Esai

Menguak Aroma Kampung Halaman Dari “Sisa Cium di Alun-Alun” Weni Suryandari

Esai: Matroni Muserang

Siapa yang tak ingin pulang

Kampung Halaman menjadi sebuah nilai universal yang memayungi hampir semua antologi puisi “Sisa Cium Di Alun-Alun” karya Weni Suryandari. Namun kampung halaman bukan bermakna dimana kreator hidup saat itu. Kampung halaman sebuah proses eksistensial seseorang ber-Ada. Namun, keber-ada-an itu seringkali membuat kita direngkuh kerinduan. Direngkuh kesunyian masa lalu yang kini sudah jauh melanglang buana hidup di tengah-di tengah tungganglanggang kehidupan, yang hari ini menyelimui penyairnya. Sehingga wajar jika puisi yang lahir pun menggambaran kampung halaman yang pernah ia tempati.

Di tengah kecamuk keramain kota, gejolak eksistensi penyair tentu akan rindu pada ombak, pantai, pasir, pohon, nelayan, kalau pun di di Bekasi tempat tinggal Weni Suryandari ada pantai, nelayan, pasir tentu itu semua tidak mampu mendamaikan gejolak eksistensi dirinya, sebab kampung kerinduan selalu menuntut rasa itu hidup dan bergejolak, maka wajar jika jika muncul puisi Saronen, Jokotole, Madura, tanah garam, Sumenep, Suramadu, Asta Tinggi, Labang Mesem, Tembakau, petis, dan lainnya.

Sisa Kanak-Kanak; Kegenggam masa lalu, ziarah Asta Tinggi/ bersama celoteh bocah dan musim srikaya/ darah leluhur mengaliri nadi, batuh putih/alun-alun, Labang Mesem berayun-ayun/saat leluhur mengikat janji lalu “kun”.

Konteks puisi ini jelas Sumenep dan kratonnya yang kini sudah berubah dengan adanya pembangunan jembatan Suramadu, zaman berubah, gaya hidup berubah, paradigma masyarakat pun berubah. Puisi ini hadir mengajak kita untuk menoleh dan berkaca bahwa sejarah itu penting dengan beragama disiplin ilmunya. Maka di tengah-tengah “miskinya” paradigma puisi Weni Suryandari memberikan rangsangan bahwa pendekatan historis sangat penting, sebab sejarah merupakan fondasi epistemologi sosialitas.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Wajar jika Weni Suryandari bertanya; Siapa yang tak ingin pulang? Secara eksistensial semua orang tentu akan pulang, kalau pun tidak bisa pulang, ia selalu di rongrong rasa kerinduan yang menggeliat dalam rasa. Artinya kampung halaman ditulis bukan kita harus kembali pada masa lalu, tidak. Akan tetapi kita yang hidup di zaman ini mampu menelaah, dan mengeksplorasi nilai-nilai historisitas dari kampung halaman yang pernah mendidik kita dan membesarkan kita.

Kampung halaman adalah kampung historisitas, dimana semua yang berada di kampung halaman yang hari ini mengalami perubahan, entah perubahan ke arah yang lebih baik atau ke arah yang tidak baik?, namun saya tidak membahas baik dan tidak baik, akan tetapi antologi puisi Weni Suryandari benar-benar memberikan penyadaran pada kita historical approach itu sangat urgen bagi pengembangan keilmuan sosial, keilmuan agama, maupun keilmun budaya yang akhir-akhir ini Madura mengalami degradasi nilai-nilai moral, budaya dan agama.

Antologi Puisi ini Weni Suryandari menggelitik kita agar tidak meninggalkan sejarah. Sejarah adalah kekuatan sosial, dan kekuatan keilmuan, Negara tidak akan kuat jika sejarahnya dihilangkan, dan sejarah bukan hanya sekedar memberikan title pahlawan, akan tetapi sejarah yang memberikan sumbangsih peradaban bagi keberlansungan hidup kemanusiaan. Sejarah adalah kampung halaman. Sejarah adalah gelombang yang membawaku timbul tenggelam/dalam pencarian menemani hari tanpa kesunyian/ meski separuh tubuh kaku. Sejarah bukan ombak, tapi gelombang, artinya sejarah memang sebuah kekuatan yang luar biasa dalam membangun tonggak kemanusiaan.

