinya, Kapolri mencermati perlu adanya perubahan dalam paradigma polri menyikapi perubahan politik global dan regional yang memiliki implikasi terhadap bangsa dan negara.
Selanjutnya, kebijakan hubungan internasional dan politik nasional yang saling keterkaitan dan menuntut peran Polri yang lebih luas. Oleh sebab itu, intinya adalah bagaimana agar polisi mendapatkan kepercayaan dari publik.
Kapolri membuat beberapa konsep yang awalnya terpisah-pisah dan selanjutnya konsep ini dirangkai dalam sebuah buku berjudul Democratic Policing atas bantuan profesor Hermawan. Konsep strategi yang mengacu ends, means dan ways dikemukakan dalam versi yang berbeda, di mana means adalah demokrasi.
Profesor Hermawan mengemukakan, perkembangan dunia yang sangat pesat khususnya dalam transportasi publik bidang informasi maka dengan sendirinya akan menghilangkan perang ideologi seperti pada masa lalu. Maka, kecenderungan dampaknya adalah polisi tidak secara menyeluruh mampu mengatasi berbagai dinamika ancaman.
Sebagai contoh dalam berbagai kasus seperti hate speech, aksi 212, pilkada serentak dan lain-lain di mana polisi bertindak harus merujuk pada berbagai ketentuan yang membatasi. Hal ini dinilai tidak relevan di alam demokrasi.
Polisi dengan membawa tongkat pentungan (soft power) dirasa sudah tidak lagi relevan, bahkan di beberapa negara seperti Italia, polisi memiliki berbagai senjata tempur. Hal ini merujuk pada persoalan senjata yang dipesan Polri seperti Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) yang menuai kontroversi. Polri juga saat ini sudah dipersenjatai dengan Steyr AUG, yang digunakan oleh Satuan Polisi Khusus Indonesia yakni Gegana Brimob Polri. Steyr adalah nama dari perusahaan senjata Austria Steyr Mannlicher.
Sedangkan AUG merupakan singkatan dari Armee Universal Gewehr, yang berarti (Senapan Tentara Universal) yang diperuntukkan khusus tentara untuk keperluan pertempuran (kombat). Steyr kemudian meluncurkan senapan jenis Steyr AUG A3 M1 yang bisa juga digunakan oleh kalangan sipil.
Sementara itu, SAGL adalah senjata standar militer murni yang digunakan untuk keperluan pertempuran kota. Namun, polisi di Indonesia justru memilikinya meskipun Polri bukanlah kombatan melainkan tugas pokoknya keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Terlepas dari itu, selanjutnya ancaman seperti teroris dan narkoba. Polri menilai, jika penanganannya tidak memakai hukum pidana maka harus dicari peluang lain dan Polri tugasnya adalah mengawal demokrasi (sipil) sehingga tidak mengena kepada struktur komando seperti tentara. Pendekatan konsep ini akan merujuk pada tugas polisi yang cepat dalam merespon segala ancaman dengan melibatkan berbagai mitra strategis termasuk TNI. (disampaikan juga masalah ROE bagi TNI yang belum dimiliki).
Mengutip Global Security, Rules of Engagement (ROE) adalah peraturan para komandan untuk penggunaan kekuatan. Personel operasi bertanggungjawab untuk memastikan bahwa persyaratan operasional ROE lebih lanjut. ROE didorong oleh tiga pertimbangan seperti kebijakan, hukum dan militer. ROE memungkinkan pencapaian misi, perlindungan kekuatan dan kepatuhan terhadap hukum dan kebijakan. Operasi militer selain perang (OMSP) cenderung dicirikan oleh ROE yang menuntut pengekangan lebih besar dalam menerapkan kekuatan tempur.
Sedangkan tujuan REO ialah peraturan yang menerapkan keputusan kebijakan strategis dapat menjadi sasaran militer operasional atau taktis sekaligus membawa pasukan sesuai dengan hukum domestik atau internasional. Akibatnya, pasukan di lapangan mungkin tidak selalu menghargai alasan mengapa seorang pemimpin membentuk peraturan tertentu. ROE harus berkembang dengan persyaratan misi dan disesuaikan dengan realitas misi.
ROE dibuat harus menjadi instrumen fleksibel yang dirancang untuk mendukung misi dengan sebaik-baiknya melalui berbagai tahap operasional dan harus mencerminkan perubahan suatu ancaman.
Selanjutnya Dr Adriana Elizabeth mengemukakan bahwa perbedaan implementasi demokrasi telah menimbulkan kekhawatiran dan permusuhan para elit politik. Di Indonesia, demokrasi adalah pilihan pertama sehingga Polri harus berperan. Tantangan yang dihadapi Polri adalah melindungi kemanusiaan sehingga hal ini mendorong Polri harus berani menghadapi HAM.
Panelis berikutnya Dr Djuni Thamrin. Ia pertama-tama mengemukakan pertanyaan, tantangan landscape ini siapakah yang menikmati? Bagaimanakah desain agar Polri terlibat dalam semua lini sebagai contoh di AS polisi biasa menjaga sekolah dengan berbaju sipil (namun tidak disampaikan mengapa polisi AS melakukan hal itu).
Konkretnya, jangkauan polisi demokratis ini akan diimplementasikan dalam berbagai sektor keamanan publik, baik keamanan pangan, keamanan energi (energy security), keamanan lahan dan tempat tinggal, air bersih, job/penghasilan, HAM dan lain-lain. Langkah awalnya adalah pembentukan satgas-satgas polisi di daerah-daerah seperti Satgas Pangan, Satgas Merah Putih, Satgas Papua, Satgas Cyber, Satgas Pantau BBM, Satgas Buser, Satgas Wabah Penyakit, Satgas Anti Politik Uang dan lain-lain.
Ke depan Polri akan mencari calon-calon polisi baru dengan istilah DNA. Buku ini rencananya akan disebarluaskan bahkan dalam bahasa Inggris setelah dijadikan bahan kajian siswa Sespimti.
Analisa singkat
Kapolri mengemukakan konsep baru di mana Polri akan menempatkan posisinya pada semua level mulai dari strategis sampai teknis dan dengan demikian akan merubah paradigma pertahanan yang selama ini masih dipedomani oleh TNI maupun lembaga lainnya. Pertahanan akan menyempit peranannya dan berada di bawah konsep keamanan nasional dan regional dalam wadah undang-undang Democratic Policing. (dari berbagai sumber)
Editor: Eriec Dieda