NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dalam sejarah nusantara, dikenal Perang Menteng dan ada Syair Perang Menteng.
Berikut petikan Syair Perang Menteng:
Kemas Said keluar menyerbu
amat gembira di dalam kalbu
mati sepuluh baris seribu
dekat pintu kota Kemas nan rubuh
datanglah satu opsir mendekati
membedil Kemas tiada berhenti
pelurunya datang menuju hati
di sanalah tempat Kemas nan mati
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng meletus pada 12 Juni 1819 yang melibatkan pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II dan pasukan Komisaris Edelheer Muntinghe. Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan pemimpin kesultanan Palembang Darussalam tahun 1803-1813 dan 1818-1821, atau dua periode.
Edelheer Mutinghe merupakan seorang komisaris di Palembang setelah Konvensi London 13 Agustus 1814 yang mengharuskan Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803 dan pada 19 Agustus 1816 Palembang diserahkan kepada Belanda.
Setelah diangkat menjadi komisaris di Palembang, Dosen Sejarah di Universitas PGRI Palembang Kemas A. R. Panji dalam Sultanku, Mahmud Badaruddin II, menyebut tindakan pertama yang dilakukan Mutinghe ialah mengangkat kembali Sultan Mahmud Badaruddin II naik tahta pada 7 Juni 1818.
Baca juga: Belanda Harus 4 Kali Perang untuk Mengalahkan Sultan Mahmud Badaruddin II
Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Inggris diasingkan oleh Mutinghe untuk keluar dari Palembang menuju Batavia.
Namun pada perkembangannya, Mutinghe meminta Putra Mahkota diserahkan kepada dirinya. Permintaan Mutinghe tak diindahkan Sultan Mahmid Badaruddin II. Dan sejak saat itu penyerangan terhadap Belanda dilancarkan. Perang ini dikenal sebagai Perang Menteng atau Perang Palembang yang meletus pada 12 Juni 1819.
Palembang tampil sebagai pemenang dalam Perang Menteng. Belanda kemudian tidak terima. Sehingga pada 21 Oktober 1819, Belanda kembali menyerang Palembang. Sial bagi Belanda, serangan kali ini juga gagal. Demikian pula serangan ketiga kalinya, juga mendapatkan kekalahan.
Namun pada serangan keempat, seperti ditulis Kemas A. R. Panji, Belanda berhasil menang lantaran curang karena melakukan serangan mendadak ketika rakyat Palembang sedang makan sahur dan kebetulan terjadi di bulan ramadhan. Setelah melewati perlawanan sengit dari rakyat, akhirnya pada 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Sejak saat itu Belanda leluasa mengibarkan bendera negaranya sekaligus menandai kolonialisme Hindia Belanda di tanah Palembang.
Kendati kalah, Sultan Mahmud Badaruddin II tidak pernah membuat surat pengakuan kalah perang ataupun menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Dan akhirnya, dia bersama keluarganya ditangkap dan dibuang ke Batavia menggunakan kapal Dageraad. Dari Batavia Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya pada 26 November 1862. (red/ed/nn)
Editor: Eriec Dieda