Apa yang tidak dibangun atas fondasi sejarah di dunia ini? Islam di bangun dengan fondasi sejarah, budaya, dan sastra pun di bangun di atas sajarah sejarah, maka Weni Suryandari memberikan setitik tetes yang mampu melukai batu-batu keseharian sosial agar selalu membaca sejarah sebagai pendekatan dan cermin besar yang memberikan ide-ide segar untuk kita pertimbangkan dalam percaturan kebudayaan di Indonesia yang baru mau modern ini.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Weni Suryandari dalam antologi puisi ingin memberikan tiga spirit makna pertama untuk dirasakan bahwa kita ada bukan untuk diam dan saling menghardik, kedua untuk mengingat kampung halaman sebagai kampung yang pernah memberikan roh dalam menjalankan kehidupan, ketiga untuk dipikirkan. Spirit itu lahir dari mata, telinga, rasa, dan pikiran. Kampung halaman adalah harapan, yaitu tempat untuk mengumpulkan kembali data-data sejarah. Pikiran adalah proses mengeksplorasi melalui pembacaan dan berpikir. Spirit Kampung Halaman Weni Suryandari mengingatkan bahwa rasa, pikiran, dan rindu. Ketiga ini kita temukan dalam puisi Sisa Cium Di Alun-Alun. Puisi yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan dan merengkuh antara rasa, pikiran dan rindu. Puisi semacam ini adalah anak kandung kebijaksanaan yang lahir dari orang-orang bijaksana yang bernilai dan abadi, sebuah refleksivitas dari proses panjang yang dialami penyair. Puisi yang mampu mamanusiakan manusia. Inilah kebijaksanaan dari puisi itu sebenarnya.

Bagian dari kampung halaman yang harus diingat adalah puisi yang dijadikan instrument puitis untuk menguak roh yang terkandung dikedalaman puisi. Sebab penyair percaya bahwa puisi lebih tajam dari sebelah arit, karena puisi mampu menelusup ke pori-pori jiwa. Sehingga puisi Weni Siryandari ini seringkali mengajak kita ke dalam hal-hal yang menyenangkan, semisal cinta, madah-madah yang mengisi emosi. Penglipur misalnya puisi yang memberi inspirasi dan puisi yang memberi semangat keberanian, namun antologi puisi ini berada di tengan-tengan yaitu penglipur yang mampu memberikan inspirasi bagi pembaca.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Kerja kepenyairan adalah kerja yang tidak akan pernah selesai, untuk itulah Weni Suryandari terus mengembara; kau benamkan sebuah cincin tali ke dalam dada/ berharap darah suci kita mengikat, leburkan doa-doa/dari ribuan kuil yang dipenuhi mantra, aroma dupa/dan perjalanan menempuh cahaya demi cahaya. Dan karena pikiran hanyalah pengembaraan dari kenyataan.

Cacatan: Judul asli “Puisi dan Kampung Halaman Menelusuri “Sisa Cium Di Alun-Alun” Weni Suryandari “, publikasi awal di blog Ladang Sunyi.

*Matroni Muserang, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kini bermukim di tanah kota kelarannya, Sumenep. Aktif menulis puisi, cerpen, esai, dan dan di banyak media baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Jatim, 2010). Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA, Malaysia, 2012), Satu Kata Istimewa (2012), Sinopsis Pertemuan (2012), Sauk Seloko (PPN VI Jambi 2012), Sebab Cinta (2013), Di Pangkuan Yogya (2013), Terpenjara di Negeri Sendiri (2013), Indonesia di Titik 13 (2013), Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014), Gemuruh Ingatan (2014), Dari Negeri Poci 5, Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta: 2014). Puisi Menolak Terorisme (2014), Parangtritis (2014), dan lain sebagainya.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 116